Suara deru helicopter terdengar mendekat kampong itu. Itu yang ditunggu-tunggu. Sekejap seluruh penghuni kampong keluar dari rumah, gabung dengan mereka yang masih di lapangan.
“pastilah itu adik almarhum yang dating” serentak kerumunan orang di lapangan terbuka itu berteriak.
“semoga saja. Dan kita segera menyiapkan acara penguburan. Keluarkan jenazah dari rumah itongoi (honai dalam bahasa Dani).” Perintah petinggi kampong.
“jangan dulu. Pastikan Helikopter mendarat dan memang betul adiknya yang dating.” Kata yang lain.
Mereka semua memandang ke atas, mengira-ngira tepatnya posisi helicopter di atas mereka. Kabut tebal menghalangi pengelihatan. Harap cemas ada keajaiban, kabut tersibak, benda berupa helicopter mendekat di atas mereka. Itu hanya harapan. Kenyataannya, tak terjadi
Suara helicopter yang masih menderu deru di atas lapangan makin lama makin menjauh, dan selang beberapa waktu tak lagi terdengar. Sudah dua kali helicopter itu dating dan tanpa mendarat kemudian pergi. Sepertinya tak mungkin ada heli mendarat di cuaca kabut yang tebal di ketinggian 2000 meter.
Menunggu tanpa kepastian membuat fam Jangkup menghendaki penguburan segera. Lebih cepat lebih baik. Acara berlarut larut, beban tuan rumah makin berat menyediakan makanan, apalagi Beberapa pihak mengatakan tidak dapat bolos kerja terus menerus. Harus izin dan pastinya potong gaji. Jadi berharap tuan rumah melaksanakan hari ini.
Desakan terus menerus, pidato Pendeta yang berulang ulang tentang makanan semakin menipis. Kebun-kebun gagal panen karena longsor. Sementara tidak ada suplai beras dari Timika karena tidak ada angkutan udara.
Negosiasi alot berbagai argumen silih berganti diungkap dua belah pihal, akhirnya tuan rumah, fam Omaleng, setuju. Segera memutuskan melakukan penguburan dengan atau tanpa adik almarhum. Pihaknya merasa bersalah bilamana acara mengubur berlarut-larut membuat banyak orang jadi terhambat kegiatan berkebun, kerja proyek, lainnya.
Peti segera disiapkan, para pemuda menggotong jenazah keluar dari Itongoi, menyelimuti kain, memasukan ke peti, lalu dilaksanakan kebaktian dipimpin Pendeta asal fam Jangkup. Tutup peti, lalu dipanggul dibawa ke pemakaman, disertai tangisan dan senandung kerabat perempuan yang duduk bersila di lapangan. Hanya para pemuda dan beberapa kerabat dekat yang mengantarkan ke kuburan. Mereka—pemuda berbadan tegap dan kekar—yang dianggap mampu memanggul peti sekaligus memasukan peti ke lubang kemudian menimbun lubang sampai membentuk gundukan kuburan. Sementara para orangtua, tokoh, dan juru bicara fam dan kerabat-kerabat yang lainnya menunggu di lapangan duduk atau berdiri mematung, bercakap-cakap dengan suara rendah sambil menunggu para remaja dan pemuda kembali.
Tak lama jenazah dikubur dan para pemuda satu per satu sudah kembali ke lapangan, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, matahari bersinar, deru mesin helikopter kembali terdengar. Sebuah helikopter mendarat di kampong itu, membawa adik dan anak perempuan almarhum.
No comments:
Post a Comment