Tanah Warisan
Salim siang hari sibuk sana sini, menawarkan rumahnya untuk dijual. Ia mendatangi rumah saya, hanya sebentar saja karena tau saat itu pas acara natalan di rumah. Lalu datang ke Pak Heri yang rumahnya sekitar sepuluh rumah dari rumahnya. Pak Heri tetangganya, pengusaha cukup sukses, rumahnya mentereng, paling keren di kampung ini. Pendatang yang cukup lama di kampung ini menempati rumah di tanah keluarga Salim yang dibeli sekitar sepuluh tahun silam.
Salim berharap rumahnya bisa dijual ke Heri. Pikirannya, lebih baik rumahnya dijual ke Heri yang pernah beli rumah dari orangtua Salim
"daripada jatoh ketangan orang lain, lebih baik jual ke orang yang dikenal." begitu alasan Salim ngotot rumahnya dijual ke Pak Heri.
Ketemu Pak Heri, selepas Magrib. Salim cerita perihal rencana menjual rumah. Rumah yang ada di gang, sekitaran kampung, hanya beda RT saja. Jual rumah buat biaya perkawinan anaknya yang paling tua. Selain tak harus merawat dua rumah miliknya.
"rencana sih tiga bulan lagi. Butuh uang buat persiapan." tiga bulan waktunya sebentar belum ada persiapan dana. Anak dan mantu punya penghasilan, tapi dianggapa tak cukup buat acara pesta minimal dua hari dua malam.
"kan nggak perlu mewah perkawinannya."
"kalo cuma akad nikah sih murah, tapi kan kalo kawinan di kampung undang saudara, tetangga, temen. Mesti ada acara dangdut, makan, panitia. Belum lagi yang wajib seperti seserahan. Semua butuh dana."
Tabungannya nggak cukup untuk pesta perkawinan. Tidak bisa hanya mengandalkan sumbangan dari kerabat dekat. Dia yakin akan dapat dana dari bos nya, hanya tak bakalan banyak. Intinya, dana perkawinan seluruhnya harus dari kantong Salim. Makanya dia jual rumahnya.
"Untungnya Pak Heri mau bantu, walau bayarnya tiga kali. Lebih baik begitu daripada langsung dibayar, nanti pas waktunya uang sudah habis."
Anaknya yang mau menikah sudah diwanti wanti supaya menyumbang. Kata Salim, zaman sekarang kawinan bukan cuma tanggungan orangtua.
"anak harus bantu."
"bukannya uang dari anak, orangtua yang bantu seadanya."
"tidak bisa begitu. Orangtua punya kewajiban mengawinkan anaknya. Ini tradisi di sini."
"Kalau anak sudah mau menikah, kita mensyukuri. Daripada luntang lantung bujangan bae. Jadi pikiran orangtua."
Anak Salim kerja satpam, isterinya penjual kue. Penghasilannya lumayan digabung jadi satu.
"sebenernya bapak dan inu mertua yang sudah pengen cepet cepet perkawinan"
"saya bilang tahun depan, lalu sepakat dengan tanggal bulan tahunnya. Tahun depan lumayan lah ada tabungan berdua calon isteri."
Pesta kawinan, mesti diselenggarakan dengan meriah. Mengundang tokoh masyarakat, kerabat handai taulan. Tidak bisa hanya akad nikah saja. Belum afdol, seolah karena semua tetangga se kampung diundang belum "resmi.".
Pak Edi yang mengawinkan anaknya, juga demikian. Menjual tanah warisan orangtua, Pak Maman, hutang dengan jaminan tanah yang belum laku dijual, untuk pesta perkawinan.
Banyak pemilik tanah orang "asli" di sini akhirnya tersingkir. Tidak lagi punya tanah. Padahal orangtua dan kakek nenek mereka dulunya pemilik tanah berhektar hektar. Tahun 90an tanah di sekitar sini dibeli pengusaha property, dijadikan kompleks perumahan elite. Bukan cuma satu dua, sepanjang jalan kiri kanan berdiri perumahan dari harga ratusan juta sampai milyaran.
Di kampung saya para pendatang sudah merambah sedikit demi sedikit tanah dan rumah warga. Tunggu saja, saat ada acara hajatan, sunatan, kawinan, itu saat transaksi jual beli berlangsung. Tanah lima ratus meter, sudah jadi ruko dan kontrakan, sebelahnya seluas yang sama juga sudah pindah tangan ke pemilik yang tinggal di komplek perumahan. Apalagi sekarang sudah banyak kantor, toko, mall yang butuh tempat tinggal untuk pegawainya. Bermunculan bisnis kontrakan. Ada sebagian masih milik orang asli sini, tapi kebanyakan milik pendatang pemodal kuat.
Tanah yang masih relatif utuh adalah tanah wakaf, yang dipakai untuk rumah masa depan warga sini, alias kuburan. Edi, Salim, Maman, dan banyak yang lainnya yang sudah tidak lagi tinggal di sini, masih bersaudara. Ikatan kekeluargaan masih terasa kuat saat ada peristiwa perkawinan. Perkawinan yang membawa dampak lenyapnya tanah waris mereka.
Boleh jadi puluhan tahun ke depan, kampung ini bukan lagi dihuni warga yang dua puluh tahun lalu masih menggunakan bahasa Betawi ora (pinggiran) sebagai bahasa lingua franca.
No comments:
Post a Comment