Cintaku Di Kampung Biru
Persis di perapatan jalan kampung sebelah ada spanduk bertulis "sedang shooting filem Cintaku Di Kampung Biru" wuih serasa mundur puluhan tahun lalu. Bukan jelek, sebab dengan judul itu bikin ingatan melayang zaman kampus isinya buku pesta dan cinta, lalu menjadi kritikus kebijakan pemerintah.
Judul itu juga bukan bagus, seperti tak kreatif membuat judul, sebab judulnya kok jiplak banget judul buku karangan Ashadi Siregar atau filem sutradara Ami Priyono mengisah akfitis dunia Kampus Biru Jogyakarta.
Iseng, saya mendekat lokasi shooting, ada sutradaranya di situ duduk di singgasananya, beri instruksi sana sini, pakai topi setengah koboi. Kalo topi koboi rada lebar, kalo yang ini, asal sekedar nggak terlalu silau matahari. Sutradara bertopi koboi seperti jadi ketentuan tampilan. Sutradara harus tampil beda dari yang lain di situ. "sutradara seperti Tuhan, dia yang menentukan alur, plot, peran di filem. Topi itu penanda bahwa "saya penguasa sini. " kata orang maluku, Beta TuangAla di sini"
Coba mau mendekati sang sutradara, tapi nggak jadi. "nggak dulu deh. " sutradara masih serius mengamati adegan demi adegan, pengaturan sudut pandang dan mengamati monitor kecil di depannya. "cut... cut... cut...kurang natural. Istirahat dulu, satu jam lagi mulai. "
Buru buru saya mendekat sutradara, langsung pede menyalami dia. Sutradara sempat bengong, pasti menduga duga siapa orang ini. Tak memberi kesempatan langsung saya menyebut, nama dan warga dari kampung sebelah.
Duduk bersebelahan, setelah sutradara lebih suka posisi seperti itu saya tanya "ini filem layar lebar pak?"
Tidak, ini sinetron, serial TV, 24kali pertunjukan, kontrak satu tahun. Kalau bagus, diminati, rating tinggi, bisa sambung terus. Doa kan saja mas.
Apa ceritanya seperti cerita di buku Ashadi Siregar? Atau sinopsis dari filem judul yang sama dari Ami Priyono. Si Sutradara hanya senyum saja. "Nanti saja kalau pas ada jumpa resmi dengan insan pers, ceritanya tidak sepotong sepotong."
Kapan itu pak?
Nanti setelah semua selesai dan siap tayang baru kita buat press release dan sekaligus jumpa dengan pers.
"Oke pak baiklah. Silahkan makan pak, maaf mengganggu."
Penasaran, apanya dari kampung itu ini yang biru. Kampung ini memang dekat sekali dengan markas partai berseragam biru, tapi konon partai biru itu kalah dengan partai putih. Jadi kalau mau bikin judul cintaku di kampung putih lebih punya makna. Atau cintaku di kampung merah, karena partai merah susul menyusul dengan partai putih.
Tapi entahlah, keliatan sutradara yang duduk di kursi sutradara tidak mau bicara soal judul. Dia sedang sibuk mengamati adegan, pemuda, aktifis Linmas, ikut dalam pergerakan PKK dan Karang Taruna. Dalam cerita itu, si pemuda bercita cita memajukan kampungnya. "kalau bukan kita, siapa yang akan menolong kampung kita. Sempat terdengar ada adegan pemuda itu pidato di gedung serba guna RW, "jangan tanyakan apa yang kampung bisa bantu, tapi tanyakan apa yang kamu bisa bantu untuk kampung."
Kalau baca fotocopy sinopsisnya si pemuda ini pintar, pandai menggerakan pemuda dan juga pandai merayu perempuan sebaya dan bahkan yang lebih tua. Dikisahkan dia terlibat dalam cinta segitiga dengan gadis dan janda kampung. Adegan pemuda itu nampak bicara serius tapi penuh dengan jerat godaan saat bertemu di warung, papasan jalan, bahkan ketika sedang jemur pakaian.
Ini jelas adegan nyontek aktifis mahasiswa Don Juan, yang godain dosen perawan tua yang cantik, dalam adegab belagak meramal telapak tangan. Kalau di Cintaku Di Kampung Biru, pemuda nya merayu dengan berpantun dengan ritme lagu Melayu Deli.
Elok rupanya Kumbang Jati,
dibawa itik pulang petang,
tidak tertata besar hati,
melihat ibu cantik sudah datang
Darimana punai melayang
Dari paya turun ke padi
Dari mana kasih sayang
Dari mata turun ke hati
Kisah yang satu di kampus dan yang lain di kampung sepertinya bermuatan dinamika romantika pergaulan dalam hidup sehari hari. Dalam setting apapun sifat, peran pasti ada. Lain kali usul ke sutradara bikin setting perang kemerdekaan dengan tokohnya Letnan Margonda.
No comments:
Post a Comment