Monday, 15 June 2020

Potongan Cerita

Potongan Cerita

"Saya ingat, malam itu Jumat :Kliwon. Hampir setiap rumah, membakar dupa kemenyan, suasana jadi terasa mistis, ada yang membakarnya dalam rumah, ada yang di pekarangan, ada yang khusus bunga dan menyan ada pula tambahan lintingan rokok."

Setiap Jumat Kliwon, bau harum kembang setaman; mawar merah, mawar putih, melati, kanthil, dan kenanga bercampur dengan dupa kemenyan terasa di seluruh kampung. Di saat itu tiap tiap keluarga menjalankan ritusnya menyampaikan suatu pesan dalam doa, memuji kekuasaan Yang Maha Agung, mohon pengampunan dan perlindungan.

Harum bau dupanya sampai memenuhi jalan jalan sepanjang kampung. Di perapatan jalan banyak tumpukan taburan kembang aneka rupa dan wangi. Kampung religius.

Tapi malam itu rasanya sama sekali lain. Hening dan senyap. Biasanya ada suara kentongan warga yang ronda, tapi malam itu sama sekali tak ada. Biasanya ada pula tetangga bertamu ke tetangga yang lain.

Aah! barangkali hanya terbawa alam pikiran yang bertanya tanya menduga duga, karena tadi pagi ada berita di pasar bahwa terjadi situasi tak menentu di kotaraja. Dampaknya sampai ke kampung. Berita dari mulut ke mulut, bersumber dari pasar, orang berpapasan di jalan, di warung, tempat tempat penting aman terjamin. Semua bilang itu kabar dari RRI.

"Kalau ada yang mencurigakan, laporkan ke petugas." Begitu pengumuman melalui pengeras suara, Toa dari truk terbuka, keliling kampung.

Dalam hati, siapa yang mesti dicurigai. Semua di kampung ini adalah tetangga dan saudara. Tapi seminggu ini suasana seperti tak menentu. Tak ada yang berkunjung ke tetangga. Entah di mana Kepala Desa yang humoris, setiap ceramahnya di pertemuan desa selalu diselipi lelucon, terutama yang nyerempet cerita dewasa. Kepala Dusun juga tak kelihatan, bahkan sudah lebih seminggu. Kata bu Kadus "Bapak pergi dijemput dengan mobil, katanya tugas melapor ke Kota.

Tidak ada pamong desa, tidak ada yang bisa ditanyai. Menegangkan, setiap malam, kampung berubah seperti kuburan. Tidak ada lagi ramai di lapangan badminton, catur dan halma di pos ronda. Sebelum magrib, semua sudah masuk rumah. Baru keluar esok pagi. Begitulah minggu minggu tak menentu di kampung Kami.

Lewat tengah malam ada dua atau tiga truk bak terbuka lewat kampung, truk yang padat berisi banyak orang. Lalu lewat sebuah jip. berhenti di depan rumah tetangga persis sebelah timur, dua orang turun, masuk rumah. Saya dan isteri mengintip saja, tidak berani melangkah cepat, takut bunyinya kedengaran dari luar. Untung anak anak sudah tidur lelap, tadi sempat periksa kamarnya. Kembali mengintip, tidak ada satupun tetangga keluar. Sungguh tidak ada yang berani.

Hanya mendengar suara tangisan perempuan dari dalam rumah sebelah. Sepertinya suara bu....bahkan tak berani menduga duga. Tak lama pintu rumah itu terbuka, tiga orang keluar, yang tengah baju gelap, mengenakan topi gunung. Mereka naik jip, lalu terdengar suara deru mobil jalan ke arah timur. Makin menjauh, hanya kelihatan sinar lampunya yang melonjak lonjak senada dengan gelombang jalan rusak di jalan utama kampung kami.

Sampai matahari mencorong esoknya, kampung masih senyap, tak ada suara, tak ada orang yang keluar rumah. Anak anak hanya diizinkan main di dapur. Selama seminggu tak ada orang yang berani ke pasar. Makan seadanya saja yang ada di rumah.

Baru lewat beberapa hari ada mobil mobil masuk kampung. Hanya lewat, mondar mandir, entah cari apa. Isteri memberanikan diri keluar, soal suasana mencekam, isteri memang lebih berani. Ia harus keluar, ke pasar, di rumah tak ada lagi persediaan beras, bahkan singkong simpanan sudah habis. Satu per satu warga keluar ke pasar. Pasar pun tidak ada yang jualan, hanya ada antrian, untuk dapat sembako. Heran tidak ada satupun pejabat desa, petugas petugas yang pegang daftar nama warga di pasar itu, tak satupun kami kenal.

No comments:

Post a Comment