Naik Trans Jakarta (TJ) tujuan Kota Tua, menenteng kamera nikon DSLR dengan Lensa terpasang manual 35mm f2. Ada satu lensa persediaan di tas 50mm f1.4. juga lensa manual. Lensa 50mm f1.4 adalah pemberian teman semasa mahasiswa yang pernah hobi, tergila gila motret. Waktu itu masih pake kamera analog, FM2, kamera yang amat popular awal tahun 80an, selalu menenteng kamera itu dengan lensa 50mm nya. Tidak pernah beralih ke zoom, dan dengan bangga mengatakan Lensa itu artinya 50mm, pengganti mata kita. Zoom tidak penting, kalo kurang deket obyeknya, ya deketin, kalo kurang lebar, ya menjauh. Jadi inget kata kata mutiara fotografer perang yang terkenal itu.
Senang punya teman yang konsisten pakai lensa. Sayangnya dia sudah nggak lagi motret, tak banyak kawan diskusi soal motret. Katanya kamera dan lensa masih dia simpan di rumah, tidak pernah dipake lagi. Kameranya sudah macet, lensanya sudah jamuran. Kalau mau mulai lagi hobi motret, mesti perbaiki kamera dan lensanya. "Males" katanya. "Biar aja, kalau lu butuh, ambil aja di rumah." Katanya lanjut. "Iya kalo perlu, bakalan gue samperin rumah lu." Itu cerita lama ngobrolin soal kamera dan lensanya yang tersimpan nggak pernah dipake lagi. Ternyata sampe sakarang saya nggak pernah ambil kamera dan lensanya. Bukan nggak mau, hanya nggak tau mau diapain kamera dan lensa itu setelah aku ambil.
TJ sudah sampe dukuh Atas, belum ada obyek yang menarik difoto. Padahal duduk samping jendela bersih yang besar. Mau motret bangunan, sudah sering. Sudah banyak stok di laptop, mau cari obyek yang belum ada stok. "Nah ini dia, ada kerumunan orang, menutupi sebagian jalan depan HI". Rupanya demo. Berantas Korupsi. Hukum berat koruptor." Begitu tulisan di spanduk di mobil maupun yang dibawa para demonstran yang jalan kaki. Makin lama makin jelas bahwa pemerintah tidak memihak ke rakyat kecil." Kata penumpang yang duduk di belakang. "Ah nggak juga" kata sebelahnya." Apanya yang nggak memihak ke rakyat". Itu buktinya korupsi nggak diberantas.?"
"Sudah banyak yang ditangkap tangan mau sogok pejabat."
"tapi buktinya hukumannya ringan, dihukum tapi penjaranya beda, lebih enak, pake ac, kamar mandi pake air panas, mewah. Padahal dia sudah ketahuan korupsi milyaran rupiah." Kata yang pertama nggak mau kalah.
"Ya, yang didemo harusnya hakim yang kasih hukuman terlalu ringan. Bagian hukum kan beda dengan eksekutif. Kata temannya berusaha menjelaskan.
Saya nggak kepengen nguping lagi. Biar saja mereka berdebat soal itu. Saya asik mengambil gambar kerumunan yang demo. Hanya berdoa semoga jalur busway tetap lancar. Seringkali kerumunan demo meluas sampai memakai jalur busway sehingga menghambat gerak TJ. Kawan saya pernah cerita dia sampai rumah tengah malam, gara gara jalur busway dipakai untuk kerumunan, akhirnya jalur di alihkan. Pengalihan jalur tidak menjadikan jalanan lancar sebab semua kendaraan juga dialihkan ke jalur yang sama.
Syukur, akhirnya TJ melewati bundaran HI. TJ langsung lancar. Pemberhentian di halte sarinah, motret motret orang orang yang jalan di trotoar. Laki dan perempuan berjalan beriringan, ada yang satu satu, ada yang bergerombol. Saya menghabiskan puluhan jepretan. Untungnya teknologi kamera sekarang berkembang cepat. Kamera tidak menggunakan roll film tetapi kartu memori, nggak suka gambar tinggal dihapus saja. Membayangkan kalau masih menggunakan roll film, sudah tiga roll minimal saya habiskan untuk motret orang berjalan di trotoar.
