Monday, 13 May 2019

Kritis di Kampung terpencil




Pemuda fam Janampa, pewarta Injil yang bertugas di Kampung Jagamin, berteriak keras lewat tengah malam , keluar dari Itongoi milik fam Omaleng, kemudian melanjutkan teriakannya di tengah lapangan depan Itongoi. Kepala Kampung yang se rumah dengan kami mengatakan bahwa ibu yang sakit itu telah meninggal dunia. 


Sejak dua minggu sebelumnya, perempuan yang sakit itu hendak dibawa ke Rumah Sakit di Banti, tapi burung besi (helikopter) itu tak kunjung menjemput. Mengirim kurir berita ke rumah sakit sudah dilakukan melalui kerabat yang tinggal dekat rumah sakit. Tetapi tak ada helikopter datang. Berbagai teori kenapa helikopter tak datang bermunculan di antara elite kampung.


“Cuaca buruk jadi helikopter sulit terbang dan sulit mendarat.”


“Tidak ada rujukan dari klinik Aroanop, jadi rumah sakit tidak melayani.”


“Penyakit pasien itu tidak mungkin disembuhkan.. tidak guna dijemput.”


Apapun teori  di antara mereka faktanya helikopter tidak datang, dan pasien meninggal.

Satu minggu Perempuan Omaleng itu masih belum sembuh. Kondisinya makin tambah parah. Keponakannya memindahkan dari rumahnya ke Itongoi Omaleng di ujung kampung.


“Menempatkan pasien di Itongoi lebih baik” kata keponakannya  sembari menggandeng perempuan itu berjalan ke itongoi.


Orang sakit parah biasanya dibawa ke itongoi  karena pasien bisa dijaga secara bergiliran oleh kerabat-kerabat dekatnya. Selain itu di dalam itongoi selalu hangat karena di tengah ada perapian yang setiap kali dinyalakan oleh penjaga yang bergiliran.


“Penyakit perempuan Omaleng itu tidak ada obatnya.” kata Kepala Kampung


“Ia kena penyakit menular yang sulit untuk disembuhkan.” Sambung Kepala Kampung.


Lalu bercerita Kepala Kampung itu. Perempuan itu kena penyakit menular seks ketika di Timika (kota paling ramai di Kabupaten Mimika). Ketika penyakitnya semakin bertambah parah, perempuan itu semakin tidak nyaman berada di Timika. Di kota itu ia tidak ada yang merawat. Suaminya sudah meninggal, sementara adik laki-lakinya terlalu sibuk dengan bisnis konstruksi. Ia minta kepada adik laki-lakinya agar dia bisa pulang ke kampungnya di Kepala Air, di lembah Aroanop. Adiknya kemudian mendaftar agar mendapat prioritas dari rumah sakit untuk memulangkan pasien ke rumahnya di kampung. Sampailah perempuan itu di kampungnya lalu dirawat oleh sanak keluarga di rumahnya.


Perempuan yang meninggal itu adalah adik perempuan dari isteri Kepala Kampung Jagamin. Dia janda. Berasal dari fam Janampa yang kampung aslinya di Wa-Bera, kira-kira satu jam jalan kaki dari kampung Jagamin. Suami perempuan itu sudah meninggal 3 tahun lalu. Menurut Kepala Desa penyakit suami-isteri itu sama, yakni “penyakit besar” atau “sakit besar” atau yang biasa dilafalkan oleh penduduk setempat sebagai “takis berat”. Suami perempuan fam Omaleng, mempunyai tali kerabat keturunan dengan Kepala Kampung. Suaminya  adalah sepupu tingkat pertama dengan Kepala Desa. Bapak mereka kakak beradik kandung.


Hanya tiga hari berada di itongoi, akhirnya perempuan itu meninggal dunia. Tidak ada keterangan resmi dari dokter atau petugas kesehatan yang menyatakan perempuan itu sudah meninggal. Tapi sudah dipastikan oleh kerabat-kerabatnya yang menunggui siang-malam bahwa ia meninggal. Menjelang meninggal, badannya sudah membau, luka-luka yang ada di perutnya menganga ditutupi dengan kain seadanya.

Kesepakatan penentuan penguburan (bagian II)




Menentukan waktu menguburkan jenazah perlu proses panjang  Pemuka agama (Kingmi) ikut memberi saran. Sarannya adalah secepatnya jenazah itu dikubur. 

