Natalan, kumpul di rumah, seperti tahun sebelumnya. Menu rawon dengan telor asin, sambel terasi, bawang goreng. Rawon gaya Surabaya-Mojokerto. Hitam pekat dengan potongan daging bentuk dadu yang sudah menghitam berendam semalam di kuah daging, campuran kluwek.
Somay, kentang, tahu dan pare satu paket di dandang kukus di atas kompor mini, membuat makanan itu selalu hangat. Ayam bakar, spagheti.
Pelepas dahaga menjelang gerhana matahari tersedia di meja minuman ringan berupa christmas squash alias kelapa, sari lidah buaya, nutrijel, diguyur sunquick dan sprite.
Pukul duabelas pas, sudah sampai di Pringgodani, mereka konco lawas, pernah satu masa bersama di bangku kuliah, di taman kampus, teater, di tempat tongkrongan anak muda mahasiswa tahun 70an.
Nongkrong, diskusi, dan bernyanyi seperti satu paket. Diskusi dulu lalu menyanyi, atau menyanyi dulu baru diskusi. Semangat merdeka berpikir bebas, textbook, dan juga teks lirik lagu jadi hapalan dan mendalami maknanya.
Setelah lebih dari empat puluhtahun kami masih tetap berusaha ngumpul. Semakin bertambah usia, semakin niat menggebu ngumpul bareng teman sebaya. Seperti yang terjadi hari ini, duduk mengelilingi meja dan mendengar ahli Papua berargumen
,seru dan rasanya lama sekali nggak mencium aroma diskusi. Diskusi yang membela manusia terjejas. Rindu.
"Sadarkah cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan"
(Black Brothers)
No comments:
Post a Comment