Fragmen yang tertinggal dari Sulawesi Tengah
Suatu malam di bulan Januari 2019, kami "nobar" nonton bareng sandiwara yang dimainkan oleh para remaja dan pemuda desa.
Sandiwara itu berkisah tentang bantuan bencana untuk desa itu. Pembuat naskahnya meyakini bahwa tema itu merupakan pemandangan umum di semua desa paska bencana.
Saya tak paham isi cerita sandiwara itu. Dialog dalam bahasa Kaili, bahasa mayoritas penduduk di situ. Relawan orang daerah situ, secara sederhana menterjemahkan isi cerita. Ada 3 pemain utama yang berdialog, dan beberapa orang lainnya sekali kali ambil bagian. Tidak seluruh, dari a sampai z diceritakan. Lebih tepat kalau disebut potongan kisah nyata yang disarikan dalam sandiwara.
A: Apakah kau melihat banyak barang ditumpuk di kantor desa?
B : (menganggukan kepala). Ya, aku lihat. Kenapa?
A: Harusnya itu dibagikan ke warga di sini!
B: (menganggukan kepala)
A: Lalu kenapa barang itu ditimbun di kantor desa?
B: (Menggelengkan kepala)
A: Ayok ajak warga lain untuk menuntut kepada kepala desa. Minta supaya bantuan segera dibagikan!
B: (Menganggukan kepala, tanda setuju).
Ceritanya lalu mereka memobilisasi warga dan beramai ramai ke kantor desa. Tapi sepanjang jalan ada warga yang menentang rencana ini
C: apakah kalian semua tahu kenapa barang itu masih ditumpuk di sana?
A: Ini pasti karena Kepala Desa mau ambil semua jatah warganya
C: tidak mungkin. Bantuan itu ada catatannya. Biasanya dibagikan per kk
A: mungkin saja, nanti kepala desa akan bilang semua sudah dibagikan, padahal hanya sedikit yang dibagikan ke warga”
C: Tidak mungkin. Kan setiap KK yang menerima harus tandatangan, dan tandatangan akan diberikan kepada penyumbang sebagai bukti
A: Tandatangan bisa dipalsukan. Ayok ke kantor desa, daripada barang bantuan itu lenyap!
Fenomena soal bantuan, keadilan, kecurigaan menjadi tema yang hangat di tengah derasnya arus bantuan bencana dari luar untuk desa desa yang terkena dampaknya. Perangkat desa harus kerja ekstra keras karena mereka harus mencatat semua bantuan dan membagikan sesuai dengan jumlah KK atau bahkan jumlah jiwanya.
“Kami harus bekerja siang malam, bahkan sampai jarang pulang rumah. Semua staff desa harus bekerja memastikan semua warga mendapat jatah bantuan.”
“bahan makanan pokok, seperti beras, minyak, gula, mi instant harus diatur sesuai dengan jumlah KK nya. Barang barang itu datang dalam jumlah besar, dan berkarung karung. Kami di sini harus membagi dalam kantung kantung kecil. Harus ditimbang, harus dihitung,bahkan plastik pembungkusnya harus berwarna yang sama. Kalau tidak demikian, akan banyak orang yang protes. Kenapa warna beda, kenapa ini dan kenapa itu.” Cerita Kepala desa dan di iya kan oleh Sekdes.
“Masih ada bahan makanan yang masih di simpan di gudang. Itu bukan karena kami mau menyembunyikan tapi kamu harus sungguh sungguh menghitung. Kalau setiap KK mendapat jatah beras 5 liter, maka semua harus mendapat 5 liter. Kalau di gudang, setelah diperhitungkan, bakalan tidak semua warga mendapat kalau dibagikan 5 liter, maka kami akan kurangi, sampai benar benar semua mendapat jatah yang sama jumlahnya.” Lanjut Kepala Desa.
“Koordinasi dengan pihak pemberi sumbangan terus menerus. Setiap hari dua atau tiga kali harus ke Palu untuk memastikan apakah ada sumbangan yang sama untuk bahan yang sama. Yang sering dituntut oleh warga adalah kenapa bahan masih disimpan di gudang desa, padahal bahan itu dibutuhkan warga. “
“Ini yang saya maksudkan bahwa kalau dibagikan langsung maka tidak semua mendapat jatah. Makanya kami menunggu sampai pemberian itu sesuai dengan jumlah penduduknya. Kami menunggu kalau memang sudah ada kepastian akan dibagikan lagi tambahan. Hanya masih menunggu kiriman dari gudang pemberi sumbangan.” Kata Kepala Desa
Itu yang dijelaskan oleh Kepala desa, yang diperankan oleh seorang pemuda tegap berbicara dengan wibawa.
“Seluruh bantuan akan diserahkan seluruhnya kepada mereka yang berhak. Saya tidak mau gara gara bantuan terjadi kekacauan, cemburu, iri hari, konflik akibat pemerataan yang tidak rata. Makanya semua harus mendapat yang sama jumlahnya.” Kata Reza yang memainkan peran sebagai Kepala Desa dalam sandiwara satu jam.
Menutup acara puncak pementasan, Kepala Desa yang sebenarnya bercerita bahwa sandiwara ini hanya menyederhanakan fakta yang terjadi di lapangan. Ia menjelaskan bahwa selama masa pemberian bantuan, jantungnya berdegup lebih cepat. Takut, khawatir, stress sampai tidak bisa tidur nyenyak.
Walau demikian, Pak Kepala Desa mengakhiri acara dengan menyumbangkan lagu lagu lama dari Koes Plus dan The Mercys. Kami semua bergembira dan bahagia karena masa stress sudah lewat. Harapan Pak Kades dan seluruh warga desa, semua aktifitas kembali normal seperti sebelum adanya gempa. Demikian pula harapan kami yang mendampingi desa dalam bekerja dan bergembira.
No comments:
Post a Comment