Monday, 15 June 2020

Teman

Teman

Persahabatanku dengan dia dimulai dari peristiwa kejutan. Di daerah pondok gede yang ramai tiba tiba sepeda motor tak berjalan walau sudah digas. Makin digas, makin keras bunyinya, tapi sepeda motor makin melambat jalannya. Seorang pengendara sepeda motor menyusul, memberitahu;
“Apa!” karena teriakannya kalah dengan ramainya suara kendaraan di situ.

“Rantenya” dia mengulang.
Langsung saya melihat ke bawah jok, wah iya rantainya sudah menggeleser di aspal. Buru buru mematikan mesin dan menepi di pinggiran jalan yang trotoarnya padat dipenuhi pedagang kaki lima, turun dari sepeda motor, memasang standar berdiri supaya roda belakang tak menyentuh aspal. Memandangi rantai yang menggeleser itu. Sama sekali tidak mengerti apa yang mesti dilakukan dengan rantai putus itu. Dalam hati mengutuk, kenapa dari rumah tidak memperhatikan rantai ini. Apa boleh buat “nasi sudah jadi bubur”.
Coba coba mau menyambung rantai itu. Walaupun tak punya keahlian sama sekali soal komponen sepeda motor. Buka bagasi, keluarkan lap dan obeng dobelfungsi; bisa plus bisa minus. Pegangi rantai yang menggeleser membersihkan seadanya, lalu coba memasukan ke gir roda. Lalu menyambung rantai yang putus. Ah rupanya di biji biji rantai ada cantolan penyambung. Cantolan itu mesti dibuka, sepertinya bisa pakai obeng minus. Coba buka, ternyata keras sekali, dengan sekuat tenaga, tetap tak bergeming. Cantolan itu sepertinya hanya mungkin dibuka pakai tang, dan alat itu tak tersedia di bagasi. Lagi lagi menyumpah serapah, kenapa nggak punya alat yang lengkap.

Coba lagi, mungkin rantainya dimasukin ke gir dulu, nanti dia akan nyangkut sendiri. Begitu logika saya. Logika yang hanya disimpan dalam hati. Coba lagi pasang rantai, coba lagi,coba lagi berulang ulang. Tetap tak bisa nyangkut dan cara ini tak membuat roda jadi berputar. Kalau berpikir normal memang tak mungkin. Coba coba yang saya lakukan lebih pada berharap mujizat rantai itu nyantol dan sepeda motor bisa dipakai lagi. Tak mungkin, bahkan dengan bantuan tenaga dalam sekalipun dengan doa doa harapan. Kalaupun berharap mujizat, bukan di situ tempatnya, pikirku.

Apa yang terpikir dalam benak saat itu adalah mencari bengkel terdekat. Berdiri tengok kiri kanan, sambil meluruskan badan, melengkungkan ke kiri dan kanan, mengatasi pegal sendi sendi yang berasa kaku dan ngilu terlalu banyak berjongkok dan leher mendongak.

Ah barangkali ada bengkel dekat situ. Memicingkan mata, mencoba focus, sekali lagi lihat kanan dan kiri, lihat seberang jalan. Tak ada! Berjalan sedikit naik ke trotoar, tanya ke pedagang di situ yang siap menggelar lapaknya. Mungkin sibuk dengan persiapan buka lapak, langsung si pedagang bilang tak tahu. Geser lagi, ke pedagang yang lain, kali ini agak santai, wajahnya juga lumayan ramah.

“Ke sana aja pak” sambil menunjukan jari telunjuknya ke arah balik dari arah tujuan saya “ berarti mesti dorong dan nyeberang jalan, mana pula ada pembatas jalan, mesti naikin, putar balik masih belum keliatan.

“Kayaknya jam segini sudah buka. Mudah mudahan.”

Itu satu satunya informasi soal bengkel, tapi tidak memuaskan, membayangkan mesti dorong sepeda motor, nyeberang jalan yang ramai, menaikan sepeda motor ke pembatas jalan, lalu nyeberang lagi. Itupun belum tentu bengkelnya buka. Omongan terakhir kan si pedagang bilang, mudah mudahan, artinya tidak yakin bengkel itu buka.

“Baik pak, terima kasih.” Sambil membenahi kunci perkakas satu satunya yang ada di bagasi sepeda motor. Masukan peralatan itu, dan kain lap yang sudah berubah warna menjadi hitam. Buka jok, susun alat dan lap yang rapi supaya muat, lalu tutup, sambil terus berpikir, mesti dorong sepeda motor balik arah.
Lagi lagi berdiri, meluruskan badan, tolak pinggang sebentar ngulet kiri kanan, sebelum mendorong sepeda motor ke bengkel yang mungkin dekat, atau bisa saja jauh, si PKL tidak jelas memberitahukan di mana persisnya lokasi bengkel itu.