Mau turun di harmoni, ragu ragu. Lanjutkan saja sampai pemberhentian terakhir di stasiun kota. Kembali motret para pedagang kaki lima di sepanjang jalan Hayam wuruk. Ada jualan makanan, kelontong, koper tas. Bosan motret, simpan kamera di tas, siap siap turun di halte terakhir.
Di trotoar depan museum Bank, saya.ambil.beberapa foto pedagang kaki lima, sambil jalan, terus motret. Pedagang batu cincin, menarik perhatian. Warna warni batunya menarik untuk difoto. Penjualnya seorang ibu.
"Tumben kok jualan batu cincin bu." Saya menyapa sambil foto penjualnya. Dia menutup wajahnya, "saya jangan difoto. Jelek."
"Suami lagi pergi, saya jagain saja. Bentar lagi juga datang. Mau ketemu temennya, ada bisnis baru." Katanya.
"Bagus bagus batu cincinnya," kata saya basa basi.
"Itu suami yang pilihin. Mau beli Om?"
"Nggak, saya sudah banyak di rumah."
"Om wartawan? Mau dimasukin koran?"
"Nggak saya cuma hobi motret saja."
Saya permisi, bilang terima kasih, mau lanjut ke kota tua.
"Iya di sana banyak tukang foto kayak om."
"Iya, saya mau lihat lihat tukang foto itu." Sambil jalan menjauh dari pedagang batu cincin.
Sambil jalan lihat gelaran pedagang. Lalu menengok ke pinggiran jalan, ambil gambar pedagang batagor dengan gerobaknya. Ada tiga gerobak dagang di situ. Gerobak gorengan, kripik kentang dan somay. Mau beli, tapi belum terlalu lapar. Nanti saja kalau ada soto tangkar. Salah satu favorit makanan Jakarta.
Menelusuri trotoar kota tua, penjajanya lebih variatif. Ada jasa tatoo, lukis cepat, foto bersama, ada band, main musik keras, bikin suasana panas di cuaca mendung.
Cari tempat duduk di luar di salah satu cafe di situ. Tak jauh ada kelompok fotografer sedang diskusi soal hasil pemotretan model. Modelnya juga ikutan diskusi, dua perempuan masih muda. Samar samar ada yang ngomong, angle nya mesti geser geser. Kalo nggak pas rada geser kiri kanan Maunya begitu, tapi tadi banyak banget yang motret, ruang motretnya jadi desek desekan. Ada pula yang cerita soal bokeh, atau background yang blur. Diantara mereka berlomba yang cantik. "Pakai lensa Russia, bokehnya melintir.", Bukan sekedar blur tapi blu yang melingkar lingkar seperti pusaran angin.
Saya perhatikan, kameranya rata rata bagus, lensanya semua pake lensa baru, zoom. Rasanya pengen ikutan nimbrung dan lihat hasil bidikan mereka. Ah biarlah, toh saya nggak terlalu tertarik dengan potret foto model. Saya lebih tertarik motret candid, di jalanan. Fotografer bilang itu streetphoto.
"Mau pesen apa om?"
"Ada kopi robusta?"
Di sini kopi nya, dia menyebut istilahnya, tapi saya nggak ngerti. Lalu menegaskan lagi. Ada robusta? Nggak ada om. Di sini arabica campur, lagi dia sebut istilahnya, tapi gak jelas, jadi diam saja. Nanti saja cek di google siapa tau ketemu istilah itu, walaupun nggak penting amat tahu.
Warung kopi di jakarta tumbuh dengan cepat. Masing masing warkop punya ciri sendiri, dengan gaya promosinya. Ada soal biji kopi yang organik, sampai pengolahan dengan mesin pembuat kopi yang canggih agar mampu mempertahankan aroma dan rasa kopi orisinal.