"Jangan membebani kerabat yang berduka menyediakan makanan terus menerus"

Ada semacam kewajiban bagi tuan rumah menyediakan makanan bagi kerabat beda kampung selama berada di situ. Saat itu persediaan makananDua perwakilan dari Jangkup adalah pengurus dan pendeta agama Kingmi yang menghendaki agar proses penguburan itu lebih cepat lebih baik. Kata mereka jangan berlarut-larut sehingga tuan rumah dibebani menyediakan makanan terus menerus. Salah seorang perwakilan Jangkup itu lebih khusus lagi mengatakan bahwa dia tidak dapat bolos kerja. Kalau sampai lebih dari dua hari, dia harus minta izin dan potong gaji. Karenanya ia memohon agar hari ini juga proses penguburan dilaksanakan.
Pendeta Jangkup juga menjelaskan bahwa saat ini persediaan makanan di kebun semakin menipis. Kebun kebun banyak yang gagal panen karena longsor. Sementara mereka tidak dapat beli beras ke Timika karena tidak ada angkutan udara. Ia menyarankan kepada pihak keluarga yang kedukaan, Omaleng, supaya tidak perlu menyiapkan makanan berlebihan. Pihak Jangkup sadar bahwa makanan saat ini menipis. Sebab, Pendeta itu mendengar selentingan bahwa Omaleng merasa malu tidak bisa menyediakan makanan besar yang bergengsi. 
Alasan dari pihak Jangkup rupanya tidak diterima oleh pihak Omaleng. Mereka mengatakan penguburan dilakukan setelah kedatangan anak dan adik almarhum. Juru bicara tuan rumah, Omaleng  memutuskan bahwa penguburan dilakukan besok. Pernyataan itu mengundang reaksi keras dari Pendeta Jangkup. Dia marah dan mau pulang saja ke Baluni. Besok dia tidak mau memimpin upacara penguburan. Baginya acara berlarut larut membuat banyak orang jadi terhambat kegiatan berkebunnya. Segera setelah diputuskan acara akan dibuat besok, pendeta itu pulang ke Baluni. Faktanya Pendeta datang lagi dan memimpin upacara penguburan.
Secara pribadi, pendeta Jangkup mengatakan kepada kami bahwa almarhum tidak suka kedatangan adiknya. Sejak almarhum berada di Timika, adiknya selalu minta uang kepadanya sampai uangnya habis. Alasannya untuk keperluan bisnis, tetapi uang itu tidak pernah dikembalikan. Adiknya tidak pernah membantu dia selama hidup, tetapi justru sebaliknya. Karenanya ketika dia sakit keras, almarhum lebih suka kembali ke kampung daripada di Timika. Saat menjelang kematiannya, almarhum menolak bertemu dengan adiknya. 
Pendeta Jangkup tahu bahwa almarhum tidak menyukai adiknya. Makanya ketika perempuan itu meninggal pendeta mengusulkan segera dikuburkan tanpa perlu menunggu adik laki-lakinya. Akan tetapi Pendeta juga tahu bahwa almarhum ingin sekali ketemu dengan anak perempuannya. Sayangnya keinginan itu tidak terpenuhi selagi dia hidup.
Bukan saja pendeta Jangkup yang mengetahui persoalan konflik kakak beradik itu, tetapi keluarga dekat juga mengetahui. Adik almarhum dikenal pemabuk, putus sekolah, bisnisnya tidak maju, malahan cenderung hanya menghamburkan uang. Beberapa orang di Jagamin mengatakan bahwa adik almarhum bergaya seperti orang kaya saja selama di Timika. Kemampuannya hanya minta uang ke kerabat yang bekerja sebagai karyawan perusahaan atau kerabat yang menjadi pengusaha. Itu gambaran adik almarhum di mata banyak kerabat dekatnya. 
Walaupun banyak orang tidak suka dengan adik almarhum dan karenanya berharap perempuan itu segera dikubur, namun, keluarga dekat tetap berharap bahwa adik perempuan itu bisa datang, bahkan di saat almarhum masih sakit dan sudah tak berdaya. Isteri Kepala kampung Jagamin yang juga kakak kandung almarhum adalah orang yang gigih mengatakan bahwa penguburan harus dilakukan setelah adiknya yang juga adik almarhum sampai di kampung ini. Penundaan penguburan, salah satunya karena kuatnya pengaruh kakak perempuan tertua almarhum yakni isteri Kepala Kampung. Namun adiknya tidak kunjung datang sampai proses penguburan berlangsung. Adiknya baru datang setelah perempuan itu dikubur. 
Dalam pidatonya, pendeta Jangkup mengatakan agar Tuhan memberikedamaian dan ketenangan kepada ibu yang meninggal itu. Janganlah ia menjadi dendam kepada saudara laki-lakinya walaupun telah membuatnya sengsara.
Setelah penguburan selesai, kembali kegiatan Kalawin dilakukan, kerabat-kerabat berkumpul membahas soal hutang piutang dari almarhum.  Pembahasan ini penting Ini supaya segala hutang si meninggal dilunasi oleh kerabat dekatnya. Setiap kerabat yang ada di situ menceritakan apa saja yang dihutangi oleh almarhum dan apa saja yang mesti dibayar kepada almarhum. Katanya ini berkaitan dengan pelunasan hutang akan membawa jalan roh menjadi lancar ke alam surga.

Ritual Penguburan

Suara deru helicopter terdengar mendekat kampong itu. Itu yang ditunggu-tunggu. Sekejap seluruh penghuni kampong keluar dari rumah, gabung dengan mereka yang masih di lapangan.

