Monday, 9 March 2020

Rama dan Shinta

Saat dialog Rama dan Shinta,  tiba tiba muncul kera, lompat berlari menghampiri deretan gadis penonton, merangkul salah satunya. Gadis itu teriak kaget, mengkeret ketakutan, si kera tetap di situ, rupanya menunggu fotografer mengabadikan kera dan gadis itu. Seketika pecah tawa berderai, teriakan kagum sana sini. Pecah kesunyian selama pertunjukan yang telah berlangsung tiga puluh menit. 

Selanjutnya, kera menjadi primadona, setiap sesi sesi berikutnya aksi banyolan si kera selalu tampil dalam drama tari Ramayana. Drama tari yang popular dengan sebutan Tarik Kecak sebab penari yang jumlahnya puluhan berteriak ritmik "cak cak cak". 

Malam itu menampilkan Kecak, Tari Kecak, Tarian Kecak sebuah  pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an. Konon Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar, melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.

Rasanya dulu tari kecak sangat magis, menvekam, panggung gelap, hanya diterangi obor obor di pinggiran panggung, dupa dan bunga yang bercampur baunya makin menvekam. Prolog suara dalang yang menceritakan kisah ramayana dengan suara berat berintonasi. Sekarang tidak seperti itu.

Penyelenggara sangat paham. Atraksi tarian ini adalah konsumsi wisatawan. Sepertinya belum tentu mengerti makna gerak dan irama lagu dalam tari teatrikal yang dimainkan artis lokal. Cukup hanya  menampilkan potongan dialog Rama Sinta, pertentangan Rama dan Rahwana. Tidak harus terus menerus dialog malahan berkesan monoton, membosankan ngantuk. Karenanya ditonjolkan banyolan kera, entah itu Hanoman, Sugriwa, Subali, tak penting. Yang jelas mampu menghibur penonton. 

Memang penampilan kera foto selfi dengan penonton tidak membosankan. Penonton ikut partisipasi, ikutan bergerak tidak sekedar duduk manis. Alhasil sampai akhir pertunjukan banyak yang ingin foto bersama artis lokal. Harga pantas, penonton puas, di pantai Pandawa yang sedang berhias.

Foto: Leonard Hutabarat

No comments:

Post a Comment