Monday, 15 June 2020

Cerita di Kamar

Cerita di Kamar

Baru saja meluruskan badan, siap berbaring. Sudah menjelang tengah malam, bunyi derit pintu kamarnya dibuka. Ki Demang masuk.

"Mari Ki Demang, baru mau baring meluruskan badan."

Maaf anak, mengganggu, tapi mumpung berdua di kamar...tidak akan ada yang mengganggu percakapan kita."

"Saya minta maaf tadi atas peristiwa tadi pagi. Saya ingin perlihatkan ke semua warga bahwa anak adalah orang yang cocok menjaga padukuhan ini." Kata Ki Demang dengan suara perlahan dan berat. Seolah makna kata yang terucap itu tidak disalahtafsirkan.

"Saya ingin agar pemuda di sini punya sikap berani dan mau berlatih beladiri menjaga wilayah ini."

"Saya sudah bicara dengan Bhakti Sampurna, mereka mau dilatih kanuragan oleh anak."

"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan. Apakah anak bertemu dengan siorang berambut putih berkumis dan berjenggot putih seluruhnya?”

"Orang tua itu beberapa kali lewat padukuhan ini, lalu masuk hutan dan beberapa hari kemudian lewat lagi. Perilakunya aneh, tidak bicara, senyum senyum, menyapa seadanya. Beli makan bungkus daun, bawa, entah makan di mana"

“ Iya betul Ki Demang. Saya tidak perlu berpura pura, bahwa saat itu saya hampir bertarung dengan beliau. Saya yakin dia berilmu luar biasa tingginya. Walau sambil tertawa terkekeh kekeh orangtua itu masih mampu melepaskan kekuatan dahsyat yang membuat saya terpelanting."

"Saya yakin belum setengah dari ilmunya dipakai untuk menyerang saya."

Adakah anak bertarung demikian hebat dengan bapaktua itu?

"Tidak bisa disebut bertarung Ki Demang. Dia menyerang dengan lembaran ilmu tenaga dalam yang tinggi. Dengan sekali pukul saya terpelanting, kepala terasa pusing tujuh keliling." Lalu diceritakan oleh Ganapati peristiwa berjumpa dengan orangtua eksentrik itu.

"Waktu itu saya curiga, kenapa orang itu menyerang tanpa alasan. Saya tak mengenal dia. Saya tak punya persoalan dengan dia. Sepengetahuan saya, saya tak pernah berurusan dengan orangtua itu. Bagaimana mungkin orang yang tak mengenal saya, menyerang dengan ilmu tinggi. Dalam hati, hanya orang yang mau membinasakan saya menyerang dengan ilmu tinggi.

Guruku, bapak dan ibu tak pernah mengajari menggunakan ilmu tenaga dalam yang tinggi pada serangan pertama. Tak pernah terpikir oleh mereka, demikian pula aku. Tak mungkin aku menyerang orang dengan kekuatan penuh pada serangan pertama."

Serangan pertama adalah serangan yang bertujuan mengkira kira lawannya. Intinya diperlukan untuk menjajaki apakah lawan kita punya ilmu yang tinggi. Setiap orang yang belajar kanuragan, dapat mengenali lawannya dalam serangan pertama. Serangan pertama amat dilarang bila dilakukan dengan kekuatan tinggi. Sebabnya, orang yang diserang belum tentu punya ilmu tinggi, dan lebih celaka lagi ketika orang yang diserang lalu terluka, ternyata salah sasaran, atau kata lain menciderai orang tak bersalah

Orang yang melakukan serangan pertama dengan ilmu tinggi, hampir pasti mau mencelakakan lawannya. Atau orang itu tahu benar, siapa yang diserang. Dia yakin dengan serangan ilmu tinggi itu lawannya tak mungkin celaka.

Itu yang terjadi pada serangan pertama yang dilakukan orang berambut putih ke saya. Saya yakin dia sudah menakar kekuatan saya. Kalau sudah menakar. Mestinya, dan saya yakin, dia pasti siapa saya."

"Sayang saya tak tahu siapa beliau. Bahkan tak berani menduga siapa sesungguhnya identitas orang yang menyerang saya."

"Apakah Ki Demang kenal dengan orang berambut putih itu? Sepertinya Ki Demang tahu banyak orangtua berambut serba putih”

“hahahaha....iya saya sedikit tahu orangtua itu. Ciri ciri orangtua itu mengingatkan saya akan cerita almarhum guru saya Ki Bronjong Wedi tentang para pangeran Majapahit yang tercerai berai sejak pindahnya pusat kerajaan dari timur ke barat."

