Konon berita kedatangannya cepat tersebar. Sehingga dalam sekejap, sanak saudara berdatangan ke rumah itu. Rumah mendadak penuh orang. Rincian cerita pertemuan tak ada. Tetapi bisa membayangkan pertemuan antara anak yang tak ada kabar beritanya, yang dianggap tak akan kembali lagi, dengan orangtua serta pertalian keluarga yang lain. Kebahagiaan keluarga Medan dan Pematang Siantar adalah menemukan anaknya kembali.
Beberapa tahun kemudian dia kembali lagi ke Medan. Menjabat Komandan Pangkalan Angkatan Laut BelawanTahun 1955. Saat itu sudah menikah punya dua anak perempuan. Isteri dan dua anaknya diperkenalkan pada keluarga besarnya. Keluarga sudah tahu dia sudah menikah dan sudah punya anak melalui surat menyurat. Tetapi cerita keluarga baru itu pasti menjadi agenda utama kumpul keluarga besar. Apakah kisah pertemuan dia dan isterinya diceritakan pada saat temu keluarga, tidak tahu.
Tinggal di Belawan, tapi sering kunjungi orangtua di Medan, atau sebaliknya. Entah gagasan dari orangtuanya, atau dari dirinya, ada rencana melaksanakan perkawinannya secara adat batak. Karena isterinya boru jawa, maka mesti dijadikan boru salah satu marga di Batak, biasanya dari marga keluarga ibunya. Sepakat dan setuju isteri akan adati menjadi boru siahaan dijadikan anak perempuan abang ibunya, atau anak perempuan tulangnya yang tinggal di Kabanjahe.
Perkawinan adat diadakan di Kabanjahe. Di situ hadir pihak se marga, pihak Boru dan pihak hula hula yang menjalankan peran secara fungsional. Prinsip dalihan na tolu dimanapun tetap berlaku untuk mengikat tali perkawinan. Demikian pula acara perkawinan nya. Tidak ada gambaran perkawinan adat saat itu. Katanya dilakukan secara sederhana. Seperti apa sederhana itu, tidak ada ceritanya. Tapi mengingat dia itu super hemat. Jadi kalau dibilang sederhana, pasti sederhana dalam arti sesungguhnya.
Sepanjang karir di angkatan laut, dia lebih banyak di luar rumah. Tugas patroli dari pulau ke pulau. Dia di Makassar saat Trikora, setelah 65 dikaryakan di perusahaan pelayaran. Tidak melanjutkan di Angkatan Laut, malah pilih pensiun dini tahun 1970.
Dia pensiun lebih banyak di rumah, di Jakarta. Menjadi bapak rumahtangga, mengurusi anak anak untuk disiplin buat pekerjaan rumah, antar jemput anak perempuannya sekolah. Urusan mulai dari air, listrik telepon diatur dengan cara yang ketat, hemat.
Setiap malam nonton televisi, terutama acara sepakbola sampai dini hari. Membaca buku biografi, koran, majalah. Apa saja yang bisa dibaca. Dia memang kutu buku. Keponakannya asal Semarang pernah cerita "om itu baca koran dari pagi sampai siang, dia membaca semua isi koran. Iklan pun dibaca satu per satu."
Gaya hidupnya berubah, dulu pendiam tetapi sejak pensiun malahan banyak ngomong. Tidak ada yang luput dari ngobrol 1, dari tukang sayur, becak, parkir, kawan angkatan laut, dengan adik adiknya, ipar iparnya, anak anaknya ditelpon sekedar mau ngobrol. Di mana saja, asal ada kesempatan dia ngobrol.
Main biola malam hari di teras rumah. Nyanyi lagu seriosa di kamar mandi. Dengar musik klasik dari plaat dan kaset kiriman kawan kawannya dari luar negeri. Nyopir adalah hobinya. Jalan jalan ke jawa, Jogja, Solo, Surabaya dan daerah di Jawa lainnya, kunjungi kawan sekolah, kerja, gereja dan lainnya dengan mengendarai mobil sendiri atau ditemani montir.
Tidak pernah lagi ke Sumatra. Sewaktu ditanya kenapa tidak mau berkunjung ke tempat lahirnya di Pematang Siantar? Jawabnya nggak punya duit. Memang biaya hidup keluarga hanya dari gaji pensiun. Dia menyibukan diri menjadi pengurus Dewan Paroki Gereja. Mengantar isterinya yang aktif menjadi pengurus Wanita Katolik di Jakarta.
Hanya satu yang tak berubah dari dirinya. Ia selalu memanggil isterinya schaat (panggilan sayang dalam bahasa Belanda) Panggilan itu setiap saat, setiap momen diucapkan sampai akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment