Monday, 17 June 2019

Kritis di Kampung terpencil

Kritis di Kampung terpencil

Pemuda fam Janampa, pewarta Injil yang bertugas di Kampung Jagamin, berteriak keras lewat tengah malam , keluar dari Itongoi milik fam Omaleng, kemudian melanjutkan teriakannya di tengah lapangan depan Itongoi. Kepala Kampung yang se rumah dengan kami mengatakan bahwa ibu yang sakit itu telah meninggal dunia.

Sejak dua minggu sebelumnya, perempuan yang sakit itu hendak dibawa ke Rumah Sakit di Banti, tapi burung besi (helikopter) itu tak kunjung menjemput. Mengirim kurir berita ke rumah sakit sudah dilakukan melalui kerabat yang tinggal dekat rumah sakit. Tetapi tak ada helikopter datang. Berbagai teori kenapa helikopter tak datang bermunculan di antara elite kampung.

“Cuaca buruk jadi helikopter sulit terbang dan sulit mendarat.”

“Tidak ada rujukan dari klinik Aroanop, jadi rumah sakit tidak melayani.”

“Penyakit pasien itu tidak mungkin disembuhkan.. tidak guna dijemput.”

Apapun teori  di antara mereka faktanya helikopter tidak datang, dan pasien meninggal.
Satu minggu Perempuan Omaleng itu masih belum sembuh. Kondisinya makin tambah parah. Keponakannya memindahkan dari rumahnya ke Itongoi Omaleng di ujung kampung.

“Menempatkan pasien di Itongoi lebih baik” kata keponakannya  sembari menggandeng perempuan itu berjalan ke itongoi.

Orang sakit parah biasanya dibawa ke itongoi  karena pasien bisa dijaga secara bergiliran oleh kerabat-kerabat dekatnya. Selain itu di dalam itongoi selalu hangat karena di tengah ada perapian yang setiap kali dinyalakan oleh penjaga yang bergiliran.

“Penyakit perempuan Omaleng itu tidak ada obatnya.” kata Kepala Kampung

“Ia kena penyakit menular yang sulit untuk disembuhkan.” Sambung Kepala Kampung.

Lalu bercerita Kepala Kampung itu. Perempuan itu kena penyakit menular seks ketika di Timika (kota paling ramai di Kabupaten Mimika). Ketika penyakitnya semakin bertambah parah, perempuan itu semakin tidak nyaman berada di Timika. Di kota itu ia tidak ada yang merawat. Suaminya sudah meninggal, sementara adik laki-lakinya terlalu sibuk dengan bisnis konstruksi. Ia minta kepada adik laki-lakinya agar dia bisa pulang ke kampungnya di Kepala Air, di lembah Aroanop. Adiknya kemudian mendaftar agar mendapat prioritas dari rumah sakit untuk memulangkan pasien ke rumahnya di kampung. Sampailah perempuan itu di kampungnya lalu dirawat oleh sanak keluarga di rumahnya.

Perempuan yang meninggal itu adalah adik perempuan dari isteri Kepala Kampung Jagamin. Dia janda. Berasal dari fam Janampa yang kampung aslinya di Wa-Bera, kira-kira satu jam jalan kaki dari kampung Jagamin. Suami perempuan itu sudah meninggal 3 tahun lalu. Menurut Kepala Desa penyakit suami-isteri itu sama, yakni “penyakit besar” atau “sakit besar” atau yang biasa dilafalkan oleh penduduk setempat sebagai “takis berat”. Suami perempuan fam Omaleng, mempunyai tali kerabat keturunan dengan Kepala Kampung. Suaminya  adalah sepupu tingkat pertama dengan Kepala Desa. Bapak mereka kakak beradik kandung.

Hanya tiga hari berada di itongoi, akhirnya perempuan itu meninggal dunia. Tidak ada keterangan resmi dari dokter atau petugas kesehatan yang menyatakan perempuan itu sudah meninggal. Tapi sudah dipastikan oleh kerabat-kerabatnya yang menunggui siang-malam bahwa ia meninggal. Menjelang meninggal, badannya sudah membau, luka-luka yang ada di perutnya menganga ditutupi dengan kain seadanya.

No comments:

Post a Comment