Motret sebagian kota jakarta melalui jendela bis Trans Jakarta. Itu terjadi lebih dua tahun lalu. Sekitar pertengahan 2017, beberapa bulan setelah pasar senen ludes terbakar. Pembangunan MRT masih berjalan, beberapa ruas jalan di Sudirman Thamrin mengalami penyempitan karena bagian tengahnya sedang digali untuk jalan bawah tanah atau subway. Gubernur DKI masih Ahok yang lagi sibuk rencana penanggulangan banjir membangun banjir kanal timur dan barat, membangun waduk pluit.
Ternyata sudah lebih dua tahun seperti baru kemarin. Menikmati jalan jalan keliling Jakarta dengan Transjakarta, kendaraan super murah. Dengan tiga ribu lima ratus sudah bisa keliling Jakarta. Sampai sekarang masih tak berubah. Mungkin motto pejabat DKI adalah sekali tiga ribu lima ratus tetap tiga ribu lima ratus. Orang seperti saya akan menyambut dengan tempik sorak tak henti henti.
Menikmati pemandangan kota, tidak perlu turun dari bis, cukup liat ke kiri dan ke kanan, walau tak seperti pemandangan di lagu naik naik ke puncak gunung. Ya, tentu saja beda, lagu itu diciptakan pengarangnya membayangkan darmawisata atau jalan jalan ke gunung. Ini jalan jalan di kota. Entah apakah sudah ada lagu yang diciptakan untuk mereka yang menggunakan Trans Jakarta keliling kota? Yang jelas lagunya pasti beda banget bro.
Brangkat pagi, dan masih pagi di halte Cawang. Dari situ memilih rute Cawang Harmoni, melalui kampung melayu, jatinegara pasar senen. Sampai Harmoni, pindah rute Harmoni-Blok M. Rute yang banyak meninggalkan bangunan sejarah, sebagian masih berdiri kokoh sebagian sudah rusak tak terpelihara. Sebagian masih bersanding bangunan kuno dan moderen, sebagian besar sudah ganti total.
Beruntunglah warga jakarta sekarang. Ada kendaraan umum, harga sama dimanapun kita beli. Bayarnya pake kartu dapat dibeli di setiap halte. Apa nggak enak tuh, ringkes gak perlu kasih duit gede, dan bingung nagih kembalian yang lama nunggunya. Dulu banget, enggak.banget juga, naik bis kasih uang besar deg degan nunggu kembalian. Minta kembalian, kondekturnya jauh di bagian depan, susah ke depan karena penuh penumpang. Biasa harus teriak minta kembalian sebelum turun di halte berikutnya. Uang kembalian pun nggak sempat di hitung, keburu turun bis, dan bisnya langsung tancep gas. Tak jarang baru satu kaki menjejak aspal, bis udah jalan.
Lagi cerita dulu, ada halte bis, tapi bis berenti sebelum halte. Sopirnya liat, kalo di halte sepi sementara di tempat sebelum halte rame penumpang, sudah pasti bis berenti di rame penumpang. Ada istilah penumpang gelantungan di pintu bis, bisnya jadi miring, itu terjadi zaman Jakarta my lovely city. Biar brengsek transportasinya tapi orang tetap pakai transportasi itu. Jelas karena itu kendaraan satu satunya, jadi suka gak suka ya harus suka. Soal HAM hak Asasi Manusia waktu itu belum laku seperti sekarang. Yang jelas berangkat necis sampai tujuan kucel, akibat berhimpitan dalam bis sepanjang jalan. Ini sih subyektif saja, sekarang juga Trans Jakarta masih penuh sesak, bedanya dulu Angin Condition sekarang Air Condition dalam bis.
Melalui kaca jendela Trans Jakarta, menikmati kota Jakarta. Sambil bersenandung,
"ini dia si jali-jali
lagunya enak lagunya enak merdu sekali
capek sedikit tidak perduli sayang
asalkan tuan asalkan tuan senang di hati"
No comments:
Post a Comment