Amamapare-Agats, perjalanan ke Asmat
Pagi jam empat, berangkat dari Amamapare dengan perahu ukuran sedang muat lima belas orang. Amamapare adalah pelabuhan khusus untuk PT Freeport Indonesia. Bukan pelabuhan bebas. Memerlukan izin dari penguasa pelabuhan untuk bisa melalui pelabuhan itu. Izin tak sulit, selain pengemudi perahu sudah biasa memakai pelabuhan ini, perjalanan kami bukan membawa barang barang yang terlarang.
Kira kira pukul Empat pagi, cuaca tidak begitu cerah, sebagian langit di atas kami mendung, tidak ada bintang di langit. suasana masih gelap, bahkan di pelabuhan saja tidak nampak jalan setapaknya, kecuali menggunakan senter tenteng. Di dermaga itu hanya diterangi satu lampu sorot di ujung dermaga.
Ada dua orang yang mengantar kami melalui beberapa pintu pos pelabuhan. Ada pertanyaan sana sini, intinya menanyakan tujuan, berapa orang yang ikut, kapan kembali ke pelabuhan sini, begitu kira kira yang ditanyakan petugas. Lalu petugas memanggil pengantar-- pengemudi dan keneknya -- mereka bicara sebentar, lalu si pengemudi dan kenek gabung dengan kami.
"Ayo jalan. Di sana perahunya" Kata pengemudi sambil menunjuk tempat perahu. Dia memimpin barisan rombong.
Hampir di ujung, ada tangga yang menurun dari dermaga yang tinggi ke perahu yang ditambat di situ. Karena air surut, maka perahu jadi terlalu jauh di bawah jaraknya dari dermaga. Satu per satu turun dan naik di perahu. “pelan pelan, jangan membuat perahu jadi goyang. Satu satu pakai baju pelampung.”
Tidak ada satupun dari kami yang pernah melakukan perjalanan ke asmat dengan menggunakan perahu. Nekad! ya betul. Perjalanan ini termasuk yang riskan dan berbahaya. Waktu itu hanya berpikir bahwa jalan ini satu satunya yang bisa membawa kami ke Agats, Ibukota Kecamatan Asmat (sekarang sudah menjadi Kabupaten) dengan jadwal yang bisa ditentukan. Ada pesawat kecil dari Timika ke Agats, akan tetapi jadwal tak menentu. Menurut jadwal resmi, setiap minggu sekali. Tetapi masalahnya jadwal itu belum tentu sesuai. jadwal yang tak menentu membuat kami memutuskan menggunakan perahu. Terus terang, keselamatan selama perjalanan hanya mengandalkan keahlian dan kemampuan pengemudi perahu.
Tidak gambling, kami mencari informasi selama di Timika, siapa pengemudi yang pengalaman melakukan perjalanan ke Asmat. Ada beberapa pilihan yang membuat kami harus menimbang berkali kali dengan mencari informasi yang lebih akurat. Akhirnya orang Ayamaru, Sorong, yang sudah menjadi penduduk Timika ini yang menjadi pilihan.
Perjalanan kami sedikit banyak dipengaruhi oleh eksotisme kebudayaan masyarakat yang bersahaja. Asmat dikenal sebagai kelompok etnik yang terkenal di dunia karena ukiran kayunya. Pengukirnya disebut Wow Ipitsj. menjadi warga yang ekstra ordinari sebab tak semua warga asmat pandai mengukir. Konon keahlian mengukir itu menurun dan bapak ke anak laki laki. Tak ada pengukir perempuan di sana. Sejauh pengetahuan saya, pengukir adalah tugas atau bagian dari laki-laki, sementara perempuan membuat pakaian dari kulit pohon sagu. Sekali lagi itu hanya terbatas pada mereka yang punyai talenta mengukir dan membuat pakaian.
"Primitive Arts" sebutan buat karya seni orang Asmat. Ini julukan dari para orang orang kulit putih yang pernah datang ke Asmat. Entah apa yang dimaksud dengan Seni Primitive, tetapi ukiran ukirannya selalu mempunyai makna simbolik.
Asmat menjadi terkenal setelah rombongan anak muda dari Harvard Peabody Museum mengunjuni wilayah ini. Selain Asmat, rombongan itu mengunjungi Lembah Baliem. Rombongan itu membuat foto, koleksi etnografika, dan membuat filem tentang orang Dani. Sedangkan di Asmat, mereka mengumpulkan ukiran dan membawanya untuk disimpan di Museum Amerika New York.
