Proyek landasan pesawat di Pegunungan
Kisah ini adalah bagian dari catatan harian saya, yang saya tulis sepuluh tahun lalu. Saya terbitkan dengan sebuah foto pilihan supaya tidak mendekam di arsip saya yang kemudian menjadi tak bermanfaat.
Hanya butuh lima belas menit dari bandara Moses Kilangin Timika ke Aroanop. Aroanop itu adalah desa atau kampung yang pemukimannya terpisah pisah. Pemukiman terbagi dua. Pemukiman di hulu dan pemukiman di muara. Orang di sana menyebut istilah hulu dengan kata "Kepala Air" wilayah atau pemukiman yang paling dekat dengan sumber air dibanding wilayah atau pemukiman lain di situ. Sementara istilah "muara" adalah sebutan pemukiman berada di hilir walau tidak berbatasan dengan laut. "Muara adalah lawan dari Kepala air pemukiman atau wilayah yang paling jauh dari sumber air.
Aroanop masuk dalam wilayah Kabupaten Mimika yang paling ujung, berbatasan dengan kabupaten Intan Jaya. Lingkungan geografis kabupaten Mimika itu, pertama pesisir, kedua rawa dan ketiga pegunungan. wilayah Aroanop masuk kategori wilayah pegunungan. Transportasi dari Timika ke Aroanop demikian pula sebaliknya makin hari makin ramai sebab di lembah itu sedang dibangun landasan pesawat terbang. Landasan terbang perintis yang dibangun oleh PT Freeport, perusahaan tambang yang sudah puluhan tahun berada di Papua. Landasan dengan panjang 460 meter dan lebar 18 meter di ketinggian 2200 meter dengan pan yang hanya untuk pesawat kecil single engines. Setidaknya membuka kawasan ini menjadi tidak lagi terisolasi.
Dengan transportasi Chopper atau Helikopter Perjalanan ke Aroanop adalah perjalanan menyenangkan. Helikopter meliuk liuk melewati bukit dan lembah padang rumput dan hutan hutan perdu yang bercabang-cabang, tumbuh rendah dekat dengan permukaan tanah, yang nampak di pandangan mata di atas helikopter semacam semak belukar yang tumbuh di sana sini, tidak berbatang besar. Kalau mengikuti keinginan hati, ingin terus menerus berada di helikopter menikmati pemandangan lembah dan bukit indah. Kepengen pula jalan jalan ke kampung kampung terpencil lainnya yang jarang terjamah oleh orang luar, bukan menjadi bagian dari tourist destination. Tapi itu, Tidak bisa dan tidak mungkin mendapat izin, sebab chopper itu terbang dengan tujuan yang sudah ada jadwalnya. Perusahaan mewajibkan pilot dan loadmaster, bagian bagasi mengikuti aturan itu. Jadwalnya ketat. Tidak bisa nyeleneh semaunya. Tidak bisa berangkat, pulang, tujuan tanpa aturan.
Ada landasan Helikopter di desa Aroanop. Ada beberapa landasan helikopter di situ, sebab kampung kampung di situ terpencar pencar. Heli akan mendarat di tempat yang sesuai tujuan. Bukan saja memudahkan menurunkan penumpang, tetapi juga mendekatkan bagasi atau barang barang yang harus diangkut yang umumnya dipikul anak anak usia sekolah dasar. Kami cukup kagum sekaligus prihatin sebab yang gerak cepat memikul logistik kami adalah anak anak. Barangkali mereka rata rata berusia 10 tahun. Mereka membawa ransel, logistik makanan beras, perabotan masak dan lainnya. Ada anak anak lebih kecil, membawa instant noodle masing masing satu kardus. Mereka semua bergerak lincah, melompat lompat selokan atau gundukan tanah dengan mudah, langkah stabil dalam waktu singkat kami tertinggal jauh.
Pilot helikopter menurunkan kami di landasan helikopter atau Helipad yang paling dekat dengan pemukiman utama. Melegakan, sebab tidak perlu jalan jauh dan menanjak untuk sampai di rumah penginapan. Helikopter lebih sering mondar mandir Aroanop untuk pengangkutan logistik pembangunan landasan pesawat terbang
Berita kedatangan kami sudah tersebar seluruh lembah. Operator Radio komunikasi dari perusahaan tambang di Timika sudah memberitahu kepada rekannya di Aroanop. Mungkin mereka pikir kami adalah teknisi alat berat yang sudah beberapa hari mangkrak di bedeng. Jadilah berita tentang kami sampai ke penduduk dan juga mereka yang menjadi pekerja proyek lapangan terbang. Saat menjelang mendarat pun sudah banyak pekerja yang mendekat, walau harus menunduk akibat angin kitiran besar yang bertenaga kuat.
Paling depan adalah Amos Dimpau, pimpinan proyek yang menghampiri pintu heli mengambili barang proyek dan logisitik makanan buat pekerja. Diikuti oleh Agus Dimpau wakilnya, orang asal yang sama dengan Amos yakni Ombani , lalu pekerja asal Toraja,Jusuf Lobo Pilipus Bukaleng kepala kampung Ainggogin, lokasi di mana bedeng berada. Jan Abugau tokoh masyarakat Ainggogoin-Anggigi, Agus Janampa bagian water sanitasi untuk pemukiman, asal kampung hulu tapi sementara bekerja di bedeng proyek yang tanggungjawab dengan barang barang kebutuhan pembangunan dan kebutuhan makanan pekerja.
Mereka yang bekerja itu sedang sibuk dengan pengerjaan terminal landasan pacu pesawat propeler. Seluruh pekerja tinggal di bedeng yang kira-kira 500meter dari helipad. Mereka adalah pekerja untuk proyek dari kebijakan perusahaan pertambangan.