Thursday, 5 November 2020

Dari tujuh mundur ke sepuluh

 Dari tujuh mundur ke sepuluh.


Sejak semalam aku merencanakan berangkat pukul tujuh pagi. Menurutku, itu waktu yang tepat. Tidak terlampau panas terik matahari yang menyorot tajam menyengat kulit.  Menurut pikiranku, pukul tujuh adalah waktu transisi, dari embun yang mencair menuju panas. Ah itu terlalu berteori berfilsafat. Pukul tujuh menurut hitung hitungan alokasi kerja adalah segala pekerjaan rumah yang penting di pagi hari seperti memasak nasi, masak air panas, menghangatkan makanan semalam, membuat kopi, matikan lampu teras, depan dan belakang, keluarkan jemuran pakaian handuk dan sepeda motor. Sudah selesai. Pekerjaan rutin pagi hari selesai yang dilanjutkan pekerjaan outdoor. 


Hari ini rencana itu gagal, keberangkatan harus ditunda, sebab hujan sejak pukul lima pagi sampai rencana berangkat di pukul tujuh, tak kunjung berhenti. Bukannya berhenti malah bertambah besar, semula gerimis kecil, menjadi lebat, butiran airnya sebesar jagung. Saya hanya berharap semoga derasnya hujan tak berlangsung seharian. Plan B, hujan berhenti, langsung berangkat.


Tunggu punya tunggu, baru pukul sepuluh hujan berhenti. Jam segitu bikin pikiran jadi ragu berangkat atau tidak. Sebab kalau pun berangkat, apakah barang yang dibutuhkan masih ada? Ah kenapa mesti berpikir seperti itu. Pokoknya berangkat saja,yakin saja barang itu ada. Jangan berandai andai yang negatif. Sikap dan perilaku seperti itu bikin gerakan jalan di tempat. Kalau dalam ilmu pembangunan, tidak positive thinking. Harus berpikir melangkah ke depan. Kalau tidak ada barangnya ulangi datangi lagi esok hari.


Dengan sepeda motor bebek tahun 2006 berangkat menuju pasar. hujan rintik tipis masih terasa sepanjang perjalan. Tetapi hujan seperti ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tidak akan membuat baju kaos lusuh yang dipakai sejak semalam basah karena hujan rintik.

Sampai, di tempat parkir sepeda motor, cari tempat yang tak rumit supaya keluar dari tempat itu lebih mudah.Masuk dalam pasar, tidak lewat pintu utama, aku Lebih suka lewat pintu samping, yang dekat dengan wc. Pintu yang jarang dilalui orang yang belanja, 


“Tiga, seperti biasa, dua potong filet, yang satu potong biasa potongan 14. Saya tinggal pak, saya akan ke tempat lainnya”


“Siyaaap.”


Tak jauh dari situ kios langganan Telur ayam negeri. 


“satu kilo bang. Berapa harga hari ini?” Saya tiap kali beli telur ayam selalu bertanya, sebab harga satu kilogram telur ayam tidak stabil. Dalam dua minggu terakhir naik turun, antara dua puluh sampai dua puluh lima ribu.  


“24 ribu.” 


“Minta satu kilogram yang bang. Saya ke tempat lain dulu”


Berjalan beberapa langkah dari situ, beda bangunan, walau tak jauh dari situ kios ikan hidup dan mati. Lalu pesan pada ibu yang penampilannya tomboy, pakai celemek karet, sepatu boot karet anti air, berjalan mondar mandir melayani pelanggan yang tak mau kena cipratan air kolam ikan lele, belut dan gurame. Mata tajam siap menunggu orderan.


“dua ikan gurame, setengah kiloan.”


“agak lebih sedikit, 1,1 kilogram. Sambil memperlihatkan angka timbangan ke arah, saya.


“Potong gimana Pak”


“ Fillet ya.”


Sambil nunggu ngobrol dengan ibu yang ada di samping, yang sedang beli lele.


“Ibu mau masak apa beli lele?”


Dikukus, lalu dikerok dagingnya, bikin bikin abon, bumbunya bawang merah kunyit, sayang tak lagi mendengar bumbu bumbu yang disebut ibu itu, di situ makin ramai saja orang yang belanja ikan, yang paling terdengar adalah ulek sampai lembut campur dengan bahan ikan. 


Perlu sepuluh menit menunggu ikan dibersihkan. Lalu selesai. Mulai menapaki telas, ke pedagang telur, lalu bayar ambil telurnya, lalu ke pedagang ayam, ambil ayam lalu bayar. Selesai. Tentengan telur, ayam, ikan. Tas isi karbol sereh yang dibeli di minimarket sebelum masuk pasar, sudah dicantolkan di stang sepeda motor. Untung saja barang masih ada, kalau hari sabtu dan minggu, jangan harap barang masih ada. Nikmatnya belanja bukan di akhir pekan. Kata pedagang umumnya, sampai jam sebelas masih relative lengkap. Lebih dari itu, sudah ganti buku, alias pedagangnya pada pulang. Aman. On the way home.


No comments:

Post a Comment