Bermain di Masa Lalu
Adi Sucipto
Rambut lurus gondrong, badan gempal, lebih tinggi dari kami. Kami semua hanya sebahunya. Namanya Adi, lalu dia menyebut diri dengan nama panjangnya Adi Sucipto. Mungkin punya mimpi menjadi penerbang. Mimpi hanya sebatas mimpi, orangtuanya tidak menyekolahkan lebih tinggi dari sekolah dasar. Selepas dari sekolah dasar dia ikut membantu bapaknya, mengerjakan apa saja yang dibutuhkan. Waktu itu dia bilang membuat kandang, mencari rumput buat kambingnya, membuat tambahan bangunan di belakang rumah untuk dapur buat kakak perempuannya yang baru saja menikah dan tinggal bersama di situ.
Adi Sucipto, selanjutnya ditulis Adi saja, adalah idola kami. Usia Adi dan kami beda kurang lebih lima tahun dari. Karena usia nya jauh di atas kami, maka sehari hari kami memanggilnya bang Adi. Adi hampir selalu hadir dalam setiap peristiwa bermain yang penting. Saat bermain yang berada di sekitar gang atau jalan, dia tidak ikutan. Lingkungan kami banyak orang “asli” betawi. Lingkungan itu memang kampong Betawi, tapi semenjak tahun enampuluhan banyak pendatang jadi penghuni di situ.
Sepeda Phoenix dan Fongers
Daerah tempat kami bermain masa kanak kanak disebut Bendungan Hilir Atas, kami singkat Bendas mengikut singkatan Bendungan Hilir menjadi Bendhil. Kami rata-rata punya sepeda, rata mereknya Phoenix yang belinya juga di tempat yang sama, di Asem Reges. Ada juga yang beli di pasar rumput. Satu orang yang punya sepeda merek Fongers. Kami sering ngeledekin, sepedanya merek tak dikenal. Tapi ngeledekin itu tak berlangsung lama, soalnya yang punya sepeda orang nya kebal ledekan. Dia terusan ikut kumpul dengan kami kemanapun perginya. Akhirny dia menjadi bagian dari kami. Terakhir baru tahu bahwa Fongers adalah merek sepeda yang terkenal di dunia, buatan Belanda. Harganya mahal, dan belum tentu dijual di toko sepeda di Jakarta. Pantas saja, kawan satu ini orangnya bersih, rambut sisir, pakaiannya rapih, anak orang kaya, temen kelompok menyebutnya anak gedongan.
Kami punya sepeda, demikian pula Adi. Sepeda Adi, stangnya dimodifikasi, dari lurus menjadi bengkok, seperti sepeda balap. Tidak ada remnya. Katanya kalau memakai rem, kanvas rem sering nyangkut di pelek ban, atau menempel di situ, jadi jalan kurang lancar. Kalau rem nyangkut, genjot sepeda jadi berat. Tidak ada spakbor, atau lempengan pelindung ban supaya tidak kecipratan saat melewati genangan air atau becek. Kami menyebut sepeda model seperti Adi adalah sepeda botak.
Bitels dan Ganja Fli
Usia kami saat itu rata-rata Sembilan atau sepuluh tahun, usia Adi kira kira lima belas tahun. Kalau dipikir sekarang, adi sebenarnya masih remaja, toh dari pandangan kami dia seperti bapak yang mengayomi anak anaknya. Waktu itu tahun 67 atau 68, lagu yang sering kita nyanyikan “Hey Jude” tapi dengan lirik semau kita. “Hey Jude, terkejut kejut” itu saja dinyanyikan berulang ulang. Dadi, salah satu dari kelompok main kami, paling dewasa. Dia yang bilang itu lagu the bitels (beatles). Bahkan tidak satupun diantara kamu mampu mengeja atau menulis bitels yang benar.
Lagu “o darling” juga dinyanyikan oleh Dadi. Kami ikut ikutan tanpa mengerti artinya. Lagu dan penyanyi yang lain, tidak terlalu tahu, dan rasanya tidak terlalu peduli dengan lagu. Samar sama saya masing ingat ada genk yang menyebut diri ganja fly, bayangan kami genk itu pasti keren, mereka bersepeda tinggi dan mengkilap. Rata rata usia nya seusia Adi. Kami menyebut nama genk itu “ganja fli”. Tidak mengerti harus seperti apa membaca “y”. entah itu genk, mungkin dari Bendungan hIlir yang posisinya berada di bawah dekat pasar Bendungan Hilir, kami hanya mendapat informasi dri nguping omongan orang orang yang lebih tua yang bermain di sekitar kami.
