Monday, 17 June 2019

Wamena tujuan Wisata

Wamena, di Jayawijaya sudah jadi tujuan wisata yang digemari. Travelers Jakarta dan kota lain di Jawa banyak berminat suatu waktu ke sana. Alam dan budaya menjadi daya tarik. Hanya biaya transportasi yang sering menjadi batu sandungan.

“biaya ke sana lebih mahal daripada ke Thailand atau Vietnam." Kata seorang kawan yang biasa jalan jalan. Ini yang membuatnya dan kawan grupnya berpikir ulang ke sana.

Maunya jalan jalan keliling Indonesia, saya percaya alam indonesia jauh indah. Tapi karena biayanya lebih mahal, jadinya pilih luar negeri." idamannya wisata dalam negeri, pilihannya wisata luar negeri. Begitu jalan ceritanya.

“percuma pemerintah itu promo besar besaran tapi kemudahan ke daerah wisata tidak dibantu”.  Kata kawanku itu.

" Di Vietnam, pemerintah promo dengan memberi harga tiket murah bagi pelancong asing."  Pemerintah Vietnam juga mewajibkan penduduk setempat berpakaian tradisional di  hari pasar. Seolah wisatawan disungguhkan peragaan busana warna warni yang indah dipandang mata, apalagi jadi obyek foto. Itu "by disain" bukan "by accident".

Foto pemandangan alam, situs sejarah, bangunan unik, dan tentu saja Selfie  dengan berlatar khas daerah menjadi salah satu aktifitas wisatawan. Berfoto dengan penduduk lokal kadang diminati kalau berciri khusus. Misalnya berfoto dengan penari perempuan Tenganan, Bali berkain tenun grising yang langka.

"Wisatawan itu mendatangkan uang.  Di beberapa negara Asean wisatawan diperlakukan istimewa. Ada semacam kebijakan agar selama berada di daerah wisata, pembawa uang atau devisa nyaman. Karena kunjungan wisatawan itu yang "dijual".

"Pengemis, orang minta minta ke wisatawan ditangkap polisi pamongpraja."

"Mendesak agar barang dagangannya dibeli juga dilarang.  Mengajak foto bareng penduduk tidak dilarang sejauh yang difoto mengizinkan atau tak keberatan"

Intinya pemerintah daerah menjaga agar wisatawan tetap nyaman selama di situ.  Pemerintah dimanapun paham, wisatawan mengeluarkan dana besar, dengan harapan bisa menikmati liburan, pemandangan alam dan budaya dan tidak diganggu pernak pernik.

Wamena yang artinya "Babi Jinak". Memang indah,  ada  sungai besar,  dikelilingi  pegunungan Jayawijaya, ada padang rumput berwarna ungu yang hanya tumbuh kembang setahun sekali di bulan Mei. Wamena, kota kecil di ketinggian 1800 meter. Sudah punya bandara yang konon paling sibuk nomor dua di Papua. Beruntung wisatawan yang sekarang ke Wamena. Kota dan daerah sekitarnya  telah berubah, terbuka, Bandaranya bukan lagi ram kawat dan bedeng kumuh. Kata orang, bandara tersibuk kedua setelah Sentani. Kalender rutin menyelenggarakan  event pariwisata seperti Festival Lembah Baliem. Apalagi sekarang,  Ke Wamena bisa lewat darat yang  sebelumnya hanya lewat udara.

Wisata Wamena sungguh menjanjikan. Namun, berdasar pengalaman dari wisatawan yang pernah kesana, nampaknya perlu ada peringatan dini atau setidaknya pemandu beri wanti wanti supaya jangan motret sembarang. Apalagi motret orang dengan pakaian tradisional.

“saya tidak berani sembarang photo di Wamena. Kalau mereka tak suka kita bakalan ditagih ongkos foto."

" Saya tak berani upload foto di media sosial, padahal banyak objek bagus."

"Kata kawan kawan, kalau foto orang orang di pasar, mereka bisa tuntut. Semacam bayar denda gitu”

“saya diharuskan bayar 50 ribu untuk  berfoto seperti ini." Kawan saya menunjukkan foto dirinya berdua dengan orang dlberpakaian koteka.

"Terus terang, saya merasa terjebak. Saya minta izin foto, iya senyum dan bersedia, lalu foto bareng, setelahnya dimintai uang."

Pengalaman itu memhuat saya hati hati keluarkan kamera.  Takut kalau terjadi peristiwa seperti hari hari kemarin."

"Ini foto pasar di Wamena, saya ambil pake zoom, ambil gambarnya juga dengan curi-curi.” katanya sambil menunjukkan foto berikutnya.

Hitung-hitungan bayaran orang yang difoto juga njelimet, atau intinya tak ada kesepakatan aturan bayar berfoto yang jelas. Juga tak ada pemberitahuan dari pemandu wisata di sana.  Ada aturan "dari mulut ke mulut"  kalau berfoto dengan mama mama (ibu ibu) setempat, bayarannya sepuluh ribu per orang. Kalau foto beramai ramai dengan ibu ibu itu, biaya dihitung  jumlah ibu ibu yang ada di foto itu.

Foto dengan mumi di museum desa Kurulu ada biaya tersendiri. Lebih mahal. Ada tiket masuk, tiket yang lainnya. Wisatawan yang sudah beli paket dari agen wisata tak ditagih. Wisatawan tanpa paket, apalagi tanpa pemandu, bisa tersandung "jebakan" biaya. Konon untuk paket lengkap, yakni
Foto bersama mumi dan foto bersama di mama mama busana tradisional alias telanjang dada dipatok harga yang fantastis.

Bukan biaya mahal, fantastis yang membuat wisatawan komplain, tapi informasi seputar kegiatan wisata simpang siur. Wisatawan seolah diperlakukan semena mena, padahal ingin menikmati daerah itu. Kalau sedari awal ada informasi tentang harga barang ini dan itu, tentang harga pertunjukan, kegiatan ini dan itu, maka wisatawan bisa memilih. Supaya tak merasa dibohongi atau merasa dijebak.

"Tidak ada dari kami bersikap permusuhan pada warga di sini, justru sebaliknya ingin bersahabat." Kata wisatawan yang merasa sulit membaur dengan penduduk di daerah tujuan wisata.

Pengalaman kenyamanan, keindahan alam budaya dan penduduk yang bersahabat itu memang penting karena modal promosi dari mulut ke mulut  yang paling ampuh. Iya kan!

No comments:

Post a Comment