Mengenal Asal Usul
"Basuh mukamu lebih dahulu Mayang. Di perigi di belakang sana. Sejuk airnya, sekalian basuh badanmu dari keringat dan debu"
Masih tersisa wajah marah dari Mayang Ayu, jurus yang sudah dipersiapkan merobohkan Ganapati terpaksa dibatalkan karena kehadiran Kakeknya. Dia hanya menurut perintah kakeknya, berjalan ke arah belakang pohon Randu menuruni lembah kecil mencari mataair yang ditunjukkan kakeknya.
Ganapati hanya mengawasi langkah langkah kecil Ranu yang kemudian diketahui bernama Mayang Ayu. Sejak diketahui dengan jelas bahwa dia adalah perempuan, Ganapati makin memperhatikan cara jalan Mayang Ayu. Dalam hatinya ia mengumpat kenapa tak dari awal diketahui lawannya adalah perempuan. Dari wajahnya yang aneh untuk ukuran laki laki, teriakannya, jurus yang dimainkan, kegesitannya memainkan tangan dan kaki, sudah memperlihatkan dia sebenarnya perempuan. Entah apa yang membuatnya tak bisa berpikir, seolah semua lawannya adalah laki laki. Bahkan rambutnya yang panjang, walau awut awutan tidak mencirikan laki laki.
Tak sadar Ganapati mengamati Mayang Ayu terus menerus, sampai lenyap dibalik gundukan bukit kecil.
"Duduklah mendekat di sini Ganapati" suara bapaktua itu menyadarkan Ganapati.
"Oh maaf Bapaktua. Baik Bapaktua" Ganapatipun melangkah mendekat, lalu duduk bersila di rerumputan di samping Bapaktua.
Jutaan bintang dan bulan purnama menerangi padang perdu demikian terangnya, hampir nampak semua benda benda alam sejauh mata memandang.
"Jadi setelah pertemuan kita di hutan tempo hari, anak terus berada di sini."
"Betul bapaktua, saya berada di sini membantu menjaga padukuhan ini." Lalu Ganapati menceritakan peristiwa peristiwa yang terjadi di sini. Bapaktua hanya mengangguk angguk kepala sambil sekali sekali menengok ke belakang, sepertinya menunggu Mayang Ayu.
Tak lama, muncul dari balik bukit Mayang Ayu. Rambutnya tak lagi berantakan, tapi digulung ke atas, ikat kepalanya dilepas dipakai untuk mengikat gelungan rambut. Semakin mendekat semakin nampak wajah yang bersih. Pantulan cahaya bulan dan bintang menambah langkah langkah kecil Mayang Ayu seperti bidadari turun dari kayangan.
Geraknya dalam berjalan di padang perdu, di bawah sinar bulan dan jutaaan bintang membuat Ganapati terpana. Tak sadar kalau Bapaktua itu bertanya tentang Ki Demang. Karena tak mendapat jawaban, Bapaktua mengulang lagi pertanyaannya.
"Di mana Ki Demang sekarang ini?" Bertanya dengan sedikit keras sambil menatap Ganapati.
Dengan tergagap gagap Ganapati menjelaskan "Seharusnya dia ikut ke sini, tapi saya melarang, sebab ini bukan urusan Padukuhan melainkan pribadi.
"Mari duduk dekat sini Mayang Ayu."
"Kamu sudah mengenal Ganapati, bahkan sudah beradu ilmu dengannya." Sambil duduk, Mayangayu melihat sebentar ke Ganapati lalu menunduk.
"Kalian berdua duduklah, duduk dengan bebas dari rasa tegang. Jangan duduk berhadapan seolah seperti orang yang bermusuhan."
Kembali Ganapati dan Mayangayu saling menatap tapi kemudian Mayangayu membuang muka memindahkan pandangannya seolah melihat bulan dan bintang di langit.
Cukup waktu bagi Ganapati untuk menilai betapa cantiknya Mayangayu. Sungguh wajah perempuan seperti putri khayangan yang sering diceritakan ibunya. "Siapa gerangan Mayangayu ini" tanya Ganapati dalam hati. Ia berkali kali mengutuk dirinya begitu bodohnya dia sampai tak mengenal orang yang menyerangnya adalah perempuan.
Kalian berdua memang tidak saling mengenal, tetapi ayah kalian semasa muda bersahabat. Sebagai pengawal istana, mereka sering mendapat tugas bersama, ke daerah barat, timur memadamkan pemberontakan terhadap Demak. Tidak semua pemberontak itu bisa dipadamkan tanpa kekuatan pasukan. Dua bersahabat itu punya andil besar, wilayah Demak sampai Blambangan bisa dikuasai tanpa kekerasan. Bagi mereka berdua, Demak tak perlu menguasai kerajaan kerajaan kecil itu, asalkan mereka mengakui Demak.
