Pekuncen
Foto foto dari mas Mohamad Setiawan
Kawan saya mengupload foto foto ziarah ritual. Foto foto berseri yang menggambarkan suatu cerita yang menampilkan orang orang berseragam gelap, menempuh perjalanan panjang, tua-muda, lelaki dan perempuan. Foto foto itu menarik minat saya untuk membaca tulisan yang bersumber dari wikipedia yang juga diupload bersamaan dengan foto-foto karya kawan saya itu.
Ceritanya demikian, ada satu peristiwa yang dikenal dengan nama Perlon Unggahan yaitu suatu bentuk ritual sebelum Ramadan, dilaksanakan warga desa Pekuncen, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Barangkali kisahnya jauh lebih kompleks dari tulisan ini. Saya membayangkan ada ritual persiapan, ada pemimpinnya, ada benda benda yang dipakai dalam ritual, ada waktu waktu yang harus dikerjakan orang tertentu atau secara bersamaan, kapan, di mana dan seterusnya. Semua itu mengandung simbol yang bermakna sakral.
Tulisan itu menyebut Pekuncen, saya tak tau apakah istilah ini sama artinya dengan kucen. Kuncen yang saya pahami bukan sekedar jabatan juru kunci atau orang atau pihak yang menjaga dan memelihara makam, melainkan juga orang atau sejumlah orang yang dianggap mengetahui seluk beluk riwayat tempat keramat yang dijaganya. Apakah seluruh warga adalah pekuncen, atau kalau ditelusuri bisa jadi ada stratanya, dari pekuncen biasa sampai pekuncen teratas, yang menjadi tokoh sentral dalam prosesi ritual.
Ritual ziarah ke makam Bonokeling dengan prosesi menjinjing 'Ambeng' dengan kaki telanjang. Berdoa kusyuk pada enam Kasepuhan yakni Kyai Mejasari, Kyai Padawirja, Kyai Wiryatpada, Kyai Padawitama, Kyai Wangsapada dan Kyai Naya Leksana. Para Kyai yang dianggap leluhur warga desa itu, leluhur yang disucikan yang diyakini menjaga identitas dan solidaritas keturunannya. Ada identitas yang ditunjukkan melalui simbol simbol ziarah, doa, pakaian, kaki telanjang. Entah apakah ada semacam kyai siapa yang lebih dahulu diziarahi atau didoakan. Yang pasti, para sesepuh kuncen yang mengatur tatacara itu.
Lepas ritual lalu makan bersama warga sekitar. Tak sembarang makanan. Ada syaratnya, Harus ada nasi bungkus, serundeng sapi dan sayur becek (berkuah) disajikan lelaki dewasa, sesuai jumlah sapi yang disembelih. Membawa makanan bersama, makan bersama adalah ekspresi penting sebagai ikatan solidaritas, ikatan seketurunan. Sah, legitimate menjadi warga yang menjunjung kesakralan leluhurnya. Peristiwa yang dilakukan secara rutin tahunan menjelang ramadhan memperkuat, mengingatkan terus menerus jati diri atau siapa sesungguhnya warga di situ.
Peristiwa Bonokeling adalah salah satu dari sistem keyakinan-kepercayaan lokal. Umatnya adalah satu kerabat berdasarkan keturunan dan perkawinan, barangkali juga ikatan kampung kampung di sekitar situ. Kepercayaan yang abstrak jadi nampak konkrit dalam ritual yang untuk menunjukkan terima kasih manusia, warga desa Pekuncen yang lemah serba terbatas, dengan alam lingkungan yang memberi hidup turun temurun. Akhirnya ritual itu adalah bentuk sikap hormat warga di situ kepada sang pencipta.
No comments:
Post a Comment