Ya kamu maju ke depan, hitungan tujuh. Lalu dia ke depan, menghadap kelas, menyebut lantang, satu kali tujuh sama dengan tujuh, dua kali tujuh sama dengan empat belas, dan seterusnya sampai sepuluh kali tujuh sama dengan tujuh puluh. Tepuk tangan riuh di kelas itu. Tak satupun hitung hitungan dia yang meleset.
Kesempatan lain pelajaran sejarah, kewarganegaraan semua dilalap dengan mudah. Peristiwa perang diponegoro, perang kemerdekaan, sejarah Sriwijaya, Majapahit, Demak, sampai Mataram dikuasai olehnya. Tak satupu guru kecewa, malahan memuji akan kepintarannya, kerapihan berpakaian, tegap, bahasa teratur, pandai bicara.
Di rumah, dia anak kesayangan ibunya. Setiap ada pertemuan ibu ibu di rumahnya, dia dipanggil dan diperkenalkan mulai dari nilai rapot, cita cita dan taat beribadat, patuh pada ibunya. Ibunya jadi jubir, dia hanya senyum saja. Semua ibu ibu di situ senang, sekali sekali bertanya langsung padanya.
“nanti besar mau jadi apa? Jadi pemimpin sudah cocok!”
“mudah mudahan.” Katanya.
Decak kagum para ibu itu makin bertambah. Mungkin mereka berpikir pasti dia akan jadi pemimpin yang hebat. Pintar, taat, pandai bicara. Bisa menganalisis persoalan yang rumit. Apalagi bahasa Inggeris. Saat di dunia akademis-kerja koleganya banyak yang kagum
“kok persis orang Amerika ya bahasa Inggerisnya.” Dia sering tersipu dan dengan halus merendah.
Lingkungan keluarga, tetangga, teman sebaya, bahkan kalangan yang lebih luas, terus menerus memuji. Jarang, bahkan tak ada yang mengkritik. Makin Percaya diri akan pujian dari lingkungan dekat meyakinkannya dunia dalam genggamannya. Dunia memujinya.
Di momen ini dia justru banyak mendapat kritikan, dianggap pikirannya gak masuk akal, nggak bisa bekerja, tidak tau apa yang harus dilakukan, tidak tahu prioritas, tidak bisa atur orang. Shock. Dalam hati dia kan dianggap pintar kok dikritik sebagai orang yang bodoh. Dia refleksi zaman sekolah dan runtutannya dianggap orang pintar. tapi kok zaman bekerja dianggap jauh dari pintar.
Lalu dia berhalusinasi Jangan jangan banyak orang tidak suka padanya, dan menyebut dia sebagai orang bodoh. Tak percaya. Menganggap orang lain iri, cemburu, karena tak mampu meniti karir cepat seperti dia. Mengikuti kata halusinasinya. “I don’t care what people say”.
Jadi pemimpin harus “smart’ yang diucapkan olehnya dengan bahasa inggeris ke amerika amerikaan yang fasih. Peserta workshop motivator kagum dan memberi applaus. Sebelum mengakhiri ceramahnya iya memberi kiat, “pekerjaan yang rumit itu akan lebih mudah bila tidak dikerjakan”, lalu ngeloyor keluar kelas workshop sambil senyum .
No comments:
Post a Comment