Gajah Wisesa dan Jaka Umbara dua bersahabat dan dua orang yang berguru pada sumber ilmu yang sama. Segala ilmu Majapahit sudah menyatu dalam tubuh mereka berdua. Semenjak remaja mereka sering berlatih bersama di bawah pengawasanku. Ada keunggulan masing masing. Gajah Wisesa diibaratkan gajah yang berbadan besar kokoh dan segala kekuatan apapun tidak akan mampu menggeser kedudukan kakinya yang kokoh menjejag bumi. sementara Jaka Umbara, lebih unggul dalam kecepatan. Lawan sering bingung dengan kecepatan itu seolah Jaka Umbara berada di mana mana, pukulan lawan sering mengenai tempat kosong sebab Jaka Umbara sudah tidak berada di situ.
Kalian pasti sudah tau siapa ayah kalian masing masing.Mereka berdua mewarisi ilmu Majapahit. Ilmu yang diperoleh dari perguruan kami.
"Kami!?" Tanpa sadar Ganapati dan Mayang Ayu bertanya.
Iya. Aku dan kakek Ganapati berasal dari satu perguruan. Perguruan yang sama dengan para keturunan Brawijaya. Seperti yang sering aku ceritakan tidak semua keturunan Brawijaya suka tinggal di istana. Tidak semua pangeran pangeran Majapahit mengakui kerajaan Demak. Pertikaian yang meruntuhkan Majapahit. Bukan karena kekuatan dari luar, tetapi dari dalam.
Kepada Gajah Wisesa dan Jaka Umbara,
Kami mewarikan ilmu Sapu Angin, Tapak Obong, Guncang Waringin, Rawarontek, Lembu sekilan, Tameng waja, gelap ngampar. Bukan cuma ilmu kanuragan, yang bagi kalangan kami dianggap ilmu rendahan dan kasar. Perguruan kami juga mengajarkan cara cara bernegara, memerintah. Kami juga belajar filsafat membaca serat serat apa arti hidup, kitab perjalanan hidup seseorang dipelajari, dari mulai awal lahir, akil balik sampai menemukan jati diri. Kami diajarkan oleh guru tentang sastra budaya leluhur, tembang antara lain dandanggula dan asmaradana, serta banyak tembang yang lainnya.
Itu bukan berarti kami suka hidup dalam lingkaran kekuasaan di istana, tapi dengan belajar itu kami mampu memahami arti hidup. Kami lebih mengerti soal perebutan kekuasaan yang bermula dari iri dengki cemburu, sakit hati, kami juga belajar tapi juga hakikat moral, sastra, dan juga olah kanuragan.
Sekali sekali Ganapati menengok ke arah Mayangayu yang tekun mendengarkan cerita kakeknya, ketika Mayangayu melihat ke arahnya, dia memalingkan wajah ke Bapaktua seolah mendengarkan ceritanya.
Selagi tekun mendengar cerita bapaktua itu, dari kejauhan ramai orang berduyun dari arah padukuhan menggunakan obor menerangi jalan.
"Nampaknya Ki Demang dan warga padukuhan mencari keberadaanmu." Kata bapaktua
Iya Ki Demang pasti mencari saya. Dia merasa tanggung jawab selama saya berada di wilayahnya.
Ganapati, mumpung ki Demang masih jauh ,biarlah aku izin pergi bersama Mayangayu, nanti saatnya kita ketemu lagi.
"Apakah tidak sebaiknya menunggu Ki Demang dan istirahat di Padukuhan"
"Lain waktu saja, sampaikan salam buat Ki demang"
"Ayo Mayangayu, biarlah kita pisah sejenak, nanti kita ketemu lagi dengan ganapati."
Mayangayu menatap Ganapati. Lalu mengucap "saya permisi kakang, sampai ketemu lagi."
Iya sampai ketemu lagi Mayangayu." Balas Ganapati tergagap gagap. Rasanya kenapa pertemuan singkat sekali, kenapa Ki Demang mesti menyusul ke tempat ini. Tanpa sadar dia menatap dua orang itu yang dalam sekejap sudah melesat cepat di belakang pohon randu dan hilang di balik perbukitan.
"Ganapati.....ganapati, engkau tidak apa apa!!. Ki Demang teriak.
Ganapati menunggu sejenak sampai Ki Demang dekat, lalu menjawab bahwa "tidak ada sesuatu yang kurang Ki Demang"
"Tadi sudah bertemu dengan Ranu"
"Tapi lama sekali, kenapa tak diajak ke padukuhan"
"Dia lebih suka bertemu di sini Ki Demang."
Setiap kali bicara Ranu, Ganapati yang teringat Mayangayu yang berjalan langkah perlahan muncul dari bukit diterangi sinar bulan dan sejuta bintang. Demikian pula, sejuta rasa hati Ganapati mengingat ingat Mayangayu.
No comments:
Post a Comment