Wilayah Asmat menjadi lebih terkenal karena anak wakil presiden Amerika Serikat, Michael Rockefeller hilang di situ. Beritanya simpang siur, ada yang mengatakan dia dimakan buaya ketika perahunya terbalik di muara sungai, ada yang mengatakan dia dimakan oleh orang Asmat. Faktanya tak ada yang tahu dan bercerita berdasarkan fakta.
******
Hanya dengan penerangan senter yang cukup besar akhirnyya semua masuk di perahu itu. Pengemudi di buritan memegang kemudi, satu lagi di haluan memegang lampu sorot cukup besar untuk menerangai jalan depan perahu. Lampu yang menggunakan aki. Kami duduk di tengah perahu mengenakan pelampung, duduk menyender di pinggiran dinding perahu. barang kami, ransel, makanan dan logisstik lainnya sebagian di buritan, sebagian kecil di haluan.
Perahu jalan lambat, tidak ada ombak, menyusuri pinggiran pantai rawa rawa yang jadi ciri khas wilayah barat daya Papua. Kami melewati satu daerah, gundukan dengan rimbun pohon bakau, walau tak tampak jelas. Kenak yang duduk di haluan mengatakan di sini angker,
"di bagian mana yang angker pace?" sebab semua nampak agak gelap. gundukan dan rimbun saja yang tampak, sedikit lebih gelap dari langit cuaca saat itu belum nampak matahari walau mulai terang.
"Ini pulau hantu, tidak ada orang yang berani mampir di situ." sambil menunjukkan gundukan yang kita lewati.
"kita tidak mampir di sini kan pace?"
"Ah tidak. Kita hanya lewat saja. Kitong hanya menunjukkan saja."
Lalu bercerita si kenek yang duduk di haluan, bahwa tempat itu disebut pulau hantu, sebab mereka yang masuk pulau itu, tidak akan bisa keluar. Kesasar. Ada pengelihatan yang dibuat sumir, seolah sudah hampir keluar pulau itu, tetapi sebenarnya diputar putar oleh roh jahat atau Suwanggi. Kalaupun orang yang masuk ke pulau itu bisa keluar dari pulau itu, dia akan menderita demam, dan harus melalui pengobatan dukun ahli.
Syukurlah bukan pulau itu yang dituju. Tapi selama melewati pulau itu tak lupa doa doa, takut perahunya disedot masuk ke pulau itu. “kita sudah melewati pulau itu, lega rasanya. Sudah semakin terang cuacanya, sinar matahari sudah nampak di cela cela pohon di bagian daratan. Langit sudah terang, dan sudah bisa melihat burung burung camar beterbangan.
Belum lagi senang menikmati burung burung yang beterbangan, orang di haluan bilang “itu di depan ada wilayah tak bertuan, dulunya adalah tempat pembantaian.
Si orang orang suku pegunungan yang masuk ke pesisir.
Tidak jelas ceritanya, kenapa mereka dibunuh. Sepertinya si orang di haluan itu senang cerita yang seram, yang membuat kami cemas. Barangkali saja, kata saya dalam hati. Cerita yang menyeramkan untuk seperti ditambahi bumbu supaya tambah seram. Katanya kalau bukan satu kelompok, artinya musuhnya, kalau mencurigakan langsung di bunuh. Dalam hati "Kok serem sekali", Ia itu seram sekali, sepertinya si kenek di Haluan tahu apa yang ada di lubuk pikiran kami.
Setelah lewat daerah itu, barulah si orang haluan itu cerita, setelah ada pastor, pendeta, ada gereja sudah tidak boleh lagi sembarang bunuh bunuh orang,
"tak boleh sembarang de pe cabut nyawa orang lain."
Cerita tentang pulau hantu dan wilayah pembantaian saya tanyakan ke pastor pastor yang bertugas di Asmat.
"apakah benar terjadi cerita seperti itu"
"saya belum pernah dengar cerita itu" kata seorang pastor mengerutkan kening. Dia sudah lebih dari dua puluh tahun bertugas di situ.
"Kalau ke sasar di hutan sagu, itu sudah terjadi berkali kali pada saya." kata pastor itu.
"kita akan seperti bayi yang baru bisa jalan, harus dituntun oleh orang Asmat, berjalan di hutan sagu." kata pastor itu melanjutkan.
Akhirnya perjalanan yang penuh cemas, khawatir dan sekaligus menikmati, kami tiba di pelabuhan Agats, Asmat.
Caption: Salawaku, perisai kayu Asmat karya Wow Ipitsj dari Pantai Kasuari, Asmat
No comments:
Post a Comment