Berenang dan Mancing
Adi kadang kadang mengajak kami berenang di danau, tak jauh dari rumah, samping gedung DPR (dulu namanya DPR-GR, masih ingat soalnya kalau lewat sering mengeja dalam hati). Danau itu cukup luas, dan di tengah ada pulau pulau kecil. Pernah jadi Taman Ria Remaja dan tempat pertunjukan Srimulat. Sekarang tidak tahu dibuat apa danau itu.
Berenang di danau itu enak dan puas. Harus bisa berenang, beruntung Kami semua bisa berenang. Tempatnya luas, dan sering berenang balapan, mondar sampai ada batas di tengah danau yang agak dangkal. Adi biasanya yang mengawasi kami berenang. Tidak ada ban, dan tidak perlu. Semua gaya kami coba, walau pastinya nggak sempurna. Gaya bebas, dada dan punggung.
Kawan saya, Mulani biasanya bergaya anjing, berenang meniru gaya anjing. Yang tidak enak di situ adalah banyak ganggang. Kadang kadang berenang jadi terhambat karena kaki terlilit ganggang. Harus berenti saat renang, membenahi lilitan ganggang itu, baru lanjut berenang lagi.
Kata orangtua di tempat kami tinggal, berenang di situ berbahaya, karena orang bisa kelelep karena terlilit ganggang. Tapi waktu itu kami tidak apa dan tidak tenggelam, hanya butuh mengayun lebih berat. Kata Adi kalau terlilit ganggang jangan panik. Pokoknya kepala harus di atas air supaya bisa napas, dan perlahan melepaskan diri dari lilitan ganggang.
Di danau itu juga tempat mancing. Banyak ikan di tempat tempat tertentu, bukan di tempat yang biasa kami berenang. Tempatnya agak tersembunyi, melewati semak semak dan pepohonan yang rindang. Banyak batu batu besar, tumpuk tumpuk, dari jauh tak tampak bahwa di situ masih bagian dari danau, airnya agak gelap karena banyak sekali ganggang di situ. Ikan di situ kebanyakan betok. Kadang menyebutnya Kocolan. Besar besar, pancing satu ada dua ikan saja sudah cukup dan bawa pulang. Selain betook juga ada Ikan Sepat yang berwarna gelap. Tak terlalu indah dipandang, tetapi digoreng dengan di balado dengan pete, enak rasanya.
Luka antara dua Alis
Ada bekas luka di antara dua alis saya, akibat kena batu tajam di tempat pemancingan. Kami, entah kenapa, lupa dalam rangka apa, harus memindahkan batu batu. Salah satu batu tajam yang diangkat kawan, tak sengaja dahi antara dua alis mata, luka berdarah, oleh kami buru buru pulang rumah. Untungnya tidak infeksi atau mengalami pendarahan lama. Ternyata lukanya tidak dalam. Seperti goresan saja. Luka cepat kering dan sembuh hanya meninggalkan tanda. Karena tanda itu membuat saya tak lupa peristiwa luka.
Kadang, kalau terpaksa, kami berenang di tegalan, atau kebun yang banyak empang air mengalir, yang waktu itu ada sungai kecil di situ. Kalau sehabis hujan airnya coklat, tidak enak dipandang, tetapi musim kering airnya lumayan jernih. Beberapa tempat dari situ juga tempat mancing, ada ikan sepat. Di spot yang lain sering kita lihat ikan cupang, ikan yang satu ini susah dipancing, jadi hanya liat saja sudah puas, karena warnanya bagus, merah biru, ungu. Sekarang tempat itu jadi Apartemen Park Royale.
Dilarang ikutan
Ada waktu Adi tidak mengajak kami mancing atau berenang. Adi menjelaskan bahwa tempatnya terlampau jauh. Kaki kami dianggap tidak terlampau kuat untuk menggenjot ke tempat itu. Kami kesal, tetapi tak berani melawan. Hanya mendengarkan cerita Adi ketika ngumpul di rumahnya. Tak banyak cerita serunya, bahkan cenderung membosankan. Pengennya setiap Adi pergi ke daerah baru, kami selalu diajak. Entah kemudian setelah tiba tempatnya menarik atau tidak tak menjadi masalah.
Cerita masih bersambung
Masih ada cerita lainnya berkelana masa kecil bersama teman sebaya di kampong kami di Bendhil dan sekelilingnya pada akhir enampuluhan sampai awal tujuhpuluhan, ketika itu masih menjadi murid di sekolah dasar yang tak jauh dari rumah.
No comments:
Post a Comment