Jakarta kembali normal
Ke kantor urusan pertanahan atau biasa disebut BPN di Jakarta Barat, makan waktu dua jam. Berangkat dari rumah Pringgondani di kampung sebelahan Perum Raffles Hill jam 7 lewat sedikit sampai di BPN Jakbar jam 9 lewat sedikit.
Jalan Tol, jalan bebas hambatan, macet terhambat oleh banyaknya kendaraan roda empat besar kecil tua muda.
Inilah yang disebut maksud hati memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai.
Di tengah jalan, jalanan non tol pun tak bergerak, kendaraan terlampau banyak dibanding panjang jalan. Arah Semanggi Sudirman tak mungkin bisa dicapai dalam satu jam ke depan, padahal ada afspraak dengan zus Fien dan Zus Hos di Restoran masakan Belanda di Cideng.
Lalu banting stuur, ke arah Cideng, dengan harapan bisa sampai di restaurant pukul sebelas sesuai janji. Ternyata macet di mana mana. Seperti hal nya lagu Badminton di mana mana karangan Sambas penyiar pertandingan sepakbola nasional maupun internasional di tvri zaman tahun60-70an.
Untung sampai tujuan jam 11. Tapi kok sepi, restoran nampak tutup. Oh ternyata hari itu restaurant telah dibooking. Sungguh sedang tidak nasib. Sudah berharap makan masakan Belanda (walau dalam hati yang terbayang Havermut van Quaker, entahlah mungkin ada makanan belanda yang lezat lainnya, entah apa yang tersedia di menu.
Pupus sudah harapan, hari ini tidak bernasib makan di Restoran masakan Belanda. Lalu switch ke pedagang kaki lima masakan Padang. Barangkali maksud pedagang itu masakan Minang Bukittinggi. Mobil bergerak perlahan menyusuri jalan itu, mencari nomor yang urutannya tak beraturan.
"Pak tau tempat jual masakan padang kakilima yang terkenal? "
Ooo itu buka jam 6 sore, jam segini nggak buka, nanti kembali lagi." begitu kata tukang parkir percaya diri.
Saking lapar, kepala cenut cenut, akhirnya mampir di bakmi gerobak, sekaligus kirim shareloc ke zus fien n zus Hos. Rencana Gatot alias gagal total. Makanan Belanda gagal. Makanan Minang pun gagal. Maksud hati seperti kata pepata sekali dayung dua tiga pulau terlewati, ternyata tak satupun rencana terwujud.
Prinsip Tak ada rotan akar pun jadi, kami langsung ke makanan Palembang. Makan ikan patin dan pempek kapal Selam. Lumayan, walau kata para expert kulineran makanan di situ itu so so saja, alias biasa saja, tak ada yang istimewa. Tapi kok resto ini ternyata banyak pengunjungnya. Mungkin saja cita rasa pengunjung beda dengan rombongan kita. Siang itu Restoran lumayan penuh. Ruang Resto ber AC, tapi di bagian atas etalasi ada seonggok durian dengan aroma keras. Baunya tak akan lari gunung dikejar. kemana pun kau lari, selama masih di ruang itu, durian seolah nempel di hidung.
Dari Palembang naik gondola ke Italia beli es krim untuk pelarut sehabis makan asam manis pedas ala Palembang. Es krim italia memang enak, hanya es doger saja yang mampu menyaingi.
Dari wilayah Italia di jalan Veteran kembali pulang ke istana Pringgondani. Butuh waktu berpikir lama. Liwat sini atau liwat sana. Potong jalan sini atau jalan yang sana.
Diskusi dalam kendaraan yang kami tumpangi penuh dengan argumentasi, intinya bagaimana menghindar macet. Kalo sini paling macetnya di prapatan itu, kalau liwat sana sepanjang jalan akan padat.
Ah sudahlah ambil jalan sini saja, bayangkan saja home sweet home, dengan tujuan istana kami yang asri di pedesaan, nun jauh di daerah pinggiran. Istana Gatotkaca.
No comments:
Post a Comment