Sampah lagi lagi jadi bahasan di kampung saya. Soal ini mula mula diinisiasi oleh Armen, di pos ronda. Dua tiga malam lalu, dia marah dengan tetangga yang tinggal di bagian atas. Katanya rumah rumah bagian atas buang sampah di got.
“Sampah dibuang ke got, bikin banjir rumah yang di bawah."
"Kalo cuman sampah daun sih masih gampang, diserok angkat ke atas taro di pekarangan bisa jadi pupuk”
“Ini yang banyak sampah plastik. Gak ancur, gak bisa jadi pupuk.”
Sampah plastik dari tetangga Armen di bagian atas dianggap jadi sumber mampetnya got depan rumah Armen. Karena Tiap hujan rumah armen yang berada lebih rendah dari permukaan got depan rumahnya jadi kena banjir. Bukan cuma rumah, bangunan serba guna punya masjid juga tergenang. Tiap musim hujan ada pekerjaan ekstra, serokin sampah di got. Sampai dia geram.
Armen mengusulkan ada pertemuan lingkungan RT dan RW. Melalui media sosial minta ke ketua RT membuat rapat bahas soal sampah.
“Soal sampah dan banjir sudah berkali kali rapat. Tahap berikutnya yang susah. Tahap perilaku buang sampah sembarangan yang tak berubah sejak dulu”
Berulang kali Pak RT di WA mengingatkan jangan buang sampah sembarang, apalagi sengaja ke got. Menggerakan, mobilisasi kerja bakti warga, setiap dua minggu sekali, bisa jadi sia sia.
“Hanya sehari dua hari bersih, lalu got kembali berisi sampah plastik.”
Selama perilaku tak berubah, susah mengharapkan got tak mampet yang bikin genangan air makin meluas. Apalagi berharap tak banjir di rumah rumah bagian bawah. Benar kata Pak RW, mentalitas mau enak sendiri masih jadi karakter warganya.
“warga kita masih jauh punya rasa tanggungjawab sosial. Bagi orang orang seperti itu, asalkan sampahnya tidak di depan rumahnya berarti aman.” Harus ada revolusi mental,lagi lagi kata pak RW yang sudah beberapa kali mendapat kursus karakter bangsa.
Pendadaran revolusi mental di jajaran pejabat dari lingkungan terendah di Kelurahan masih nggak mempan mengatasi soal sampah. Ada rencana dari kelurahan menyediakan bak sampah dan pengangkutannya, setelah pelebaran got dan menutup atasnya dengan beton agar tak masuk sampah. Kabar gembira ada fasilitas yang lama ditunggu.
Optimis rencana kelurahan itu bakalan menjadi kenyataan. Fasilitas tambahan untuk problem sampah menemukan titik terang. Hanya diingatkan oleh Pak RW, fasilitas itu hanya pendukung, yang utama adalah sikap perilaku warganya.
Soal sampah bukan monopoli kampung kami, di kampung sebelah yang kompleks perumahan juga resah dengan banyak sampah plastik. Yang mereka tahu tukang sayur keliling kompleks itu banyak memakai plastik, jadi bak sampah setiap rumah di kompleks itu jadi penuh sampah plastik.
“Ngeri begitu banyaknya kami konsumsi plastik, untuk bungkus ini itu. Tanpa kami sadari.” Pengakuan ibu pekerja, yang mengandalkan manajemen rumahtangga ke pembantu yang dipercaya.
Menurut si ibu itu, pengurus RT sudah melarang tukang sayur membungkus sayur, ayam, ikan dengan plastik. Konsumen diharuskan menyediakan tas belanja supaya tukang sayur langsung masukan belanjaan ke tas itu.
“Ada yang patuh, lebih banyak yang belum. Majikan seolah gak punya waktu mengajari pembantunya jangan konsumsi plastik berlebihan.”
Problem sampah plastik yang utama adalah sikap dan perilaku. Kalau majikan masa bodoh, jangan harap pembantu akan patuh mengurangi konsumsi plastik.
“Setiap minggu supermarket masih menyediakan plastik kresek untuk belanjaan. Ini karena konsumennya tidak bawa tas belanja. Kadang pelayan menawarkan pakai kardus, dan tak semua orang ditawari, hanya pada orang yang biasa minta kardus.”
Konsumen, pelayan supermarket punya tanggungjawab yang sama soal penggunaan tas plastik,kata seorang fasilitator kelurahan.
Di Bali, semua supermarket tidak menyediakan tas plastik. Kalau tak bawa tas, diwajibkan membeli tas kain. Ini mesti ditiru, sebab dengan cara ini perilaku sedikit demi sedikit bisa berubah. Berkali kali diberitahu bahwa tumpukan sampah plastik potensi menyumbat got. Bisa dibayangkan sumbatan itu membuat air mengalir ke bukan salurannya, apalagi di musim hujan yang ekstrim.
Empat kali pertemuan lingkungan tempat beribadah membahas soal sampah plastik. Mulai dengan mengutip ayat pada Kitab Suci yang intinya kewajiban manusia memelihara, merawat, menjaga lingkungan yang telah diberi Tuhan kepada umatnya. Dari konsep yang abstrak itu salah satunya menjadi jangan buang sampah sembarangan.
Seorang ibu peserta pertemuan membantu pemulung mengumpulkam sampah di lingkungan perumahannya. Pemulung disuruh memisahkan sampah yang masih bisa didaur ulang dan yang beneran sampah. Dia juga mengumpulkan sampah eletronik, batere, disuruh pemulung mengumpulkan dibeli, lalu dikirim ke salah satu lapak elektronik.
“Daripada saya nganggur di rumah, ya mending bantu yang bermanfaat bagi orang banyak.” Sudah lebih lima tahun kegiatan dilakukan. Katanya, apa yang dilakukan hanya memberi efek palingan satu lingkungan RT. Ia optimis, biar lingkup kegiatannya hanya satu rt, kalau lingkungan lain juga melakukan hal yang sama, efeknya akan berlipat lipat.
"walaupun warga rt tak seluruhnya patuh, saya tetap berusaha dan berdoa." katanya perjalanan program sampah masih membutuhkan waktu dan semangat. Dari tempat sampah dapur, dikumpul di tempat sampah depan rumah, diangkut truk sampah, lenyap dari pandangan, tapi belum tentu menyelesaikan soal sampah, semoga saja setelah itu tidak menciptakan masalah di tempat lain. Lebih baik mengikuti semangat dan sikap ibu itu yang optimis.
"Harus mulai menapaki, tanpa itu mana mungkin mencapai perjalanan yang masih panjang." Kata Ibu itu mengikuti semangat filsuf Cina Lao Tzu.
No comments:
Post a Comment