Mekare Kare alias tradisi perang pandan adalah atraksi puncak usaba sambah, upacara tahunan utama masyarakat desa adat tenganan Karang Asem. Perang pandan ini dilaksanakan oleh para Truna atau Taruna atau Pemuda dengan senjata seikat daun pandan berduri dalam genggaman tangan kanan dan tameng diselipkan dilengan kiri sebagai alat pelindung diri terbuat dari anyanan ata (sejenis rotan).
Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding atau musik gamelan.
"Musik dengan alat logam yang mistis beda dengan Bali umumnya." Kata salah seorang warga Tenganan. Terus terang saya sulit membedakan selonding dengan musik gamelan Bali umumnya. Hanya anggukan terus menerus seolah paham, padahal bingung.
Pemandu yang juga warga situ menjelaskan bahwa dalam duel satu lawan satu petarung saling sering dan berusaha melukai lawan dengan senjata ikatan potongan daun pandan yang berduri tajam, luka dan darah menetes dari ppunggung yang luka akibat goresan pandan berduri. Mereka yang banyak tergores jelas kalah. Beberapa kali pemandu itu harus berhenti menjelaskan tentang perang pandan karena sibuk mengurus kepanitian upacara setahun sekali.
Acara perang pandan para teruna (pemuda) akhirnya mulai, setelah terlambat satu jam. Duel dilakukan di panggung setinggi satu meteran agar semua penonton, terutama di bagian belakag dapat melihat. Acara mulai dengan pidato, kemudian orangtua2 (atau para senior membagikan ramuan diwadahi daun pisang ke setiap lelaki di situ kemudian acara dimulai, ditampilkan dua laki-laki satu dari sisi selatan dan yang lain dari sisi utara, terus menerus berlaga kira2 5 menit, berurutan. Terus menerus berlaga sampai sore hari.
Laga antarteruna diakhiri, setahu saya tidak ada pengumuman pemenang. Mungkin karena tidak tahu makna dari duel itu kecuali dianggap perwujudan nilai ksatria, kejujuran, dan keberanian. Selesai duel itu, punggung para teruna yang ikutan duel, penuh goresan dan titik rembesan darah. Tapi tidak satupun kelihatan mereka kesakitan, tetapi justru mempertontonkan punggungnya yang penuh guratan ke penonton.
Rasa rasamya tak ada tradisi seperti duel, di Bali umumnya. Mungkin justru beda itu bikin turis berbondong penasaran datang ke Tenganan.
Terima kasih kepada mbak Wieke Dwiharti
Mulyawan Karim, yang mengajak jalan jalan bersama antropolog Tjunggozali Joehana, Anggraito Sumrahadi, Gigin Praginanto ke Bali Age beberapa tahun silam.
No comments:
Post a Comment