"Seingat saya, tidak semua para pangeran setuju dengan berdirinya Demak, perbedaan pikiran pandangan keyakinan menjadikan Majapahit terpecah pecah. Walau kocar kacir, tapi para petinggi di dalam dan luar Demak sama sama berilmu tinggi, mewarisi ilmu ilmu langka dari Majapahit dan Singosari. Perguruannya menurunkan ilmu yang sudah jarang dikenal di masa sekarang. Ilmu beladiri, tenaga dalam, tanding, perang, bahkan ilmu sastra senandung, tembang, lukis, mematung, pande besi. Keris keris kerajaan Demak, asal muasalnya dari Singosari. Besar kemungkinan orangtua itu adalah salah satu bangsawan, atau mungkin pangeran yang lebih suka berpetualang bebas di alam daripada di Istana.

“Kalau dari cerita anak, saya yakin ada hubungan antara orangtua itu dengan anak?. Apalagi mendengar cerita bahwa anak mengenal gerak gerik dan jurus jurus ilmunya nya. Bukan cuma mengenal tapi juga bisa melakukannya. Itu kan artinya anak dan orangtua itu belajar ilmu dari satu sumber.

"Sewaktu duduk ngobrol di hutan, bapaktua itu tak cerita siapa dia?"

"Bapaktua itu malahan tanya apakah orangtua saya pernah cerita tentang orang berambut putih. Lalu malah tanya keadaan Demak. Lalu pamitan."

"Datang mendadak, pamit mendadak, tidak ada tata sopan santun, tak menjaga perasaan orang lain, tidak ada basa basi."

"Hahahahaha orang aneh. Tak dapat disangkal pasti anak punya hubungan dengan orangtua itu."

"Nama Ganapati, bukan nama orang biasa. Nama itu nama mengandung unsur Hindu dan Majapahit yang kuat. Anak mewarisi ilmu yang sama dengan orangtua itu, Semakin yakin bahwa anak, mewarisi darah Majapahit.

"Siapakah ayahmu, Ganapati?"

"Menurut cerita ibu, ayahku itu berprinsip kuat kokoh tapi juga lembut hati. Dia banyak diam dalam pertikaian di kalangan para bangsawan kerajaan Demak. Dia bersahabat dengan Sunan Prawata, Karebet, Aryo Penangsang dan keturunan pangeran Kanduruwan.

Sesungguhnya para keturunan Demak adalah keturunan dari Majapahit. Semua bersaudara. Kadang iri hati sering jadi sumber pertikaian. Karena Sultan sering berkunjung ke satu Adipati, lalu Adipati yang lain tersinggung. Kadang karena Sultan lebih mendengar nasihat satu tokoh agama, tokoh agama yang lain menjauh. Bukan cuma di tataran sultan, juga terjadi di tataran adipati, pangeran, tumenggung terus sampai di tingkatan yang paling rendah.

Ini yang dialami oleh ayah. Semula ia menduga pertikaian hanya di kalangan para petinggi istana saja, makanya dia memilih tugas di luar istana. Pikir ayah daripada mendengarkan keluhan sekitarnya, lebih baik melepaskan diri dari kungkungan lingkungan istana.

"Menurut Ibu, ayah itu memilih memimpin pasukan menyerang daerah bekas kerajaan Majapahit dan Singosari. Di medan laga, bukan musuh yang tak dikenali, melainkan ayah berhadapan dengan saudara sendiri. Saudara yang berseberangan dengan Demak. Kabarnya ketika pertempuran dahsyat terjadi, ayah hilang, terakhir masih kelihatan di daerah pasuruan. Setelah itu tidak ada kabar lagi.

Ki Demang mengangguk angguk dengar cerita Ganapati.

"Sepertinya cerita tidak akan selesai di sisa malam ini." Kata Ki Demang dengan suara dalam, membayangkan suasana di istana dan wilayah kekuasaan Demak."

Tiba tiba pintu berderit membuka. "Maaf Ki Demang, saya memberanikan diri masuk kamar ini, karena saya dengar Adi Ganapati masih belum tidur."

"Ada apa, Sampurna?"

"Saya disuruh menyampaikan pesan ada seorang pemuda yang mau berjumpa dengan adi Ganapati." Kata Sampurna dengan suara perlahan

"Siapa?" Tanya Ki Demang heran.

"Pemuda itu mengaku bernama Ranu" Lanjut Sampurna.

"Ranu?" Ki Demang dan Ganapati menyebut bersamaan waktu, seperti heran dengan nama itu.

"Ranu, siapa?" Tanya Ganapati.

"Dia hanya menyebut Ranu saja. Mau bertemu dengan adi Ganapati di ujung utara, berbatasan dengan bukit hutan perdu esok tengah hari."

"Terima kasih Sampurna, biarlah anak Ganapati istirahat setelah semalaman cerita dengan saya." Kata Ki Demang menutup pembicaraan dengan Sampurna

"Tidurlah nak, simpan ceritanya untuk lain kesempatan. Biarlah kita bersama menemui Ranu esok siang." Kata Ki Demang sambil keluar kamar.

No comments:

Post a Comment