Akhirnya buku yang diberi judul "Tiga Macan Safari" terbit. Saya dan beberapa teman antropolog, ikut ambil bagian dari penulisan buku Sejarah Taman Safari Indonesia. Ada belasan orang ikut dalam proyek yang dipimpin Rudy Badil. Dia yang mengajak saya dan teman antropolog lain. Dia senior sekaligua guru saya dalam banyak hal. Dia sekaligus yang selalu memberi inspirasi dalam setiap ngumpul ngobrol-diskusi.
Menggarap gagasan berkesan bosenan. Seringkali cepat pindah gagasan yang belum digarap tuntas. "kita bikin cerita asal mula ciliwung. Ini kan hulunya, sambil menunjuk sungai samping camping ground." Lalu ngobrol ngalur ngidul lagi. Sehabis makan siang dia bilang. " Kita bikin pesta tahunan, undang menteri, para dedengkot pecinta alam." Bulan berikutnya dia punya ide napak tilas, arca ganesha, nanti dibantu para arkeolog." Banyak ide yang lain, lupa saking banyaknya. Tapi satupun ide itu terwujud, karena ide ide memang enak diobrolin. Itulah Badil "satu belum selesai, sudah pindah ke yang lain."
Tulisan ini sebagian menceritakan soal Taman Safari, soal proses membuat buku, dan dalam gagasan saya, rasa rasanya lebih bicara pada sepenggal cerita Badil ketika mengajak ngobrol dongeng berkisah selama ketemu dua mingguan dalam periode setahun di Rumahdua.Taman Safari Indonesia. Di bawah ini saya tulis pandangan sejengkal dan sepenggal tentang Badil.
Badil yang penuh siasat
Hanya butuh beberapa detik memutuskan ikut bantu Badil meregistrasi mereka yang mau ikutan kursus jurnalistik.
"Maksimal tiga puluh orang bro."
"Waktu secepatnya, tempatnya di Taman Safari."
"Tidak bisa langsung masuk. Kalo peserta datang mesti tunggu di parking lodge. Nanti ada mobil yang jemput."
"Kita kumpul di rumahdua" rumah kayu semacam bangsal yang biasa dipakai untuk acara training, outbound dan sejenisnya. Di dalam area taman safari, tempat penangkaran macan tutul jawa. Jelas tempatnya, waktunya sudah fixed dengan hari H yakni sabtu minggu depan.
Tunggu punya tunggu, pas hari H nya tak ada satupun yang hadir walau janjinya ada tigapuluh yang akan datang. Soal alasan, terlalu banyak untuk dimuat dalam kisah ini.
"Nggak ada yang minat dil(badil)." maksudnya minat training jurnalistik. Nggak enak juga rasanya, dilimpahi tugas ngajak para insan antropolog, senior junior maupun mahasiswa, ternyata tak satupun nongol.
"Oke bro, gak masalah."
Rencana bikin training berobah seratus delapan puluh derajat, menjadi rencana bikin filem atau video. Bikin filem dokumenter, bikin visual antropologi, bikin photo series. Segudang ide Badil, lalu gayung bersambut, makin seru, makin panjang diskusi, makin serupa dongeng, enak didengar dan dikhayalkan, bagai mimpi makin bludak dituang bersama dalam satu malam di rumah kayu, di area Taman Safari. Akhir kisah, dari dongeng diwujudkan jadi lebih konkrit; membuat filem pendek.
"Bikin stok filemnya dulu, nanti editan sambil jalan."
"Jangan cuman filem, foto juga, kalo gak ada stok filem, bisa pake foto untuk perkuat dokumen."
Namanya ide, ngacak, ngaco, ngocol gak masalah. Pelan, tapi pasti akhirnya bikin filem pendek soal Kerak Telor. Skrip selesai termasuk anggaran. Diskusi kalangan terbatas. Masih belum konkrit. Lalu ketemuan dengan Badil untuk legitimasi proposal. "Asal Badil setuju, kita maju cari donatur." Begitu inti kesepakatan kami, termasuk ahli visual antrop yang sudah pernah buat dan publikasi filemnya di manca negara.
"Kita bikin filem soal burung bro."
Hah! Kita semua bengong saling liat liatan, waktu suatu hari sabtu bikin ketemuan. Lalu filem kerak telor jadinya gimana? Dengan berbagai argumen, Badil mengurai pentingnya buat filem burung. Ilutrasi jalak bali yang dilepas di sekitaran taman safari membuat harga jalak tidak lagi membumbung tinggi. Orang bisa punya dan pelihara jalak. Jalak banyak didapat. Jalak tal lagi barang langka. "Kita harus bikin filem burung untuk sosialisasi ke masyarakat pecinta burung. Jadilah buat filem tentang burung. Dengan kata lain, filem kerak telor gagal tidak jadi. Istilah Badil "kita tunda dulu yang itu".
