Mendampingi remaja
Awal Februari, setelah akhir januari berpikir keras mengatasi soal mengumpulkan remaja di desa, kami mengubah strategi. Semula mengumpulkan remaja hanya mungkin dilakukan malam hari setelah waktu Isya, menjadi pagi sampai siang hari. Bagaimana caranya? Sekolah! Iya sekolah menjadi kesepakatan tim pelaksana lapangan. Sekolah menjadi sasaran atau focus perhatian untuk mobilisasi remaja. “Kegiatan harus dilakukan di sekolah, Pak!” kata para tenaga lapangan serentak saat rapat evaluasi progress kegiatan setiap minggu. Kenapa demikian? Sekolah adalah tempat berkumpulnya remaja pada pagi sampai menjelang sore. Mereka adalah siswi dan siswa di sekolah. Hampir tidak ada remaja yang tidak sekolah. Pantas saja para remaja minta kegiatan diadakan pada malam hari. Sebab di luar itu mereka ada di sekolah.
Selama jam pelajaran sekolah adalah waktu yang ideal bagi kami melaksanakan kegiatan. Diperlukan izin Kepala Sekolah dan guru yang berwenang untuk mengisi acara. Kami mulai dari isu penyebab bencana, pengenalan kesehatan reproduksi, manajemen menstruasi. Kepala Sekolah setuju, guru setuju, murid muridnya senang. Pihak sekolah mau kalau murid tidak sekedar mendapat pengetahuan teori konvensional, tetapi juga pemahaman praktis sehari-hari. Lalu, mulai dengan socialisasi itu. Sambutannya luar biasa. Para remaja menyukai pelajaran semacam itu. Bukan saja konten pelajarannya, tetapi juga metodenya yang memberi ruang gerak aktif peserta.
Mendampingi remaja, ternyata tidak sama dengan anak di bawah 12 tahun. Sebagian besar dari mereka sudah pegang HP. Pengetahuan mereka banyak menyerap dari berita di Media Sosial seperti Facebook dan Instagram. Komunikasi antarteman sebaya dengan Whatsapp (WA), berita sekeliling hanya dari HP. Kesibukannya hampir seharian berada di sekolah. Kegiatan belajar mengajar mulai dari pukul 7 pagi sampai 15 sore. Melihat jadwal remaja, tentu saja hampir tidak pernah nampak siang hari remaja di desa. Kalau mengumpulkan remaja untuk sosialisasi dengan cara cara ceramah menjadi membosankan dan tidak efektif. Kebiasaan mereka menerima berita dari Medsos adalah membaca kalimat pertama. Kalimat pertama itu yang menentukan apakah si remaja berminat atau tidak. Tidak minat? Hanya perlu delete atau skip, sambil mencari berita baru. Kalau mengharuskan remaja duduk berjam jam apalagi mendengarkan berita yang sudah pernah dibaca di media social. Respons nya hanya tidur atau becanda dengan kawan lainnya. Jadi, sekali lagi, diperlukan muatan berita yang praktis dan bermanfaat bagi remaja dengan metode gaya remaja.
Metode partisipatif bukan hal baru bagi kalangan lembaga atau organisasi yang bergerak di bidang kebencanaan dan pengembangan masyarakat (community development), tetapi ini adalah metode yang baru bagi remaja di sekolah. Proses belajar mengajar satu arah, dirasakan seperti mengajari. Pengetahuan yang disampaikan sebatas pengetahuan guru. Metode partisipatif memberikan kesempatan para remaja untuk menyatakan pendapatnya di depan kelas. Kalau di Media social, para remaja hanya membaca atau ber chatting dengan sesame kawan. Di sini mereka menuangkan gagasannya dalam ruang yang lebih resmi. Memulai diskusi dengan bahasa yang lebih formal. Menyimpulkan pembahasan diskusi dilakukan oleh mereka sendiri yang hampir tidak ditemukan dalam Media Sosial. Pengetahuan fasilitator dan remaja dipadu menjadi satu. Menjadi pengetahuan yang didasarkan atas pengalaman bersama. Ini pengalaman baru yang sangat bergaya remaja yang menyukai hal baru dan penuh tantangan (bersambung)
No comments:
Post a Comment