Awal Perjalanan
Pagi sekali, sebelum matahari muncul, dia keluar, melalui pintu belakang. Pagi yang masih gelap pekat, karena cuaca yang mendung disertai hujan rintik. Menyusuri jalan setapak sempit. Makin jauh dari rumahnya, makin lebat hujan. Cuaca itu seolah tak diperdulikan. Ia terus berjalan cepat menuju selatan.
“Ganapati!..hei mau kemana” teriakan dari gubuk yang hanya diterangi lentera yang redup. Tiupan angin yang cukup kencang membuat lentera seperti hidup segan mati tak mau. Penerangan yang hanya cukup memberi gambaran di gubuk itu ada orang.
Ganapati berhenti sebentar, menoleh arah gubuk, lalu menyapa dengan suara yang agak keras
“pengap di dalam,perlu dapat udara segar di luar”
“tapi hujan, ayo mampir sini saja, ngobrol.”
“terima kasih, saya mau jalan jalan. Pamit dulu!” buru buru ia berjalan sambil melambaikan tangan, tanda pamitan.
Ganapati terus menyusuri jalan setapak mengikuti arah selatan, kemudian sampai di pematang sawah, dia membelok arah timur. Hujan sudah reda, matahari mulai menunjukkan sinarnya di sela pepohonan di hutan kecil.
Melewati pematang sawah, berjalan perlahan dengan memperhatikan padi yang baru mulai ditanam. Melompat lompat kecil, menghindari pematang yang becek dan berlumpur, menjejak kaki pada pematang yang sudah mengeras.
Ada permukaan pematang yang masih lembek karena ditumpuki lumpur dari sawah yang di serok dipindahkan ke pematang. Tidak menjadi masalah buat Ganapati. Ia terus berjalan menjauh dari kotaraja, sampai pada suatu pedukuhan kecil, kumpulan rumah yang dikelilingi sawah yang subur. Ia berenti sejenak di bawah pohon rindang. Cukup baginya untuk sekedar memikirkan arah mana yang akan ditempuh. Lalu menengok ke belakang, melihat kota raja yang sudah samar samar kelihatan. Jalan mulai mendaki bukit kecil, agak berliku.
Ia terus berjalan mendaki, menjauhi pusat dukuh yang baru saja dilewati. Melewati semak dan hutan randu, yang pohonnya tumbuh berdekatan. Randu adalah pohon yg kayunya yang getas mudah patah. Orang dukuh biasa menggunakan ranting untuk kayu bakar. Di situ memang tempat mencari kayu bakar penduduk di sini.
Sampai di ujung dukuh yang berbatasan dengan wilayah hutan tak bertuan, lebatnya semak dan pohon besar tumbuh lebat. Sebentar dia menengok ke belakang, dia duduk, sambil matanya menatap kota raja yang sudah tidak keliatan. Dia menatap tapi pandangannya kosong, hanya mengeluh dalam hati
“apa yang aku lakukan.”
“Sejak kakek, bapak sekarang aku semakin hari semakin menjauh dari pusat kekuasaan.”
Dia mulai masuk hutan, berjalan cepat, secara naluriah ia menerapkan ilmu kebalnya langkah angin pun bekerja
Meringankan tubuh, melompat sana sini, mumpung tak dilihat orang lain. Ia tak mau keliatan orang yang berilmu kanuragan.
“mana ada orang yang masuk hutan.” Katanya dalam hati.
Lompat lompat, lari sana sini nikmat dan menyenangkan buatnya karena bisa meredakan gejolak hati yang masih teringat perilaku kalangan istana. Lumayan berkeringat, dia menjatuhkan diri, bersandar di pohon sonokeling yang keras, hitam pekat, besar berkali lipat darinya. Angin pagi sepoi membawa hawa sejuk. Akar Sonokeling besar menjadi bantalnya hembusan angin pagi yang langsung ke tubuh membuat keringat berangsur angsur kering.
Rasanya sejenak tertidur, padahal sinar matahari yang masuk di sela sela daun menunjukkan matahari sudah di atas. Pantas perutnya sudah berontak minta diisi. Perlahan ia bangun, memejamkan mata, menenangkan pikiran, lalu perlahan bangun.
Belum sempat tegak, lalu kembali berjongkok. Matanya yang tajam mengawasi sekeliling. Dia merasa ada sepasang mata sedang memperhatikan dirinya. Ia menahan napas, dan mencari sumber itu. Menutup matanya, mengandalkan panca indra pendengaran dan penciuman. Ia sudah bisa mengetahui sumbernya. Tepat di sebelah kirinya. Tapi ragu, apakah itu manusia atau binatang atau mahluk lain. Desir desir helaan napas, walau lembut dan nyaris samar dengan bunyi dedaunan yang terkena angin.
Ganapati tak mau gegabah, ia masih tak bergerak menanti sumber di sana yang juga tak bergerak. Ganapati hampir yakin itu bukan binatang atau mahluk. Itu manusia. Tapi mana mungkin manusia bisa menyamarkan desah panas dan degub jantung demikian halus, samar dengan suara desiran angin, kecuali dia sungguh berilmu tinggi.
Siapa gerangan dia, berada di tengah hutan lebat tak bertuan dengan ilmu tenaga dalam yang langka. Ia tak berani menyerang. Ia belum dapat menakar kekuatan lawannya. Apalagi khawatir kalau orang itu adalah baureksonya hutan ini yang sewaktu waktu bisa mengerahkan anak buahnya.
Sepengetahuannya, sewaktu kecil diajak ayah dan ibunya masuk hutan tak ada satu orang pun. Kecuali, ah mungkinkan dia? Apakah dia masih hidup? Sewaktu masih kecil, orang itu sudah berambut putih berjenggot putih. Apakah memang dia? Perlahan ia berjalan dengan langkah langkah yang siap menyerang. Ia tak mau ambil risiko, harus sudah siap bilamana ada serangan dari segala arah. Berjalan perlahan mendekati sumber. Baru lima langkah sudah terdengar ssuara tertawa dari sumber itu.
“sudah kuduga"
Ganapati masih belum melihat orang yang berbicara itu, suaranya seperti dikenalnya, berat, mengandung hawa tenaga dalam yang bergelombang. Ia masih ragu melangkah. Langkahnya terhenti, tapi dalam posisi kuda kuda yang siap menyerang.
No comments:
Post a Comment