“pastilah itu adik almarhum yang dating”  serentak kerumunan orang di lapangan terbuka itu berteriak.

“semoga saja. Dan kita segera menyiapkan acara penguburan. Keluarkan jenazah dari rumah itongoi (honai dalam bahasa Dani).” Perintah petinggi kampong.

“jangan dulu. Pastikan Helikopter mendarat dan memang betul adiknya yang dating.” Kata yang lain.

Mereka semua memandang ke atas, mengira-ngira tepatnya posisi helicopter di atas mereka. Kabut tebal menghalangi pengelihatan. Harap cemas ada keajaiban, kabut tersibak, benda berupa helicopter mendekat di atas mereka.  Itu hanya harapan. Kenyataannya, tak terjadi

Suara helicopter yang masih menderu deru di atas lapangan makin lama makin menjauh, dan selang beberapa waktu tak lagi terdengar. Sudah dua kali helicopter itu dating dan tanpa mendarat kemudian pergi. Sepertinya tak mungkin ada heli mendarat di cuaca kabut yang tebal di ketinggian 2000 meter.
Menunggu tanpa kepastian membuat  fam Jangkup  menghendaki  penguburan segera.  Lebih cepat lebih baik. Acara berlarut larut, beban tuan rumah makin berat menyediakan makanan, apalagi Beberapa pihak  mengatakan tidak dapat bolos kerja terus menerus. Harus izin dan pastinya potong gaji. Jadi berharap tuan rumah melaksanakan hari ini. 

Desakan terus menerus, pidato Pendeta yang berulang ulang tentang  makanan semakin menipis. Kebun-kebun gagal panen karena longsor. Sementara tidak ada suplai beras dari Timika karena tidak ada angkutan udara.

Negosiasi alot berbagai argumen silih berganti diungkap dua belah pihal,  akhirnya tuan rumah,  fam Omaleng, setuju. Segera memutuskan melakukan penguburan dengan atau tanpa adik almarhum. Pihaknya merasa bersalah bilamana acara mengubur berlarut-larut membuat banyak orang jadi terhambat kegiatan berkebun, kerja proyek, lainnya.

Peti segera disiapkan, para pemuda menggotong jenazah keluar dari Itongoi, menyelimuti kain, memasukan ke peti, lalu dilaksanakan kebaktian dipimpin Pendeta asal fam Jangkup. Tutup peti, lalu dipanggul dibawa ke pemakaman,  disertai tangisan dan senandung kerabat perempuan yang duduk bersila di lapangan.  Hanya para pemuda dan beberapa kerabat dekat yang mengantarkan ke kuburan. Mereka—pemuda  berbadan tegap dan kekar—yang dianggap mampu memanggul peti sekaligus memasukan peti ke lubang kemudian menimbun lubang sampai membentuk gundukan kuburan. Sementara para orangtua, tokoh, dan juru bicara fam dan kerabat-kerabat yang lainnya menunggu di lapangan duduk atau berdiri mematung, bercakap-cakap dengan suara rendah sambil menunggu para remaja dan pemuda kembali.

Tak lama jenazah dikubur dan para pemuda satu per satu sudah kembali ke lapangan, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, matahari bersinar, deru mesin helikopter kembali terdengar. Sebuah helikopter mendarat di kampong itu, membawa adik dan anak perempuan almarhum.

Friday, 10 May 2019

Penguburan Perempuan

Upacara penguburan perempuan fam Omaleng, tidak seperti bayangan kami. Bakalan ada laki perempuan dengan muka coreng moreng, menari sana sani, berteriak-teriak seperti memanggil roh leluhur. Tidak. Tidak demikian. Tidak seperti di foto-foto, filem, video tentang masyarakat primitive yang pernah dibuat. Semua berlangsung biasa saja, seperti layaknya sebuah peristiwa kedukaan. Hal yang paling nampak adalah tangisan, ungkapan perasaan sedih dari kerabat-kerabat almarhum terutama yang mengenalnya secara dekat. Hal yang menarik bagi saya adalah ketika menentukan waktu penguburan.

Penentuan hari penguburan melalui sebuah proses tawar menawar yang ketat. Walaupun fam Omaleng adalah tuan rumah dalam peristiwa ritual kematian dan penguburan, tetapi omaleng tidak menentukan seluruh proses itu. Omaleng harus menyampaikan rencananya dan minta pendapat kepada kelompok Jangkup dan kelompok Jenampa atas rencana itu. Kenapa? Perempuan yang meninggal itu adalah fam Jenampa ketika masih gadis. Lalu kenapa juga dibicarakan di depan fam Jangkup? Sebab ibu dari perempuan yang meninggal itu fam Jangkup.

