Monday, 17 June 2019

Perlindungan anak saat emerjensi

Perlindungan anak saat emerjensi

Menjadi pendamping di desa yang mengutamakan (arus utama) adalah perlindungan anak merupakan tugas mulia. Betapa tidak, anak adalah bagian dari kelompok rentan yang dalam keadaan darurat maupun normal, seringkali menjadi kelompok yang terpinggirkan. Atau lebih tepatnya tidak diperhitungkan, atau diabaikan. Dalam konteks yang akan kita bahas di sini adalah anak dalam situasi darurat paska bencana.
Tindakan yang umum dilakukan oleh banyak pihak berkenaan dengan paska bencana adalah mengungsikan anak-anak, menyediakan sandang dan pangan untuk beberapa waktu tertentu. Kemudian disediakan papan, berupa tenda tenda untuk tempat tinggal. Itu terjadi pula di Sulawesi Tengah, khususnya wilayah Palu, Sigi dan Donggala.
Selama masa tanggap darurat, juga diikuti dengan masa rehabilitasi dan rekonstruksi, berdasarkan pengalaman di sejumlah tempat di dunia, banyak hal terjadi. Di tenda pengungsian, di hunian sementara  bahkan di hunian tetap atau di dusun dan desa yang terkena dampak bencana, anak menjadi kelompok yang sering: dieksplotasi, disalahgunakan, diabaikan, dan sering mengalami kekerasan.
Ada standar yang digunakan untuk mengatasi persoalan anak (dan kelompok rentan lainnya), yakni memperkuat atau meningkatkan kapasitas mereka yang bertanggungjawab. Pemerintah daerah, atau perangkat desa adalah pihak yang bertanggungjawab atas keamanan dan kenyamanan kelompok rentan, termasuk anak-anak. Tokoh masyarakat, adat, agama adalah pihak yang juga ikut bertanggungjawab atas keamanan mereka. Paling utama adalah tanggungjawab orangtua dari anak tersebut. Ia harus memastikan bahwa anak-anak berkumpul kembali bersama anak anak mereka.
Kenapa anak perlu dilindungi? De facto, anak adalah kelompok rentan. Seperti digambarkan di atas, seringkali menjadi pihak yang paling dirugikan. Antara lain terpisah dari keluarga, terancam, terbatas pada persoalan keamanan dan keselamatan. De Yure, Indonesia menjadi bagian dari kesepakatan Negara Negara untuk melaksanakan perlindungan anak di masa emerjensi maupun masa normal.  Berlandaskan pada CRC atau Convention on the rights of the child atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Konvensi Hak Anak (KHA) pada tahun 1990. Lalu Indonesia membuat UU perlindungan anak yang dipakai sebagai pedoman dalam membuat kebijakan, pertimbangan dan perspektif dalam memperlakukan anak dalam situasi emerjensi.

Memperlakukan anak dalam situasi emerjensi dan situasi lanjutan, harus ada standarnya. Ada pedoman yang prinsipil yang harus dipatuhi oleh semua pihak (duty bearer) khususnya relawan atau fasilitator yang melakukan pendampingan di daerah bencana. Di bawah ini ada pedoman yang saya ambil dari pedoman perlindungan anak masa emerjensi dari Unicef:
1.    Hindari mempertontonkan anak kalau itu membahayakan
2.    Pastikan anak mendapat akses bantuan
3.    Lindungi anak dari bahaya fisik dan mental (psikologis)
4.    Bantu anak untuk memperoleh hak nya
5.    Netral
6.    Memperkuat ketahanan anak
7.    Akuntabilitas atau dapat dipertanggungjawabkan
8.    Memastikan adanya partisipasi dari kelompok yang terdampak
9.    Respek pada kebudayaan dan adat istiadat setempat.

Apakah dari pengalaman yang bapak/ibu temukan di desa masing-masing terlihat prinsip 1-9 di atas?  Diskusikan dan presentasikan

No comments:

Post a Comment