Monday, 15 June 2020

Undur diri

Undur diri
Dia sudah muak, jemu, jijik tak tahan melihat keadaan istana. Walau tak diceritakan, tetapi orang orang sekelilingnya sudah tahu. Dia memilih diam, menyendiri di pekarangan belakang rumah daripada ikut lingkaran perselisihan antar kerabat seketurunan kerajaan yang tak berujung. Seolah tak ada lagi kawan bicara di lingkungan itu.

Dulu semasa masih ada, ayahnya adalah tempat mengadu. Persoalan dari kecil sampai besar dibicarakan bersama. Setelah ayahnya dikabarkan gugur dalam perang di Pasuruan Jawa bagian timur, dia kehilangan kawan bicara. Ibunya, apalagi. Lebih suka menyendiri dalam kamar. Tidak mau diganggu. Seolah sudah kiamat dunia ini semenjak ayahnya tak pulang rumah.

Ayah adalah sumber hidup keluarga. Almarhum ayahnya mengingatkan prinsip hidup adalah suara hati. “dengarkan suara hati, karena itu yang paling jujur” bisik ayahnya setiap kali dia ragu memutuskan.

“Jangan menjadikan saran orang lain menjadi keputusanmu.”

"Ingat ayah, ibu, guru guru itu adalah manusia biasa yang punya kelemahan, apapun kelemahan itu. Kelemahan yang bisa jadi mendatangkan petaka.

Ibu itu orang bijak tak pernah menolak keputusan anaknya. Dia memberi saran, diterima atau tidak, selalu direspons dengan senyum dukungan.

Ibunya bukan orang yang senang dengan jabatan, kalaupun senang, dia tak mungkin menjabat. Dia perempuan, tidak berhak atas jabatan. Dia mengutuk aturan tata nilai itu. Tak diucapkan tapi gereget geram gerahamnya tak mampu disembunyikan. Siapa yang menciptakan aturan itu, tak ada yang menyadari. Sepertinya terjadi begitu saja.

Konon menurut cerita kerajaaan leluhurnya pernah dipimpin oleh seorang perempuan yang sakti mandraguna. Sayangnya hanya ssepenggalan kekuasaannya, lalu diambil alih oleh leluhur yang laki laki. Makin ke sini makin terasa bahwa seorang perempuan tidak patut memimpin kerajaan.

Perempuan hanya menjadi pendamping dan harus rela membagi haknya kepada perempuan lain yang menjadi isteri isteri raja atau pangeran. Paling kehormatannya adalah menjadi permaisuri karena isteri pertama. Keadaan itu tak mampu ditolak. Itu takdir itu menurut aturan norma nilai kerajaan.

Ibunya paling mengutuk perebutan tahta. Bagi ibunya, kekuasaan itu titipan dari penguasa Jagad Raya yang bertujuan agar rakyat memperoleh kesejahteraan sebanyak banyaknya. Ibunya kagum dengan kakek yang tak kenal lelah untuk rakyat. Tapi ibunya marah karena kakek punya isteri lain di samping nenek. Bukan satu tapi banyak isteri kakeknya. Menjadikan perhatian kakek pada ibu jauh berkurang. Ibunya tak berani protes sebab demikian adanya. Ibunya memilih diam seribu bahasa. Bahkan perasaannya tidak diceritakan kepada anak lelakinya. Ganapati.

Perpaduan mendengar suara hati seperti saran ayahnya dan meniru sikap memendam perasaan dari ibunya menurun ke Ganapati.

Suara hatinya melarang membenci saudara saudaranya seketurunan. Suara hatinya melarang menyerang pamannya yang satu, membela pamannya yang lain. Pertentangan keluarga sudah jadi momok bagi dirinya. Dia ingat kakeknya pun memilih keluar dari istana, memilih tidak tinggal di istana walau itu menjadi haknya. Kakeknya lebih suka hidup di padepokan yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan.

Sudah jadi ketetapan hati, menyusul kakeknya yang hidup di lereng gunung Wilis. Tujuannya sudah kuat, sudah yakin mendiang ayah dan ibu mendukung bertualang menambah wawasan. “Pergilah Ganapati. Suatu saat kau kembali dengan pikiran dan hati yang jernih, sejernih mata air pegunungan." Terngiang bisikan ibunya sebelum berangkat.

No comments:

Post a Comment