Ancang ancang ke Lawang Sewu
Sarapan di penginapan nasi gudeg telor dan krecek. Rasanya sama enaknya dengan gudeg lainnya di daerah Jawa.
“Penginapan ini memang masak gudeg lengkap setiap hari ya mas”
“ah nggak pak, ini hanya ambil dari warung belakang yang jualan skaligus juga terima pesanan” kata pelayan yang sedang bersih bersih ruang depan penginapan.
“makanan di sini hanya gudeg atau bisa ada pilihan lain.”
“tiap hari beda beda pak, ada nasi kuning, nasi liwet. Hari ini memang nasi gudeg.”
“kalo minumnya memang ada pilihan. Air putih dan teh manis hangat. Kalau mau kopi juga bisa dibuatkan. Nanti saya minta ke bagian belakang.”
“Ya saya minta kopi, supaya habis makan minum selesai terus ngopi.”
“Kalau sabtu gini enaknya jalan jalan ke mana mas?”
“Simpang lima, atau ke pertokoan, mall. Di sana rame sambiil liat liat. Apa saja kan ada di sana.”
“Saya mau ke kota tua saja.”
“O iya di sana bagus, bangunan bersejarah dan sekarang sudah banyak yang diperbaiki.”
Berubah pikiran, tak satupun gagasan hasil obrolan di ruang makan menarik minat. Lalu putar haluan, tujuan ke Lawang Sewu. Sampe di sana, beli karcis, masuk, menyusuri jalan setapaknya, masuk dari pintu samping, sampai halaman dalam bangunan ini.
Agak mundur menepi, lalu melihat bangunan menyeluruh, rasanya benar kalo di sebut Lawang Sewu. Pintu Seribu, pintunya banyak sekali. Saking banyaknya dibilang Sewu atau seribu. Ya gak perlu dihitung apakah benar jumlahnya segitu. Sama juga kalau sastrawan menyebut sejuta bintang di langit. Si sastrawan tak menghitung jumlahnya, dan barangkali belum sampai hitungan sejuta sastrawan sudah bingung dan mumet karena kepala harus posisi ndongak.
Lawang sewu adalah museum kereta api, buka menurut keterangan dari jam 7 sampai dengan jam 21. Beberapa pengunjung datang membawa informasi tentang museum, beberapa bergerombol selfi, senang tertawa, beberapa keluarga juga ada, tertib mengikuti arahan pemandu. Ada kelompok fotografi membawa peralatan foto. Kayanya professional, motret setiap bagian dengan telaten dan teliti. Mengambil foto dari berbagai sudut pandang.
Bangunan buatan Hindia Belanda tahun 1904, Kantor jawatan kereta api, pernah suatu masa tak terurus, kemudian diperbaiki dan lalu dijadikan museum Kereta api. Sejarah museum ini, dan kereta api ada di beberapa ruang di bangunan ini. Ada miniature kereta lengkap dengan keterangannya.
Katanya masuk lawang sewu lebih bagus pada malam hari, suasana terasa mistis. Beberapa teman mengatakan demikian. Ada ruang bawah tanah, fungsi utamanya sebagai saluran drainage dan juga mendinginkan ruangan. Namun konon, ruang bawah tanah itu menjadi penjara bagi para pemberontak pemerintah Hindia Belanda. Juga digunakan oleh Jepang untuk menahan orang Belanda.
Kematian yang tragis dari tahanan itu membuat rohnya berontak penasaran, demikian ceritanya. Konon aroma mistis itu keluar dari ruang bawah tanah itu, ada suara suara menyeramkan. Adapula kisah sumur tua, nonik Belanda yang berubah menjadi arwah gentayangan, genderuwo, hal hal yang membuat merinding bulu kuduk.
Pernah pula ditayangkan di program TV swasta dalam acara uji nyali yang mengambil setting di Lawang Sewu. Kisah penampakan kuntilanak yang tertangkap kamera. Konon kabarnya salah satu peserta tewas beberapa hari setelah acara itu. Kisah peserta meninggal setelah uji nyali seperti scenario dongeng yang diramu dikemas jadi bagian kisah seram Lawang Sewu.
“Tapi cerita cerita seram itu, zaman dulu, setelah bangunan ini dipugar, tidak ada lagi suara suara menyeramkan” kata penjual nasi goring gerobak yang sering mangkal jualan di dekat Lawang Sewu.
Mungkin penjual nasi goring juga khawatir kalau hal seram terus menerus diceritakan akan membuat wisatawan tidak mau datang ke Lawang Sewu. Sepi wisatawan, akan mengurangi omzet jualan nasi goring. Mungkin penjual nasi goring belum belajar trik trik bikin orang penasaran.”Makin serem makin laku.”. jangan mengalihkan kisah seram di daerah lain, bisa jadi daerah sini malah sepi.
No comments:
Post a Comment