Monday, 17 June 2019

Hiburan di Kampung di Pegunungan Tengah

Hiburan di Kampung di Pegunungan Tengah

Pagi sekitar jam 07.00, suara anak kecil teriak teriak di luar. Jelas, keras karena sumber teriakan di samping dinding kamar. Mereka lebih dari satu, mungkin lebih dari empat orang, bergerombol, karena derap langkahnya terdengar.

“Kaka Obet....kaka obet...selamat pagi...kaka obet...kaka obet “ nama kawan se rumah berulang ulang dipanggil. Namanya Obet. Tetapi karena yang memanggil anak-anak, dan dipastikan usianya lebih muda dari yang dipanggil, maka di depan nama, ada kata “kaka”. Kaka berlaku untuk jenis kelamin laki dan perempuan.  

Saya keluar  kamar berselimut memperhatikan anak anak itu satu per satu. Dua orang kakak beradik anak kepala desa, lainnya tidak kenal, tapi mereka pasti dari kampung dekat barak kami.

“ada apa.?”

“kami mau ambil HP. Semalam Bapa kasi titip di sini, ke kaka Obet. “

“sebentar.”

Tak lama Obet keluar dan menyerahkan lima HP yang dititip di barak.

“jangan sampai tertukar. Bawa yang benar benar punya Bapa kalian.”
Anak anak itu pergi, arah kampung mereka.

 “Mereka charge HP, di rumah mereka tidak ada listrik. Seluruh kampung di sini tidak ada listrik. Hanya di barak ini yang ada listrik. “ Kata Obet, sambil menggerutu karena setiap pagi diganggu anak anak itu.

Barak kami ada genset. Disediakan perusahaan. Bahan bakar solar dikirim satu atau dua drum, bergantung keperluan. Kira-kira satu bulan baru habis. Genset, dipakai mulai jam 5 sore sampai jam 10 malam, saat yang dianggap butuh listrik. Lumayan untuk menikmati tontonan tv yang hanya satu channel, dan kebiasaan para pekerja dan beberapa penghuni kampung yang dekat situ untuk charge HP.

Heran! Buat apa mereka charge HP di sini tidak ada sinyal. Sayapun tidak pakai sejak tinggal di kampung sebulan lalu. Penghuni asli kampung dan pekerja bangunan lapangan terbang pakai HP buat hiburan. HP untuk dengar lagu. Titip, copy lagu-lagu dari Karyawan perusahaan yang mondar mandir ke proyek lapangan terbang. Copy beranting dari satu ke lain pekerja. Simpan di HP.

HP  fungsinya seperti radio/tape.  Lumayan bisa dengar lagi di rumah di kebun atau tempat lain. Ada gitar di situ tapi senar hanya satu. Yang sudah sudah nyanyi mereka tidak pernting dan perlu diiringi gitar. Kata para pekerja itu bisa telpon atau sms tapi spot sinyal hanya ada di gunung kapur.
“itu om, yang putih bercahaya kilau kena matahari.” Sambil menunjukan lokasi spot sinyal. Saya hanya mengangguk angguk saja, tapi jelas tak minat ke bukit yang jauh itu hanya untuk telpon atau sms.

Di situ biasa mereka taro HP, atau komunikasi dnegan luar. HP ditinggal di sana. Esoknya baru diambil, sudah penuh dengan sms dari luar. Ini caranya berkomunikasi. Perlu waktu dua sampai tiga jam ke bukit itu. Pergi pulang enam jam. Untuk ukuran saya mungkin lebih dari enam jam pp, terasa berat sekali untuk dapat spot sinyal.

Benar kata pimpro lapangan terbang. Membayangkan ke sana saja sudah lelah. Ia satu satunya penghuni barak yang belum pernah ke bukit cinta. Sebutan buat tempat di mana mereka bisa curhat dengan pacar atau isteri. Jadi paling cocok pastikan HP berisi batere yang penuh lalu dengarkan lagu lagu favorite.

No comments:

Post a Comment