Rencana itu disampaikan di depan semua kerabat almarhum yang bertalian secara keturunan dan perkawinan.  dalam hitungan jam setidaknya semua perwakilan kerabat tali temali dari keturunan dan perkawinan sudah berkumpul di lapangan untuk menentukan hari penguburan. Seorang setengah baya fam Jangkup dan pendeta yang juga fam Jangkup berpidato secara bergantian di lapangan di depan Itongoi, disaksikan oleh seluruh kerabat yang membentuk setengah lingkaran. Dua orang tokoh senior Jangkup berharap agar jenazah segera dikubur. “kami dari pihak Jangkup sudah diberitahu sejak almarhum sakit, kami sudah melihat keadaan almarhum, kami sudah berdoa ketika almarhum sakit tidur di Itongoi. Karenanya kami berharap agar almarhum segera dikubur tanpa perlu menunggu sehari lagi. Demikian inti pidato yang dinyatakan oleh pihak Jangkup. Hal lain dinyatakan juga oleh mereka berdua bahwa semakin cepat dikubur maka semua kerabat dapat langsung kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.

Thursday, 9 May 2019

Kematian dan Upacara Penguburan Perempuan Omaleng


Kematian dan Upacara Penguburan Perempuan Omaleng

Tito Panggabean

Pemuda fam Janampa, pewarta Injil yang bertugas di Kampung Jagamin, berteriak keras lewat tengah malam , keluar dari Itongoi milik fam Omaleng, kemudian melanjutkan teriakannya di tengah lapangan depan Itongoi. Saya bersama anggota Tim Atma Jaya yang lain terbangun , lalu bertanya kepada bapak Kepala Kampung, apa gerangan yang terjadi. Ia mengatakan bahwa ibu yang sakit itu telah meninggal dunia.
Sejak dua minggu sebelumnya, perempuan yang sakit itu menunggu jemputan helikopter Rumah Sakit di Banti, namun tak kunjung tiba. Usaha untuk menghubungi pihak Rumahsakit sudah dilakukan baik langsung maupun melalui pihak kerabat yang bermukim dekat rumahsakit. Tetap saja tak ada Helikopter. Berbagai teori tentang alasan kenapa Helikopter tak datang bermunculan di benak kerabat perempuan yang sakit itu. Ada yang bilang bahwa cuaca buruk menyebabkan helikopter tak berani mengudara. Orang lain mengatakan karena tidak ada permintaan resmi dari klinik Aroanop maka rumahsakit tidak mau melayani. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penyakit yang diderita pasien itu sudah tidak mungkin disembuhkan, karenanya tidak ada gunanya dijemput. Apapun teori  yang berkembang siapapun yang bersitegang mempertahankan teorinya di situ, faktanya helikopter tidak datang, dan pasien sudah meninggal.
Peristiwa sakit yang berakhir dengan kematian di sebuah kampung yang terpencil di lembah Aroanop, Kesulitan akses transportasi dan fasilitas kesehatan dideskripsikan dalam tulisan ini. Muatan yang utama dalam tulisan ini adalah pada proses upacara, sistem kepercayaan, solidaritas dan hubungan-hubungan kekerabatan dan kekuatan  atas peristiwa tersebut.