Selagi berdiri itu, tiba tiba ada sepeda motor mengurangi kecepatan dan menepi, memperhatikan sepeda motor parkir di pinggir jalan dengan rantai menggeleser. lalu menyapa saya. “bawa ke rumah saya saja pak, saya perbaiki.” Teriaknya. Hah! coba bertanya lagi. "Apa" tanya saya. "saya perbaiki, tapi mesti bawa ke rumah, saya nggak bawa alat." Ucapannya itu Rasanya seperti ketiban rejeki nomplok .

“O, di mana? Jauh dari sini.”

“Bapak naik sepeda motor saja, saya tarik, saya ada tali plastic. tidak jauh dari sini.” Rasanya seperti ada tenaga gaib, bantuan dari dunia roh, enerji saya tersebar ke segala arah, kemudian direspons oleh anak muda ini, maka datanglah dia. Hanya terima kasih tak cukup untuk bilang ke dunia supranatural, penguasa jagad. Doa harapan saya dikabulkan.

Tanpa banyak tanya, anak muda itu sudah mengikat stang motor saya lalu dihubungkan dengan buntut sepeda motornya. “Ayok siap pak, setir sepeda motornya.” Katanya. Lalu pelan pelan menarik. Berjalan melewati padatnya kendaraan roda empat dan roda dua, belum lagi ada gerobak gerobak sampah, pedagang yang berjalan bergerak lawan arah. Perlu ekstra hati hati mengendarai sepeda motor dalam kondisi ditarik.

Sepanjang jalan saya berpikir, siapa orang ini. Mulai timbul curiga, jangan jangan sampai daerahnya saya ditodong, motornya suruh tinggal, saya suruh pergi jalan kaki. Kalau saya melawan, nanti bakalan ditikam atau ditodong senjata tajam, atau bahkan pistol. Sudah sering liat di televisi aksi penodongan dengan pistol, dan korbannya tewas, sepeda motornya hilang tanpa jejak. Sambil berpikir sambil memperhatikan orang yang menarik motor saya dari belakang. Penampilannya tidak seperti perampok, tinggi sama, hanya badannya lebih kurus tapi kekar. Ah kalau pun harus melawan masih bisa asalkan satu lawan satu. Terus saja pikiran berkecamuk, semuanya serba negative berputar putar dalam pikiran.

“sudah sampai pak, itu rumah saya,” setelah di ujung gang berhenti sebentar. Perlahan tapi pasti, sepeda motor ditarik menuju rumahnya yang kurang dari lima puluh meter.
“silahkan duduk dulu. Biar sepeda motornya saya dandani.” Dia berikan kursi plastic, saya duduk di pinggiran gang sementara dia membuka perkakas, dan mulai membuka roda, membersihkan gir dan rantai, lalu memasang, kemudian memasang roda, lalu meminyaki rantai, memutar rodanya berulang ulang, sampai dirasa sudah cukup aman.

“Coba dulu pak!.” Sambil terkagum kagum, kok ada orang yang baik hati di kota besar. Membantu membawa sepeda motor, memperbaiki. Saya coba, starter lalu jalan sampai ujang gang, balik lagi, lalu ulang lagi sampai dua kali.
“rasanya sudah oke mas. Terima kasih banyak mas. Berapa bayarnya?”

“Terserah bapak saja” ‘

“Ah jangan gitu dong. Berapa biasanya perbaiki rantai,?

“Terserah saja pak, saya tadi niatnya hanya membantu saja, soalnya saya liat bapak bingung.”
Makin salut dan trenyuh saya atas sikap dia, menawarkan servis tanpa matok harga. Jarang sekali ketemu orang seperti ini. Saya buka dompet mengeluarkan uang, menyelipkan di kantongnya seratus ribu rupiah.

“terima kasih pak.”

Bagaimana cara keluarnya? Sampai ujung gang, bapak ke kanan, nanti jalannya melengkung, ikuti jalan itu saja, sampe mentok, lalu belok kiri ketemu jalan raya. Bapak mau ke mana?

“Saya mesti ke kantor daerah Cawang. Biasanya lewat Halim.”

“Setelah jalan raya belok kiri, nanti ada penunjuk jalan arah Halim.”

Terima kasih banyak mas, terima kasih sudah membantu saya. Boleh tahu namanya mas? Dari tadi ngobrol nggak tahu nama. sekalian saya minta nomor HP nya supaya kalo perlu saya bisa kontak mas”

“Abdi. Pak. Ini nomor hape saya lalu dia menyebut, saya masuk ke daftar kontak, tulis nama Abdi dengan nama di belakangnya Montir. Sekedar antisipasi, sebab ada dua nama Abdi di daftar kontak. Lalu, pencet tanda disimpan. Selesai.

No comments:

Post a Comment