Monday, 22 June 2020

Gerbong

Gerbong

Buronan FBI asal Amerika ditangkap di jakarta, bukan soal penipuan investasi, tapi kasus fedofil. Tahun lalu, orang Indonesia ditangkap di London penjahat seks untuk kasus perkosaan.

Didin membaca medsos soal berita penjahat seks seantero dunia. Banyak kasus kasus serupa tapi di skip saja, hanya yang viral dan terakhir saja yang dibaca. Lumayan baca medsos sambil menunggu kereta.

Beruntung orang sekarang, ada android, nunggu tidak terlalu jenuh. Lili dan Rizi sudah duluan sore tadi. Suka tak suka Didin harus nyusul sebab bertiga sudah janjian mau jalan bareng.

Sendiri tapi nggak kesepian, banyak penumpang di peron, rasanya dengan tujuan sama, Didin menikmati sendiri diantara banyak orang di peron itu, sambil liat kiri kanan, baca medsos di hp kunonya.

Terbangun mendengar suara kereta berhenti. Pintu terbuka, petugas nggak kelihatan, tapi siapa peduli, langsung naik di gerbong, buru buru duduk supaya bisa nyambung tidur lagi.

Didin baru sadar dalam gerbong hanya sendiri. "Kok aku sendiri ya" berkata dalam pikiran. "Rasanya tadi ramai orang di peron. Mereka semua kemana kok mendadak nggak kelihatan, mendadak sepi." Didin mulai

Kereta berjalan, melewati stasiun yang sungguhan sepi. Tak ada orang, tak ada petugas, sunyi seperti tak ada makhluk hidup.

Didin jadi penasaran lalu berdiri berjalan sepanjang gerbong, ternyata tak ada orang. Mengintip gerbong depan dan belakang juga tak ada orang.

Wah jangan jangan salah kereta, kereta langsir yang cuma untuk gonta ganti lokomotif. Coba duduk lagi, mendadak lampu gerbon mati. Ah ada ada aja, kalau sampai tujuan akan lapor ke perusahaan kereta. Sementara pake korek api, saja menghidupkan sekali sekali supaya nggak terlalu gelap.

Sambil liat jendela, kok pemandangannya hitam terus, nggak ada lampu. Ini di mana ya. makin lama di gerbong jadi makin terasa sesak napas, lalu nyalakan korek api. Kaget. Astaga! Ternyata ada orang duduk depan badan besar, blangkon, pakaian surjan, berkumis dan beralis seperti pak Raden.

Wah salah naik kereta, ini kereta jurusan perkebunan. Takut merinding lihat orang berblangkon tak senyum, korek api dimatikan. Bayangan hilang, ah jangan jangan hanya halusinasi. sendiri di kereta suasana gelap.

Kelamaan gelap bikin sesak napas. Nyalakan korek api lagi. Ini lebih kaget lagi. Kali ini didepannya duduk perempuan cantik, pakaian dan segala macam aksesorisnya seperti nyi blorong yang di film horor Indonesia.

Harum semerbak, perempuan itu sepertinya ngomong tapi nggak kedengeran suaranya. cepat cepat Didin matikan korek, bukannya gelap pekat, tapi terang benderang. Nyi blorong tersenyum manis sekali, terus mendadak matanya menatap tajam, bola matanya langsung beradu dengan bola mata Didin, ini bikin didin kliyengan. masih didengar olehnya perempuan itu perintahkan ke pengawalnya, "bunuh dia" ".......dia bukan pangeran Pajajaran, bukan Raden Pasundan. ......dia cuma sok sok an mau mendirikan kerajaan...mau jadi raja..."

Pengawal yang badannya dua kali lebih besar darinya langsung menghunus pedang, "jangan ada darah. " itu terakhir didengarnya setelah suaranya tercekik tak mampu berteriak karena jari tangan pengawal itu mencekik leher.

"Amppp... ammmpunnn..."

"Kang.....kang bangun kang ..."

Didin kaget terbangun, Orang seberang tempat duduknya bilang sudah sampai Bogor. Aku celingukan liat kiri kanan lalu liat orang yang membangunkan. Bangun mendadak, masih bingung, lama mengumpulkan pikiran dan perasaan, akhirnya Didin sadar.

"Aduh maap ya, saya tadi mimpi dicekik. Seram. "

"Iya kang, tadi saya lihat Kang mencekik diri sendiri sambil teriak tersendat, seperti suara keselek. Makanya saya buru buru bangunin. Soalnya kan kita pakai masker, jadi napas nggak seperti biasa, takutnya keselek jadi bahaya"

"Iya kang. new normal kang. harus harus pakai pakai masker. Tadi rasanya napas sesak sekali, keringat dingin. Ternyata mimpi."

Ayo kang turun. Rencana di bogor tinggal di mana ?"

“Ada yang jemput mau ke Cimanggu. Terima kasih”

Terhuyung Didin berjalan cepat mengikuti orang itu keluar gerbong, menuju pintu keluar peron.

No comments:

Post a Comment