Temanku yang ahli kopi bilang air panasnya 90derajat, tidak boleh pake gula, atau campuran apapun, lalu minumnya dihirup, sruuup, di situ ketahuan kopi enak atau tidak. Apapun yang diceritakan temanku itu, rasanya hebat sekali.
Buat saya kopi yang biasa saja, bubuk saja sudah cukup, diguyur air mendidih, pake gula secukupnya, sudah nikmat. Kopi menjadi lebih nikmat lagi dengan jajanan pisang atau singkong goreng. Kalau saya lebih suka dengan jajanan wajik atau cucur.
"Jadi nggak ada robusta?"
"Apa om mau americano, biasanya banyak yang suka."
Nggak usah deh. Saya cek harga americano 20 ribu plus plus. Lebih baik ngopi di angkringan. Tiba tiba teringat kota Jogyakarta. Ngopi di angkringan rasanya nikmat. Kopi robusta di toples, dua sendok Kecil, sendoknya bengkok, supaya lebih cepat menyerok kopi dalam toples. Biasanya ditanya penjualnya, "kopi manis mas?"
"Sedeng aja pak?"
Dimasukan dua sendok kecil gula, lalu tuang air dari teko yang selalu dirajang di atas bara api.
"Monggo mas?"
Satu gelas kecil kopi dengan lepek, sudah ada di meja panjang depan saya. Sambil makan gorengan yang bertumpuk depan saya. Ada tempe goreng tepung, bakwan, tahu isi, ubi singkong goreng. kalau pagi ada jajanan pasar, titipan orang, biasanya ada tahu dan tempe bacem, ada nasi kucing isinya ada ikan ada daging. Tak banyak nasi nya tak banyak pula daging atau ikannya. Nikmat.
Mungkin saya termasuk kategori orang yang sulit berubah. Dari dulu kalo ngopi yang senangnya di warung kopi yang rasanya seperti kakilima. Biar tidak menggunakan gerobak dan dagang kakilima, tapi rasa dan jajanan mesti seperti itu. Di warteg ada yang menjual kopi dengan jajanan. Makanya lebih suka warteg daripada cafe. Jajanan cafe tidak mengundang selera.
Terpaksa meninggakan cafe. Rasa sungkan duduk di situ tanpa pesan. Mungkin pelayannya juga disuruh supaya terus tanyakan pesanan. Duduk di situ tanpa pesan, akan merugikan. Harusnya ada orang lain yang harusnya duduk di situ, tapi nggak jadi, karena ada saya. Bayangkan seandainya orang itu, katakan berempat pesan kopi atau lainnya lalu pesan makanan, berarti cafe akan lebih untung berkali lipat.
Jalan menyusuri kota tua, mengambil jalan arah asemka, foto sana sini para pedagang, orang bergerombol, mengelilingi penjual obral pakaian, ada pula sepatu, aksesoris hamdphone, tas belanja yang super besar dengan lukisan kota tua, ada pula yang jualan kalender, buku alat tulis, aksesoris perhiasan, kalung cincin gelang aneka warna.
Mendekati petugas kebersihan yang sedang menggali, katanya mau mengganti gorong gorong. Hanya dua orang yang bekerja, sisanya duduk menikmati rokok dan kopi. Ambil beberapa gambar di situ, foto yang sedang bekerja dan foto pekerja yang duduk santai. Berapa lama bekerja bongkar ganti gorong gorong, sambil membayangkan seperti apa China membuat rumahsakit dalam tempo sepuluh hari.
Lelah jalan keliling, memutuskan kembali ke halte TJ, menunggu tak lama, lalu naik, hanya kurang dari sepuluh menit, turun di halte harmoni, naik. jurusan UKI lewat kampung melayu, turun di UKI, pindah TJ lalu turun di Halte BKN. Nunggu cukup lama, TJ yang jurusan ke cibubur jarang, padahal penumpangnya banyak. Dengan desak desakan akhirnya naik. Nggak dapat tempat duduk. Kalau normal, hanya butuh waktu 15menit paling lama sampai halte cibubur.
No comments:
Post a Comment