Sarasehan Antropologi
Sarasehan di pulau Air, gugusan pulau Seribu membawa banyak kenangan.
Petilan Kisah kisah front stage dan back stage yang dinarasikan oleh para kerabat seolah tak lekkang akan panas tak basah karena hujan.
Paket paket acara yang ilmiah, rada rada ilmiah, hura hura sekaligus malam kekerabatan sudah disiapkan dengan matang, setengah matang dan mentah alias spontanitas. Ini acara yang paling enak dan banyak yang mengatakan sesi acara ini yang paling berhasil membuat antropos merasa satu saudara dalam ikatan nilai nilai solidaritas seperti ajaran Durkheim dan saling bersimbiose mutualistik atau timbal balik seperti ajaran Malinowski. Kebetulan mereka berdua dedengkot antropologi, dan sampai sekarang masih dihormati sebagai pencetus gagasan gagasan cemerlang tentang struktur sosial, organsasi sosial, solidaritas mekanik organik yang secara langsung mendasari kegiatan sarasehan antropologi.
Cerita di atas Itu adalah deskripsi pokok pokok kegiatan di wilayah atau domain front stage. Cerita tentang back stage jarang terungkap, kadang bukan tak mau mengungkapkan, melainkan tak terlalu penting untuk diungkapkan. Kali ini perlulah untuk menceritakan kisah kisah dibalik layar yang bukan saja penting tetapi menjadi penopang kegiatan front stage.
Bayangkan tanpa backstage tak akan mungkin terjadi kisah kisah sarasehan di pulau Air yang terjadi empat puluh tahun silam. Semua dari kita masih muda belia, masih sanggup membersihkan sampah daun satu pulau demi pulau yang bersih, necis siap menyambut para tamu yang dalam waktu beberapa saat kemudian berdatangan.
Ada lima atau enam rak telur, entah berapa jumlahnya. Beras berkarung karung, sayur, daging, ayam dan bahan lainnya tak mampu menghitung lagi. Bahan itu kemudian dimasak disiapkan oleh tim konsumsi yang trio tapi menyatu yang menjadi tulang punggung konsumsi para peserta berkegiatan selama tiga hari tiga malam. Trio itu didukung oleh para lelaki memastikan bahan bakar minyak, kompor bekerja dengan baik, lampu petromaks dan lain sebagainya terjamin.
Tiga hari tiga malam yang melelahkan tapi menyenangkan. Bersenda gurau saling berpantun, bernyanyi berpuisi, kadang memainkan harmonika bersuara fales. Entah harmonikanya yang kualitas rendah atau pemainnya yang terlalu banyak kena pengaruh alkohol. Entahlah, yang pasti malam itu malam terakhir di pulau yang indah bertabur bintang di langit. Malam itu malam sejuta bintang.
No comments:
Post a Comment