Pemuda fam Janampa, pewarta Injil
yang bertugas di Kampung Jagamin, berteriak keras lewat tengah malam , keluar
dari Itongoi milik fam Omaleng, kemudian melanjutkan teriakannya di tengah
lapangan depan Itongoi. Kepala Kampung yang se rumah dengan kami mengatakan
bahwa ibu yang sakit itu telah meninggal dunia.
Sejak dua minggu sebelumnya, perempuan
yang sakit itu hendak dibawa ke Rumah Sakit di Banti, tapi burung besi
(helikopter) itu tak kunjung menjemput. Mengirim kurir berita ke rumah sakit
sudah dilakukan melalui kerabat yang tinggal dekat rumah sakit. Tetapi tak ada
helikopter datang. Berbagai teori kenapa helikopter tak datang bermunculan di
antara elite kampung.
“Cuaca buruk jadi helikopter sulit
terbang dan sulit mendarat.”
“Tidak ada rujukan dari klinik
Aroanop, jadi rumah sakit tidak melayani.”
“Penyakit pasien itu tidak
mungkin disembuhkan.. tidak guna dijemput.”
Apapun teori di antara mereka faktanya helikopter tidak
datang, dan pasien meninggal.
Satu minggu Perempuan Omaleng itu
masih belum sembuh. Kondisinya makin tambah parah. Keponakannya memindahkan dari
rumahnya ke Itongoi Omaleng di ujung kampung.
“Menempatkan pasien di Itongoi lebih
baik” kata keponakannya sembari
menggandeng perempuan itu berjalan ke itongoi.
Orang sakit parah biasanya dibawa
ke itongoi karena pasien bisa dijaga
secara bergiliran oleh kerabat-kerabat dekatnya. Selain itu di dalam itongoi selalu
hangat karena di tengah ada perapian yang setiap kali dinyalakan oleh penjaga
yang bergiliran.
“Penyakit perempuan Omaleng itu tidak
ada obatnya.” kata Kepala Kampung
“Ia kena penyakit menular yang sulit
untuk disembuhkan.” Sambung Kepala Kampung.
Lalu bercerita Kepala Kampung
itu. Perempuan itu kena penyakit menular seks ketika di Timika (kota paling
ramai di Kabupaten Mimika). Ketika penyakitnya semakin bertambah parah, perempuan
itu semakin tidak nyaman berada di Timika. Di kota itu ia tidak ada yang
merawat. Suaminya sudah meninggal, sementara adik laki-lakinya terlalu sibuk
dengan bisnis konstruksi. Ia minta kepada adik laki-lakinya agar dia bisa pulang
ke kampungnya di Kepala Air, di lembah Aroanop. Adiknya kemudian mendaftar agar
mendapat prioritas dari rumah sakit untuk memulangkan pasien ke rumahnya di
kampung. Sampailah perempuan itu di kampungnya lalu dirawat oleh sanak keluarga
di rumahnya.
Perempuan yang meninggal itu adalah
adik perempuan dari isteri Kepala Kampung Jagamin. Dia janda. Berasal dari fam Janampa
yang kampung aslinya di Wa-Bera, kira-kira satu jam jalan kaki dari kampung
Jagamin. Suami perempuan itu sudah meninggal 3 tahun lalu. Menurut Kepala Desa
penyakit suami-isteri itu sama, yakni “penyakit besar” atau “sakit besar” atau
yang biasa dilafalkan oleh penduduk setempat sebagai “takis berat”. Suami
perempuan fam Omaleng, mempunyai tali kerabat keturunan dengan Kepala Kampung.
Suaminya adalah sepupu tingkat pertama
dengan Kepala Desa. Bapak mereka kakak beradik kandung.
Hanya tiga hari berada di itongoi,
akhirnya perempuan itu meninggal dunia. Tidak ada keterangan resmi dari dokter
atau petugas kesehatan yang menyatakan perempuan itu sudah meninggal. Tapi
sudah dipastikan oleh kerabat-kerabatnya yang menunggui siang-malam bahwa ia meninggal.
Menjelang meninggal, badannya sudah membau, luka-luka yang ada di perutnya
menganga ditutupi dengan kain seadanya.
No comments:
Post a Comment