Monday, 17 June 2019

Tengger dan Bromo

Mencoba mengingat kembali peristiwa puluhan tahun silam. Tidak mudah, tapi mau coba. Kalaupun tidak mampu memberi gambaran yang akurat, setidaknya memberi inspirasi perlunya menggali lebih komprehensif.

Orang luar mengenal dengan nama Tengger. Komunitas itu tinggal di pemukiman yang  terpencar di dataran tinggi mengelilingi, atau berorientasi gunung yang disucikan. Antara pemukiman dan gunung itu disela dataran pasir luas (penduduk situ menyebutnya "segara wedi' atau lautan pasir.

Saya mengenal dari dekat komunitas Tengger saat mahasiswa melakukan latihan penelitian metode pengumpulan data lapangan. Tinggal di rumah warga, mewawancarai anggota keluarga, mengamati perilaku sehari-hari, di rumah maupun di luar rumah.

Ada beberapa catatan penting, menyimpulkan hasil pengumpulan data itu. Pertama, kerangka tentang Tengger itu dibingkai dengan keunikan komunitasnya. Unik, karena hampir setiap warga bercerita tentang asal usul mereka. Mereka adalah pelarian orang Majapahit yang kalah bertempur dengan kerajaan Islam Demak. Sebagian berpencar ke Bali, sebagian lagi ke Tengger. Ini mau menunjukkan bahwa Bali dan Tengger adalah sesama warga Majapahit.

Kedua, warga juga bercerita pasangan Roro Anteng,  anak perempuan keturunan raja Majapahit dan Joko Seger anak Brahmana. Penggalan suku kata (An)Teng dan (Se) Ger yang disatukan menjadi TengGer atau Tengger. Cerita Legenda itu tidak pernah bisa dikorelasikan dengan turunan Majapahit yang terdesak. Namun nampaknya penting untuk rekonstruksi identitas sehingga ada ikatan kuat dari komunitas yang  mengelilingi gunung suci.

Ketiga, ada beberapa upacara, terutama Kesada yang dinyatakan mirip dengan Hindu Bali tanpa adanya Pura. Upacara itu biasanya diakhiri dengan mempersembahkan hasil bumi ke kawah gunung. Upacara dengan cara Hindu, tapi diakhiri dengan persembahan sesajen, hasil bumi, yang dimaknai sebagai terima kasih kepada gunung suci yang telah menolong leluhurnya.

Dua tahun lalu, saya datang ke Tengger. Kisah kisah itu sudah menjadi paket wisata. Ada buku, leaflet, papan informasi yang menjelaskan tentang, asal usul, agama, pencaharian, bahasa, adat tradisi, legenda, dan lainnya. Cerita warga Tengger yang saya temui, membeberkan kisah yang sama persis dengan yang ada di buku paket wisata. Intinya ada penyeragaman.

Apakah seperti itu Tengger? Mungkin harus melihatnya di luar kerangka tiga hal di atas. Misalnya jimat jimat yang dipunyai dukun seperti kisah jimat klontong(an) yang dipakai dalam upacara Karo yang dilakukan dua bulan setelah Kesada. Karo adalah upacara di desa masing masing di seluruh desa Tengger. Kesada adalah upacara persembahan sesajen ke kawah gunung. Dua upacara yang dianggap penting, yang intinya adalah persembahan, ucapan terima kasih, syukuran. atau ada upacara-upacara lain skala kecil atau besar yang bermakna lain bagi komunitas Tengger yang mengandalkan alam.

Kesada, Karo, Hindu, Majapahit,  gunung Bromo dan Batok, Lautan Pasir, jimat Klontongan masih menyimpan misteri dalam hubungannya dengan kebudayaan Tengger.

No comments:

Post a Comment