Monday, 9 March 2020

Hidup di Perkebunan Tembakau

Afung, pedagang kelontong di daerah perkebunan Tembakau Deli, di kecamatan hanya satu jam dari kota Medan arah Binjei. Dia sudah di situ turun temurun, yang dia ingat bapaknya cerita, kakek bapaknya pun sudah ada di situ. Bisa jadi nenek moyang afung adalah buruh perkebunan tembakau Deli yang terkenal. 

Dekat situ masih berdiri sisa sisa bangunan gudang, bangunan rumah, pos pos masih nampak kokoh hanya sudah tak terpelihara.  Daerah itu masih menyisakan gambaran kejayaan kekuatan ekonomi Sumatra Timur zaman Hindia Belanda. 

Perkebunan Deli adalah bagian dari wilayah Sumatra Timur,  dari Langkat sampai Labuan batu. Perkebunanan  Tembakau Deli itu amat terkenal, mendunia,  menyumbangkan devisa besar bagi pemerintah Hindia Belanda. Buruhnya adalah orang Cina yang didatangkan dari daratan Cina dan orang dari tanah Jawa.

Kemasjhuran Deli bertolak belakang dengan kenyataan hidup di daerah perkebunan itu. Hidup para buruh atau saat itu disebut Kuli. Iya, kuli dan bukan pegawai sebab  jauh dari standar hidup.  Konon majikan dapat berbuat semena mena terhadap para kulinya. Mereka yang dianggap bertindak criminal, atau berbuat keonaran di kebun mendapat hukuman. Arti hukuman bukan saja karena tidak disiplin kerja, tetapi hanya karena tidak hormat kepada majikan. 

Berita tentang keadaan kuli di perkebunan Sumatra Timur didasarkan atas catatan laporan, berita media tentang kuli kontrak perkebunan. Para kulinya terutama dari Cina dan Jawa hidup sangat mengenaskan terutama ketika mendapat hukuman. Hukuman atau lebih tepat disebut siksaan. Konon laporan itu yang membuat adanya perombakan kebijakan pada kuli kontrak. Ada politik etis. Tetapi Perombakan kebijakan hanya di atas kertas. Kenyataan, membangun irigasi dan pemindahan penduduk lebih untuk kepentingan produksi perkebunan. Irigasi dibangun di perkebunan, untuk meningkatkan surplus produksi. Pemindahan penduduk, memudahkan mendatangkan tenaga  dari Jawa ke daerah perkebunan.  

Bagi para Tuan kebun, ada politik etis artinya makin turut campurnya inspektorat dalam pengawasan kerja, hubungan kerja tuan dan kuli. Pengawasan oleh pemerintah dianggap justru membuat para tuan kebun tidak dapat bertindak tegas dihadapan kuli. Kata laporan ini makin membuat hukuman lebih kejam, walau dilakukan secara diam diam. Aturan hukum diberlakukan khusus di perkebunan yang intinya lebih semena mena. Para tuan kebun melihat kuli itu seperti hewan yang hanya takluk dengan pentungan. Menjinakan mereka caranya adalah dengan memperbanyak pentungan. 

Pertentangan perdebatan di kalangan Belanda sendiri seru. Ada yang menentang kebijakan pentungan ada pula yang mendukung pentungan. Walau sama sama Belanda tetapi beda melihatnya. 
Barangkali karena itu ada kompromi dua pihak itu dengan mengambil orang terpandang, berpengaruh seperti Tjong A Fie untuk menjadi penengah, menyelesaikan persoalan di dalam perkebunan. Salah satu penyelesaian jitu membuat kuli menjadi jinak dan pula tuan kebun tak bertindak semena mena. 

Konon dari cerita leluhur Afung,  warung kelontong di daerah perkebunan sudah ada zaman Belanda. Warung itu bukan saja jualan bahan kebutuhan harian, tetapi juga tempat jualan opium, tempat berjudi. Bahkan ada juga yang bilang tempat hiburan kaum lelaki saat gajian. Adanya pusat hiburan dan lainnya di daerah perkebunan itu membuat kuli tidak bisa keluar dari lingkaran hutan. Pengajuan kontrak baru tak dapat ditolak saking banyaknya hutang yang melilitnya. 

Untungnya pecah perang dunia pertama membuat laba tembakau merosot, terpaksa mengurangi kuli. Sebagian dari kuli terlepas dari lingkaran setan di perkebunan. Yang Cina ada yang pulang kampung, adapula yang buka usaha dagang barang jasa. Terkenal jadi Cina-Medan. Yang Jawa sebagian pulang ke jawa. Sebagian lain tetap tinggal di sumatra, popular dengan nama Jadel, Jawa Deli. 

Sekarang seperti apa hidup di perkebunan? Polanya masih sama, tempat keramaian, pasar pusat hiburan lebih ramai saat gajian.  Warung kelontong selalu ada karena menyediakan barang kebutuhan kebutuhan pokok sehari hari.

No comments:

Post a Comment