Duduk di sebelah saya, nenek usia 89 tahun, beranak tujuh,
bercucu tiga belas, bercicit enam. Pendengarannya sudah jauh berkurang, matanya
rabun. Suaminya sudah lama pergi ke alam lain. Setiap orang yang bercerita
harus dengan suara keras, cenderung teriak supaya dia paham apa yang
diceritakan. Pernah satu kali dia diberi hadiah alat dengar dari anaknya.
Tetapi lupa taro di mana, sampai sekarang nggak ketemu.
Hampir tak percaya ketika dia cerita, masa mudanya adalah guru dansa. “dansa pergaulan” katanya. Ia mengajarkan dasar
dasar berdansa bagi para perwira agar sewaktu waktu para perwira itu bergaul di dunia internasional lebih luwes, tidak kaku, tidak canggung, kalau bisa memukau penontonnya. Dia juga pernah mengajar di sekolah dasar dan sekolah
lanjutan di daerah Jawa Timur. Bahkan pernah mengajar di pulau Bawean, di utara
pulau Madura. “Bawean itu semuanya orang Madura” katanya.
Bekal pengetahuan dan praktik tari semasa kanak kanak menjadikannya
lebih mudah belajar tarian “barat” . Ia ingat Orangtuanya mengharuskan semua
anak perempuan belajar tari. Waktu itu yang diajari adalah tari jawa. Dia lupa
tari apa saja yang diajarkan. Anggap saja, tarian jawa yang lazim dikenal pada
saat itu. Tetapi belajar tari saat itu dianggap menyenangkan, karena rumahnya
besar, halamannya besar, ada balai pertemuan di situ yang waktu senggang
dipakai cukup untuk banyak orang bersama menari. Maklum saat itu bapaknya
adalah pejabat desa di daerah Panggul, desa antara Trenggalek dan Pacitan di
Jawa Timur.
Beralih ke guru tari,
bergabung dengan para penari se surabaya yang waktu itu memberi pelatihan buat
perwira angkatan laut dan darat atas ajakan sepupunya. Abang sepupunya adalah salah seorang pentolan
perwira angkatan darat. Dari dia ia bisa bergabung. Kemudian ditempatkan
mengajar di lingkungan perwira angkatan laut. Ia lebih senang di lingkungan
angkatan laut karena guru guru dansa di situ bukan saja orang Indonesia.
Seingat dia ada juga yang dari Filipina, ketika suaminya sekolah di Indonesia.
Orang Indonesia juga etnis Jawa, Cina, Arab, Sumatra, Sulawesi Utara. Pendek
cerita, lebih go internasional. Bahasa pergaulannya juga bahasa belanda campur
aduk dengan bahasa pergaulan di situ.
Panti Perwira Angkatan Laut adalah salah satu tempatnya
mengajar, tempatnya di dekat Tugu Pahlawan Surabaya. Tempatnya yang lain di
dekat Balai Kota Surabaya. Di situ seiingatnya adalah tempat perkumpulan
Angkatan Darat. Selepas mengajar biasanya diantar oleh perwira perwira yang
diajarnya. Dari angkatan darat maupun laut. Mungkin karena permintaan dari
angkatan laut lebih sering, sehingga waktunya lebih banyak di Panti perwira. Katanya
ketika itu perwira angkatan laut banyak yang tur asia dan dunia, bagian dari
diplomasi negara yang baru saja merdeka dan dianggap perlu berkenalan.
Pernah diceritakan olehnya bahwa di Singapura, tempat berkumpulnya
angkatan laut dari berbagai negara, Indonesia menunjukan tidak malu maluin
dalam pergaulan internasional. Jenis dansa Waltz, quick step seperti Cha cha,
Rumba, Samba sudah biasa bagi para perwira itu. Katanya para perempuan
Singapore juga kagum tidak mengira Indonesia mampu dansa. Mungkin saja saat itu
gambaran tentang Indonesia adalah gambaran bangsa yang tradisional, anti barat.
Ternyata pamer kekuatan bagi sebuah negara bukan saja
kekuatan militer, tetapi juga bagaimana bergaul secara internasional. Bekal kemampuan berdansa dalam pergaulan penting. Adakalaya karena tidak mampu, menjadi malu, menjadi rendah diri, lebih senang mengelompok bergaul dengan sesama, memilih tidak membaur.
"Dalam kesempatan resmi, kita harus menampilkan budaya spesifik
yang membedakan dengan bangsa lain. Itu penting, Seperti Impola, vocal grup Batak tur keliling dunia, menampilkan lagu lagu Indonesia, budaya Bali, Jawa, Sumatra, dan aneka ragam budaya etnis lainnya di pulau pulau Nusantara. Tetapi dalam kesempatan tak resmi, kita juga harus tampil menunjukkan
tidak ketinggalan dalam memahami tata cara bergaul di dunia internasional."
Saya ceritakan pada nenek yang duduk di sebelah saya,
boleh jadi mengajar dansa adalah sumbangannya bagi perjuangan Indonesia di dunia internasional. Dia
hanya tersenyum, mungkin juga mengenang masa mudanya yang masih lincah bergerak
ke sana kemari di ball room panti perwira di Surabaya.
No comments:
Post a Comment