Monday, 17 June 2019

Pemuda Baluase

Pemuda Baluase

 “Petani angin?. Apa itu?”. Percakapan dengan pemuda di Desa Baluase.  Lama bicara dengannya, akhirnya lawan bicara saya ini mengenalkan diri, dia adalah ketua pemuda sekecamatan. Wow. Tenryata Firdaus adalah tokoh muda di kampong situ. Ia baru saja dilantik beberapa hari lalu oleh Pak Camat di kantor Kecamatan.
Tiba tiba soal “petani angin” jadi tidak penting. Sebab cerita Firdaus tentang pemuda lebih menarik.

“problem utama pemuda di sini adalah tawuran” cerita dia.

“kenapa kok tawuran? siapa dengan siapa? Persoalan apa?” Tanya saya pengen tahu.

“pemuda itu bertengkar hanya soal sepele saja pak. Saling liat-liatan dalam pesta, sudah memicu perkelahian. Yang satu kalah berkelahi satu lawan satu, memanggil temannya di desa, lalu dating bergerombol, mengeroyok. Tak terima dengan pengeroyokan, yang dikeroyok memanggil pula kawan kawannya yang se desa. Akhirnya jadi tawuran antardesa.” Begitu ceritanya kata Firdaus.

“ini akibat mabuk-mabukan” kata Firdaus menambah ceritanya.

“CT ya”. Kata saya menanggapi mabuk mabukan.

“Iya. Orang yang sedang mabuk, tak bisa tersinggung. Tatapan mata saja membuat orang marah. Padahal kalau normal saja tidak begitu.”

“masa sih. Bukannya orang yang saling tatap menatap tanpa menyapa bisa menimbulkan pertanyaan dan bahkan menimbulkan pertanyaan dalam hati, kenapa menatap. Apalagi melotot.” Pancing saya.

“sebenarnya perkelahian bukan saja soal mabuk, tapi banyak hal. Pertandingan bisa berakhir tawuran.  Adik atau pacar diganggu, berakhir tawuran. Mengendarai sepeda motor melewati jalan desa dianggap tidak sopan. Saya tidak mengerti apa sepeda motor harus dituntun biar dianggap sopan.?  Kata Firdaus.

“apa saja bisa jadi pemicu perkelahiaan dan tawuran.” Katanya.

Sejak dilantik, Firdaus sudah mempunyai rencana, akan melakukan pendidikan non formal di seluruh desa. Tidak terlalu jelas apa maksudnya dengan pendidikan non formal itu. Ia menambahkan bahwa para pemuda perlu mendapat pendidikan agama dan moral. Ini pun terasa masih di awang awang, istilah sekarang tidak membumi.

“saya senang sekali ada program IBU yang memberi pelatihan soal kegiatan pemuda dan remaja paska bencana. Saya berpikir bahwa program seperti ini bukan saja untuk antisipasi paska bencana, malahan menjadi program membangun desa melalui cara pemuda.” Lanjutnya.

O, baru saya sedikit mengerti kata kata Firdaus soal merencanakan kegiatan non formal itu.
“berdiskusi dan menyatakan gagasan antarpemuda patut untuk dilanjutkan. Kami sanggup melaksanakan itu. Pemuda di sini sudah biasa melakukan diskusi dan merencanakan. Kami punyai organisasi Kelompok Pecinta Alam atau KPA yang biasa merencanakan sewaktu mau kegiatan naik gunung”. Tegasnya.

“Pelatihan ini punya nilai tambah, yakni memperkenalkan pembangunan mental. Saya senang, dan temen temen semua di sini juga senang. Ini adalah pengetahuan baru yang menyadarkan kita. Pembangunan bukan saja fisik. ” katanya.
Rupanya setelah dua hari ikut pelatihan dari tim IMC, Firdaus sudah banyak tahu dan paham arti pentingnya mentalitas. Tak percuma mas Tio, mas Adi, Pey dan Alyssa bersusah payah melewati jalan tak mulus ke desa Baluase, mengadakan sosialisasi psiko social buat para remaja dan pemuda. Jangan lupa bahas pula pernikahan dini yang banyak terjadi di sini. Selamat buat Tim.

Lalu apa arti “petani angin” bro? ah itu bang, petani yang nunggu nunggu angin kencang supaya kelapa jatuh, lalu tinggal pungut. Hahahaa ada ada saja. Kami mengakhiri percakapan karena sudah saatnya pelatihan dimulai.

No comments:

Post a Comment