Sakit dan menjelang kematian

Setelah satu minggu Perempuan Omaleng belum sembuh, malahan kondisinya bertambah parah, kemudian oleh beberapa anak keponakannya ia dibawa dari rumahnya ke honai Omaleng di ujung kampung. Dalam bahasa Amungme Honai dikenal dengan nama Itongoi. Di situ lebih baik, kata beberapa keponakannya  sembari menggandeng perempuan itu berjalan ke Itongoi. Orang sakit parah biasanya dibawa ke Itongoi  karena pasien bisa dijaga secara bergiliran oleh kerabat-kerabat dekatnya  . Selain itu di dalam Itongoi selalu hangat karena di tengah ada perapian yang setiap kali dinyalakan oleh penjaga yang bergiliran[1].
Penyakit perempuan itu tidak ada obatnya, demikian kata Kepala Kampung. Ia kena penyakit menular yang sulit untuk disembuhkan. Menurut cerita Kepala Kampung, perempuan itu terinfeksi ketika berada di Timika[2]. Ketika penyakitnya semakin bertambah parah, perempuan itu semakin tidak nyaman berada di Timika. Di kota itu ia tidak ada yang merawat. Suaminya sudah meninggal, sementara adik laki-lakinya terlalu sibuk dengan bisnis konstruksi. Ia minta kepada adik laki-lakinya agar dia bisa pulang ke kampungnya di Kepala Air[3]. Adiknya kemudian mendaftar agar mendapat prioritas dari rumahsakit untuk memulangkan pasien ke rumahnya di kampung. Sampailah perempuan itu di kampungnya lalu dirawat oleh sanak keluarga di rumahnya.
Perempuan yang meninggal itu adalah adik perempuan dari isteri Kepala Kampung Jagamin. Dia berasal dari fam janampa yang kampung aslinya di Wabbera, kira-kira satu jam jalan kaki dari kampung Jagamin. Suami perempuan yang meninggal itu sudah meninggal 3 tahun lalu. Menurut Kepala Desa penyakit suami-isteri itu sama, yakni penyakit menular[4]. Suami perempuan yang meninggal itu berasal dari Fam Omaleng. Suami dari almarhum mempunyai tali kerabat keturunan dengan Kepala kampung. Suaminya  adalah sepupu tingkat pertama dengan Kepala Desa. Bapak mereka kakak beradik kandung.
Hanya tiga hari berada di Itongoi, akhirnya perempuan itu meninggal dunia. Tidak ada keterangan resmi dari dokter atau petugas kesehatan yang menyatakan perempuan itu sudah meninggal. Tapi sudah dipastikan oleh kerabat-kerabatnya yang menunggui siang-malam bahwa ia meninggal. Menurut kerabat-kerabat yang menunggui almarhum, menjelang meninggal, badannya sudah membau, luka-luka yang ada di perutnya menganga dan menyebar bau busuk
Saat diumumkan menjelang pagi bahwa perempuan Omaleng itu meninggal, lalu kerabat-kerabatnya berpencar menyiarkan berita. Para remaja dan pemuda menyebar mengabarkan berita duka ke wilayah Muara (Ainggogin,Anggigi dan Ombani), perempuan-perempuan dari fam Omaleng yang menikah dengan Beanal, Abugau dan Bukaleng harus dikabari. Kebetulan saja mereka merupakan penduduk di 3 kampung di wilayah Muara itu yang jaraknya tidak terlampau jauh dari kampung Omaleng. Kalau ada kerabat laki-laki atau perempuan Omaleng yang bermukim di Timika atau Tembagapura berarti mereka harus dikabari misalnya para adik, laki-laki dan perempuan -perempuan Kepada Desa, adik laki-laki dan perempuan isteri  Kepala Desa yakni fam Janampa yang migran dan menetap di Banti dan Timika. Memang dalam sehari kabar kematian itu sudah didengar oleh seluruh kerabat perempuan yang meninggal itu. Mereka yang jauh mendapat kabar soal kematian itu melalui telepon selular[5]
Remaja dan pemuda Omaleng yang lainnya memberitakan ke Baluni dan Wabbera. Baluni adalah kampung ibu almarhum yakni fam Jangkup, sementara Wabbera adalah kampung bapak almarhum. Selain pemberitaan pada kampung-kampung yang berdekatan, Omaleng juga memberi kabar kerabat yang lain yang kait mengkait dari perkawinan dan keturunan yang tinggal di Tembagapura, bahkan yang berada di perantauan di luar Kabupaten ini. Beberapa orang naik ke bukit untuk mendapat sinyal HP, lalu mengirim kabar ke kerabat-kerabatnya.
Perempuan yang meninggal itu adalah isteri kelompok Omaleng, maka ia menjadi bagian dari kelompok itu walaupun ikatan dengan kelompok fam pihak perempuan tetap ada dan penting. Dalam prinsip keturunan patrilineal[6], keluarga Omaleng menjadi Tuan Rumah dalam acara ritual kematian perempuan fam janampa itu.Tuan Rumah diartikan bahwa fam atau kelompok Omaleng harus bertanggungjawab secara adat untuk mengurus segala keperluan penguburan.Karena itu Omaleng adalah kelompok yang paling sibuk. Ia mengerahkan kerabat-kerabat baik seketurunan maupun perkawinan. Kerabat perempuan omaleng yang sudah menikah menjadi pekerja bersama suaminya.
Para remaja dan pemuda membawa kayu bakar dari bukit untuk menghangatkan itongoi tempat perempuan yang meninggal berada. Sementara remaja dan pemuda yang lainnya membuat peti mati. Peti mati itu dibuat dari bahan serba terbatas; papan dan tripleks sisa pembangunan gereja yang ada di rumah Kepala Kampung.Pemimpin muda yang diharuskan membuat peti mati adalah pewarta injil yang malam sebelumnya berteriak lantang mengumumkan kematian perempuan Janampa. Ia juga fam Janampa, karenanya ia mempunyai ikatan tanggungjawab atas kelancaran acara penguburan. Pemuda Janampa itu juga menjadi gembala, istilah untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan berpendidikan agama Kristen Kingmi, ia biasa memimpin kebaktian bilamana pendeta tidak hadir, Tidak saja statusnya yang demikian, tetapi pewarta Injil itu berasal dari fam Janampa. Fam yang sama dengan almarhum dan juga isteri dari KepalaKampung.
