Dua ilmu
Hutan perdu di ujung Padukuhan tidak lebat, cukup jelas untuk melihat seseorang yang berada di sana. Dari kejauhan Ganapati sudah melihat orang yang bernama Ranu, menunggu di bawah pohon Randu yang sudah tua.
Makin mendekat makin nampak wajahnya anak muda itu, berwajah bersih, matanya jernih, rambut awut awutan, dengan ikat kepala yang tak tersusun rapih. Keliatan dia tak mandi beberapa hari, tapi tak menghilangkan kesan bahwa dia orang yang percaya diri. Usianya lebih muda dari Ganapati. Wajahnya aneh, dagunya runcing, tidak seperti kebanyakan wajah laki-laki.
Ganapati tak mengenalnya. Setelah berhadapan jarak lima meter, dia memandang dengan wajah ramah.
"Ada apa gerangan ingin bertemu denganku?"
"Kakang Ganapati, apakah tidak mengenal aku?" Suaranya kecil, agak melengking dan kurang enak didengar
"Mohon maaf, aku sama sekali lupa dengan siapa berhadapan" Ganapati sambil mendekat dan memandang dengan lebih seksama.
"Kita memang tidak bertemu sebelumnya. Tapi bapak kita yang bertemu. Bertemu di medan laga."
"Apakah nama adik benar Ranu. Ranu siapa."
"Hanya Ranu. Saya mencari kakang untuk menuntut balas, kematian bapak."
"Saya tidak tau soal itu, kalau di medan laga, tidak ada yang bisa meramal nasib. Kalo tidak membunuh ya dibunuh."
"Saya tak peduli. Siap siap, saya akan menyerang."
Dengan kecepatan tinggi Ranu menyerang. Melompat dibarengi kaki dan tangan menjulur, jari tangan membuka mau mencengkeram seperti kuku macan. Ajian macan liwung pada gebrakan pertama. Ranu seolah tak mau kehilangan buruannya. Teriakannya yang melengking memekak telinga.
Ganapati, terkesima dengan gerakan Ranu yang liar, dia melompat mundur menghindar serangan itu. Dia menyiapkan pertahanan, dalam hati, tak mau menyerang Ranu.
Serangan pertama gagal, Ranu membalik langsung melayang melesat bagai anak panah dengan tangan menggenggam, ke arah kepala Ganapati. Ganapati menunduk, sambil mengibas lengannya memecah perhatian Ranu.
Pertarungan terus berlangsung, Ranu tak surut menyerang, sementara Ganapati tak sedikitpun berusaha menyerang. Ada perasaan yang menghalangi dia untuk menyerang. Entah perasaan apa, tapi hambatan itu makin lama makin menguat.
Ranu pasti salah orang. Melihat penampilannya yang kecil langsing, serangannya yang liar seolah dibuat buat. ganapati yakin orang itu pasti bukan dari golongan liar dan angker. Karenanya diapun tak mau sungguhan bertarung.
Melihat lawannya sepertinya enggan menyerang bahkan melawan setengah hati, Ranu menjadi marah, kekuatan tenaganya menjadi berlipat, gerakannya sedikit melambat, hawa panas makin terasa di sekelilingnya. Telapak tangannya seolah menjadi bara api. Lalu dengan percaya diri menyerang dengan telapak tangan terbuka. Tak mau ambil risiko, Ganapati tak lagi melompat mundur, tapi berusaha menangkis serangan telapak tangan itu dengan menggesernya ke samping agar tak mengenai dada. Tapi betapa kagetnya Ganapati karena tangannya seperti menyentuh bara api.
Ajian Tapak Obong kata Ganapati dalam hati. Ia tidak boleh main main, nampaknya Ranu berusaha membinasakan dirinya. Secara tak sadar dia membentengi dirinya Tameng Waja. Ilmu itu bukan cuma benteng diri tetapi juga menghasilkan hawa panas di sekeliling lapisan Tameng Waja. Dua hawa panas yang keluar dari dua ilmu membuat rumput pijakan dua orang itu jadi mengering.