Ketemu minggu berikutnya, filem burung diubah. Ganti. Tidak bikin filem. Pembicaraan soal bikin majalah burung. Setumpuk majalah tentang burung tergeletak, cetakan mewah, sudah menerbitkan delapan edisi dalam dua tahun. Ngotot bikin majalah karena kata "ajudannya" sehari sebelumnya Badil ketemu seorang penggemar aneka burung, kaya raya, menawarkan buat majalah.
Otak kita switch dari filem ke majalah. Gak masalah? ya masalah, harus berpikir ulang lagi. "kerangka pikirnya kan sama saja" kata Badil. Saya sih ngangguk aaja sambil mikir, lebih banyak nggak ngertinya daripada paham.
Begitu kira kira apa yang ada di pikiran kami. Lalu mulai bikin rencana, beberapa orang dari pecinta alam ikutan. Dua kali pertemuan tentang rencana buat majalah burung, hasilnya adalah ide Badil lagi yakni membuat buku tentang sejarah Taman Safari Indonesia. Lagi lagi kami dibuat bengong dengan gaya pindah gagasan yang cepat. Kalo dirunut maka mulai rencana bikin training, lalu bikin filem lalu bikin visual antriopologi, lalu bikin majalah, akhirnya bikin buku. Hanya satu yang penting di sini, kemampuan Badil mensiasati, mengikat orang orang "dekat" nya ikut dalam proyek angan angannya.
Untung saja angan angan itu ada yang jadi kenyataan. Gak tanggung tanggung, ada belasan orang yang ikut terlibat dalam proyek pembuatan buku sejarah Taman Safari. Gak tanggung tanggung, saya berkenalan dengan anggota tim yang sama sekali baru.
Tim dibagi jadi dua, penulis dan dokumentasi. Ketua tim alias team leader adalah Badil. Tiga bulan, sudah separo jadi. Data sudah relatif lengkap, pembabakan oke, hanya layout dan editing yang makan waktu lama. Kemudian harus ditambahkan data tentang sirkus masa kini. Tim mengirim beberapa orang ke sumatra mengikuti safari sirkus dr palembang ke lampung. Tim juga ke Jawa Timur ke Safari Prigen, bagian dari perluasan di Cisarua Terakhir melakukan observasi sirkus di Cibinong.
Tuntas sudah seluruh pengumpulan data. Dengan membagi cerita diawali dengan pengusaha tukang obat, buka praktek berobat lalu buat sirkus akrobat, lalu membuat kebon binatang, mengembangbiakan hewan dan tanaman, menjadikan tontonan hewan dengan mobil, aneka atraksi hewan, melibatkan masyarakat lokal dan luas ambil bagian manfaat dari TSI.
Siapa dibalik berdirinya TSI adalah fokus dari buku yang barusan, 14desember 2019 diluncurkan di central Park Mall. Bukan sekedar menampilkan nama nama mereka -Hadi Manansang, dengan tiga anaknya, Jansen Manansang, Frans Manansang dan Tony Sumampouw juga evolusi pemikiran dan kerja amat sangat keras dari mereka yang penuh inspiratif. Makanya buku diberi judul "Tiga Macan Safari." Dengan gaya khasnya, Badil membuat sub judul yang lugas berkelas, yakni bab I Sirkus ngamen menuju permanen, bab II kebun teh jadi kebun binatang, bab III safari menuju konservasi, dan terakhir bab iv mensafarikan masyarakat memasyarakatkan safari.
Akhirnya rampung proyek buku. Semua yang terlibat dari awal proyek buku, diundang oleh pembuat sejarah; Macan Satu, Macan Dua dan Macan Tiga. Semoga bukunya bermanfaat bagi banyak orang, apabila ingin tahu bagaimana perpaduan bisnis dan konservasi bisa belajar di Taman Safari Indonesia. Sukses buku ini yang melalui perjalanan panjang tak menentu, namun beruntung berkenalan dengan sahabat sahabat baru dalam tim buku. Memang itu gaya Badil yang menggalang pertemanan lintas angkatan, melontar ide terus menerus, diterima syukur, gak diterima bikin ide lagi. Sayang beliau tak menyaksikan karya, yang sering dia katakan "karya terakhir".
No comments:
Post a Comment