Beberapa pemuda dari fam Omaleng juga ikut membantu. Mereka mencari paku bekas dipakai untuk merapikan peti mati yang diambil dari rumah perempuan Janampa yang tinggal di ujungkampung[7].Dengan berbagai keterbatasan tripleks dan papan, akhirnya peti mati berbahan tripleks dan papan tambal sulam siap dipakai.Peti mati diletakan di lapangan depan Itongoi dalam keadaan terbuka, dan disiapkan setelah upacara kebaktian jenazah akan segera dimasukkan ke peti.
Sementara itu para ibu sejak pagi sudah berangkat ke kebun untuk persiapan masak sayur petatas dan keladi untuk makan bersama. Para lelaki dewasa pergi mencari tebu dari kebun fam Jangkup[8] yang belum menikah, walaupun usianya tak lagi remaja,. untuk para pekerja yang membuat peti dan bawa kayu bakar. Menjelang siang para pekerja itu sudah berada di lapangan dekat dengan Itongoi/Honai.
Para ibu sedang masak sayuran untuk makan bersama. Masak dilakukan di rumah Kepala Kampung, rumah yang paling dekat dengan lapangan dan Itongoi.Para kerabat lelaki dari berbagai tempat sudah ramai berdatangan dan berkumpul di lapangan di depan itongoi. Para kerabat perempuan yang berdatangan langsung ke dapur membantu memasak. Anak-anak bermain di lapangan.
Rencananya anak perempuan dan adik laki-laki almarhum akan datang.Anak perempuan itu sekolah di timika tinggal bersama pamannya yakni adik almarhum. Berita akan kedatangan anak perempuan dan adik almarhum tak menentu. Kabarnya dia akan naik bis ke tembagapura dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki dari Tembagapura ke Jagamin. Kabar lain mengatakan bahwa mereka berdua akan langsung dari Timika ke Jagamin menggunakan helikopter.
Semula, berdasarkan pembicaraan dengan para orangtua dan tokoh senior kampung-kampung, jenazah akan dikuburkan pada waktu hari kematian. Alasannya adalah jenazah sudah mulai menebarkan bau kurang sedap.Namun demikian pihak Omaleng berkeinginan bahwa jenazah dikuburkan keesokan harinya sambil menunggu adik dan anak dari jenazah yang belum sampai Jagamin. Iberanus mewakili keluarga omaleng mengatakan kepada ipar-iparnya bahwa penguburan dilakukan besok pagi. Akhirnya setelah disepakati, diputuskan bahwa penguburan dilakukan besok pagi.
Semua orang di situ berdoa agar cuaca cerah sehingga adik dan anak perempuan almarhum bisa datang esok pagi menggunakan helikopter. Dengan datangnya anak dan adik almarhum maka sesuai rencana upacara penguburan segera dilaksanakan. Siapapun yang tinggal di situ cemas dan tak yakin cuaca esok akan lebih cerah dari hari itu. Cuaca yang selalu mendung sejak sebulan terakhir ini membuat hampir tak ada helikopter melintas di udara wilayah Jagamin. Bahkan, kata Kepala Desa, bahan makanan pokok di beberapa koperasi  di kampung Muara kosong karena tidak ada suplai dari Timika atau Tembagapura.  Kalau mau mengejar upacara penguburan keesokan harinya, maka satu-satunya kendaraan adalah Helikopter. Namun cuaca mendung dan hujan akan menjadi hambatan utama bagi kerabat-kerabat dekat almarhum yang berada di Timika maupun di Tembagapura untuk  segera datang ke kampung ini[9].
Siang sampai dengan malam seluruh kerabat di wilayah Aroanop sudah berdatangan. Keluarga besar Jangkup dari berbagai kampung yang berdekatan sudah datang. Jangkup adalah keluarga pihak Ibu dari almarhum. Mereka menjadi salah satu penentu dalam kesepakatan penguburan. Keluarga besar Jenampa juga demikian. Jenampa adalah keluarga  dari pihak Bapak almarhum. Keluarga Omaleng seluruhnya sudah berada di kampung Jagamin.
Esoknya, cuaca masih tetap mendung, mereka tidak berharap lagi bahwa anak dan adik almarhum bisa datang sebelum jenazah dikubur. Lalu jenazah dimasukkan dalam peti dengan upacara secara Kristen Protestan yang dipimpin pendeta Jangkup. Peti tidak ditutup.  Setelah itu peti dibawa keluar itongoi di letakan di tengah lapangan. Kemudian dilakukan pelepasan jenazah dengan kebaktian. Lalu peti ditutup dan para pemuda membawa peti ke kuburan. Hanya para pemuda dan beberapa kerabat dekat yang mengantarkan ke kuburan. Mereka,pemuda , berbadan tegap dan kekar yang dianggap mampu memanggul peti sekaligus memasukan peti ke lubang kemudian menimbun lubang  sampai membentuk gundukan kuburan. Sementara para orangtua, tokoh dan juru bicara fam dan kerabat-kerabat yang lainnya menunggu di lapangan duduk atau berdiri mematung, bercakap-cakap dengan suara rendah sambil menunggu para remaja dan pemuda kembali.
Tak lama jenazah dikubur dan para pemuda satu per satu sudah kembali ke lapangan, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, matahari bersinar, tak lama deru mesin helikopter terdengar. Sebuah helikopter mendarat di Jagamin, membawa adik dan anak perempuan almarhum. Mereka berdua tidak sempat melihat jenazah, tetapi mereka sudah pasrah. Kedua orang yang ditunggu itu langsung ke kuburan, berdoa untuk almarhum secara pribadi.