Deru angin berputar melingkari dua orang yang saling bertempur. Kadang mereka bergerak cepat, melayang layang, menukik dengan ketangkasan yang sulit dilihat mata telanjang. Bagi orang yang tak mengenal ilmu kanuragan, dua orang itu seolah bayangan yang berputar putar. Kadang suatu kesempatan salah satu keluar dari lingkarang, lalu segera masuk kembali. Demikian terus menerus, seperti menguji ketangkasan, kecepatan gerak dan juga kedalaman tenaga bathin.
Tiba tiba Ranu mundur melompat beberapa kali, lalu berhenti, sedikit merunduk, menguatkan kuda kuda, siap menyerang. "Tidak ada cara lain, terpaksa harus kukeluarkan ilmu pamungkas ini. Kata Ranu pada dirinya sendiri. Entah ini benar atau tidak, semoga orangtuaku mengampuni segala kesalahanku."
Ganapati terperanjat dengan sikap Ranu, "rupanya Ranu sudah pada batas akhir" seolah mau mengakhiri pertempuran sebelum hari gelap. Lalu Ganapati melebarkan kaki, sedikit melipat, merunduk, telapak tangan berubah jadi kepalan. Demikian pula, Ganapati harus mengeluarkan jurus andalannya Garuda melayang.
Ganapati tak lagi berusaha menghindar atau melompat mundur. Kali ini dia mau membenturkan ilmunya dengan ilmu lawannya.
Tanpa peringatan Ranu melompat tinggi dengan teriakan nyaring langsung ke arah dada Ganapati. ganapati yang sudah siap, langsung membenturkan dua kekuatan itu. Bunyi gelegar beradunnya dua kekuatan itu mengakibatkan kedudukan kaki Ganapati bergeser beberapa langkah. Lain halnya dengan Ranu, benturan itu membuatnya terpelanting terjungka beberapa kali sebelum akhrinta terbaring. Dia berusaha keras untuk bangkit berdiri, walau sempoyongan. Akhirnya mampu berdiri.
"Hahahahahaha" suara tertawa menggelegar di hutan randu yang semakin gelap. Ganapati dan Ranu langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara itu. Tampak, walau samar samar bapaktua berambut,kumis berjenggot putih berdiri menyender pohon randu, dengan tetap melipat tangan di dada, ia berseru.
"Pertunjukan yang maha dahsyat. Dua ilmu yang sudah jarang ditemui saat ini beradu"
"Ilmu yang ketika zaman mudaku masuk golongan ilmu putih. Kenapa dua ilmu itu saling beradu.?"
"Bapaktua!"
"Kakek"
Serentak dua orang yang berlaga itu menyebut orang yang bersandar di pohon randu.
"Mayang Ayu!. Jauh sekali perjalananmu hanya untuk memuaskan nafsu membalas kematian ayahmu. Apakah kau yakin ayahnya lawanmu itu yang membunuh?
Ganapati terperanjat, ketika nama lawannya disebut oleh bapaktua. Dia sudah menduga lawannya perempuan, tetapi tetap saja kaget.
"Kalian berdua, kemarilah, mari duduk disini, saya membawa makanan beli dari padukuhan." Bapaktua itu menyerukan dengan bahasa yang lebih lembut.
"Kakek kenapa ada di sini. Kenapa menghentikan pertempuran yang sudah hampir di ujung penyelesaian."
"Marilah kalian berdua mendekat, supaya aku bisa menyapa kalian tanpa harus teriak."
"Duduklah di sini Ganapati. Mungkin kau belum mengenal cucuku ini. Biarlah kalian saling mengenal. Anggap saja pertempuran barusan adalah latihan agar badan menjadi segar."
Mendekatlah Mayang. Biarlah kalian saling mengenal wajah satu dengan lainnya.
Ganapati tanpa sadar menatap kuat pada wajah Mayang Ayu. Semula untuk memastikan bahwa yang dihadapinya itu sungguh perempuan. Makin menatap makin membuat hati Ganapati berdebardebar, apalagi liat mata lawannya yang bening bersih.
No comments:
Post a Comment