Gantung Sepatu
Edson Arantes Do Nasecimento alias Pele, gantung sepatu setelah tim Sepakbola Brazil sukses mengalahkan Italia 4-1 di Stadion Aztec Mexico 1970. Pesta sepakbola empat tahun sekali sering berakhir dengan adanya pemain terkenal yang gantung sepatu. Simak saja, Johann Cruift (Belanda), Franz Beckenbauer (Jerman), Maradona (Argentina), Platini (Perancis), sampai Ajat Sudrajat (Persib-PSSI), harus gantung sepatu setelah usia semakin tua, prestasi semakin menurun, akhirnya tak lagi optimal membela tim nasionalnya.
Istilah gantung sepatu selalu dikaitkan dengan konotasi berakhirnya karier seseorang di dunia sepakbola. Tidak demikian halnya Junaidi. Nama pemberian orangtuanya yang fanatik dengan salah satu pemain handal PSII, Junaedi Abdillah, bukan pemain sepakbola. Ia pedagang sepatu di Kakilima. Ia menggantung sepatu karena karena gelaran tempat dagangannya tidak cukup. Sebagian masih di kardus, sebagian di gelar di trotoar beralas plastik biru, dan sebagian lagi digantung di tiang sanggahan atap lapaknya.
“Empat puluh ribu dapat dua.” Setengah berteriak menjajakan pada orang-orang yang liwat kiosnya.
“ Murah juga.”
“ Empat puluh ribu dapat satu sepatu kiri dan satu sepatu kanan.”
“Sialan.”
Empat puluh ribu sepasang saja sudah murah. Apalagi ditawarkan dapat dua. Eh ternyata itu teknik marketing. Konsumen berhenti, lalu penjelasan dilakukan kemudian; jenis sepatu dan harganya kalau pembeli berminat serius. Barangkali ini yang disebut teknik marketing bottom up. Yang pasti, Ia senang cerita soal sepakbola, seperti komentator yang pinter menjelaskan strategi tim, teknik gocekan, tipu muslihat menggiring bola di depan gawang. Katanya, lumayan penghasilan dari dagang sepatu ini bisa buat makan keluarga dan jajan anak.
No comments:
Post a Comment