Kesepakatan penentuan penguburan

Tidak nampak seperti yang kami bayangkan sebuah upacara penguburan yang penuh dengan orang-orang berpakaian tradisional. Muka-muka yang dicoreng moreng seperti yang kami lihat foto-foto di buku Kal Muller dan Yunus Omabak. Salah satu bab dari buku itu membahas tentang upacara bakar batu secara umum di Lembah Aroanop namun kurang mengkaitkan pada peran fam-fam yang ikut ambil bagian pada acara itu (Muller, Kal dan Yunus Omabak, 2008). Apa yang dideskripsikan melalui foto dan tulisan itu tidak kami temukan pada upacara penguburan perempuan Omaleng. Semua berlangsung biasa saja, seperti layaknya sebuah peristiwa kedukaan. Hal yang paling nampak adalah tangisan, ungkapan perasaan sedih dari kerabat-kerabat almarhum terutama yang mengenalnya secara dekat. Namun ada hal yang penting dalam upacara penguburan, yakni penentuan hari penguburan.
Penentuan hari penguburan melalui sebuah proses tawar menawar yang ketat. Walaupun Omaleng adalah tuan rumah dalam peristiwa ritual kematian dan penguburan, tetapi omaleng tidak menentukan seluruh proses itu. Omaleng harus menyampaikan rencananya dan minta pendapat kepada kelompok Jangkup dan kelompok Jenampa atas rencana itu. Rencana itu disampaikan di depan semua kerabat almarhum yang bertalian secara keturunan dan perkawinan.  dalam hitungan jam setidaknya semua perwakilan kerabat tali temali dari keturunan dan perkawinan sudah berkumpul di lapangan untuk menentukan hari penguburan. Seorang setengah baya fam Jangkup dan pendeta yang juga fam Jangkup berpidato secara bergantian di lapangan di depan Itongoi, disaksikan oleh seluruh kerabat yang membentuk setengah lingkaran. Dua orang tokoh senior Jangkup berharap agar jenazah segera dikubur. “kami dari pihak Jangkup sudah diberitahu sejak almarhum sakit, kami sudah melihat keadaan almarhum, kami sudah berdoa ketika almarhum sakit tidur di Itongoi. Karenanya kami berharap agar almarhum segera dikubur tanpa perlu menunggu sehari lagi.. Demikian inti pidato yang dinyatakan oleh pihak Jangkup. Hal lain dinyatakan juga oleh mereka berdua bahwa semakin cepat dikubur maka semua kerabat dapat langsung kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
Dua perwakilan dari Jangkup adalah pengurus dan pendeta agama Kingmi yang menghendaki agar proses penguburan itu lebih cepat lebih baik. Kata mereka jangan berlarut-larut sehingga tuan rumah dibebani menyediakan makanan terus menerus. Salah seorang perwakilan Jangkup itu lebih khusus lagi mengatakan bahwa dia tidak dapat bolos kerja. Kalau sampai lebih dari dua hari, dia harus minta izin dan potong gaji. Karenanya ia memohon agar hari ini juga proses penguburan dilaksanakan.
Pendeta Jangkup juga menjelaskan bahwa saat ini persediaan makanan di kebun semakin menipis. Kebun kebun banyak yang gagal panen karena longsor. Sementara mereka tidak dapat beli beras ke Timika karena tidak ada angkutan udara. Ia menyarankan kepada pihak keluarga yang kedukaan, Omaleng, supaya tidak perlu menyiapkan makanan berlebihan. Pihak Jangkup sadar bahwa makanan saat ini menipis. Sebab, Pendeta itu mendengar selentingan bahwa Omaleng merasa malu tidak bisa menyediakan makanan besar yang bergengsi.
Alasan dari pihak Jangkup rupanya tidak diterima oleh pihak Omaleng. Mereka mengatakan penguburan dilakukan setelah kedatangan anak dan adik almarhum. Juru bicara tuan rumah, Omaleng  memutuskan bahwa penguburan dilakukan besok. Pernyataan itu mengundang reaksi keras dari Pendeta Jangkup. Dia marah dan mau pulang saja ke Baluni. Besok dia tidak mau memimpin upacara penguburan. Baginya acara berlarut larut membuat banyak orang jadi terhambat kegiatan berkebunnya. Segera setelah diputuskan acara akan dibuat besok, pendeta itu pulang ke Baluni. Faktanya Pendeta datang lagi dan memimpin upacara penguburan.
Secara pribadi, pendeta Jangkup mengatakan kepada kami bahwa almarhum tidak suka kedatangan adiknya. Sejak almarhum berada di Timika, adiknya selalu minta uang kepadanya sampai uangnya habis. Alasannya untuk keperluan bisnis, tetapi uang itu tidak pernah dikembalikan. Adiknya tidak pernah membantu dia selama hidup, tetapi justru sebaliknya. Karenanya ketika dia sakit keras, almarhum lebih suka kembali ke kampung daripada di Timika. Saat menjelang kematiannya, almarhum menolak bertemu dengan adiknya.
Pendeta Jangkup tahu bahwa almarhum tidak menyukai adiknya. Makanya ketika perempuan itu meninggal pendeta mengusulkan segera dikuburkan tanpa perlu menunggu adik laki-lakinya. Akan tetapi Pendeta juga tahu bahwa almarhum ingin sekali ketemu dengan anak perempuannya. Sayangnya keinginan itu tidak terpenuhi selagi dia hidup.
Bukan saja pendeta Jangkup yang mengetahui persoalan konflik kakak beradik itu, tetapi keluarga dekat juga mengetahui. Adik almarhum dikenal pemabuk, putus sekolah, bisnisnya tidak maju, malahan cenderung hanya menghamburkan uang. Beberapa orang di Jagamin mengatakan bahwa adik almarhum bergaya seperti orang kaya saja selama di Timika. Kemampuannya hanya minta uang ke kerabat yang bekerja sebagai karyawan perusahaan atau kerabat yang menjadi pengusaha. Itu gambaran adik almarhum di mata banyak kerabat dekatnya.
Walaupun banyak orang tidak suka dengan adik almarhum dan karenanya berharap perempuan itu segera dikubur, namun, keluarga dekat tetap berharap bahwa adik perempuan itu bisa datang, bahkan di saat almarhum masih sakit dan sudah tak berdaya. Isteri Kepala kampung Jagamin yang juga kakak kandung almarhum adalah orang yang gigih mengatakan bahwa penguburan harus dilakukan setelah adiknya yang juga adik almarhum sampai di kampung ini. Penundaan penguburan, salah satunya karena kuatnya pengaruh kakak perempuan tertua almarhum yakni isteri Kepala Kampung. Namun adiknya tidak kunjung datang sampai proses penguburan berlangsung. Adiknya baru datang setelah perempuan itu dikubur.
Dalam pidatonya, pendeta Jangkup mengatakan agar Tuhan memberikedamaian dan ketenangan kepada ibu yang meninggal itu. Janganlah ia menjadi dendam kepada saudara laki-lakinya walaupun telah membuatnya sengsara.
Setelah penguburan selesai, kembali kegiatan Kalawin dilakukan, kerabat-kerabat berkumpul membahas soal hutang piutang dari almarhum.  Pembahasan ini penting Ini supaya segala hutang si meninggal dilunasi oleh kerabat dekatnya. Setiap kerabat yang ada di situ menceritakan apa saja yang dihutangi oleh almarhum dan apa saja yang mesti dibayar kepada almarhum. Katanya ini berkaitan dengan pelunasan hutang akan membawa jalan roh menjadi lancar ke alam surga.

Penyakit perempuan Omaleng dan Penyebab kematiannya

Sewaktu mendengar kabar bahwa perempuan Omaleng sakit, kami tanyakan penyakit apa yang diderita oleh perempuan itu? Kepala kampung memberitahu bahwa dia menderita penyakit menular yang sulit disembuhkan, yakni HIV/Aids. Entah berita itu benar atau salah kami tidak tahu, dan di kampung ini tidak ada yang bisa mengatakan bahwa memang itu penyakitnya. Dugaan kami, Kepala Kampung sudah diberitahu oleh Rumahsakit tentang penyakit itu tetapi tidak mau mengatakan kepadakami.Kepala Desa berharap bahwa perempuan itu dibawa kembali ke rumahsakit untuk pengobatan lebih baik daripada di kampung. Ia mengirim berita kepada rumahsakit di Tembagapura agar membawa pasien ini ke sana. Tetapi tak ada satupun helikopter yang datang. Tidak sembarang sebuah helikopter rumahsakit membawa pasien sakit parah. Rumahsakit butuh informasi rinci dari petugas kesehatan setempat (Aroanop). Padahal tidak ada satupun petugas kesehatan yang dapat memberi laporan medis tentang pasien itu. Kemungkinan besar rumahsakit menolak datang. Kemungkinan lainnya adalah karena cuaca yang selalu mendung membuat helikopter tidak mungkin dapat mendarat di Aroanop.
Dua alasan itu masuk akal, pertama perempuan itu memilh pulang ke kampung karena di Timika sudah tidak ada lagi yang bisa merawat. Dia lebih suka pulang ke rumahnya di Timika daripada harus rawat inap di rumahsakit Timika. Sambil bersiap siap kalau ada helikopter SoS yang bisa mengangkut dia kembali ke kampungnya. Kedua, selama dia berada di kampung, cuaca mendung terus menerus, bahkan jadwal kami, peneliti tertunda selama seminggu.
Salah seorang peneliti dari tim kami pernah bicara dengan kerabat-kerabat yang saat itu menunggui almarhum ketika masih sakit. Mereka mengatakan setelah dia meninggal, maka akan ada empat orang lelaki lagi yang akan meninggal. Dugaan kami adalah dia telah menularkan penyakitnya melalui hubungan seks dengan empat lelaki itu. Sayangnya dia tidak menyebutkan siapa lelaki yang dimaksud. Dugaan kuat itu juga diilhami dari kematian suaminya yang juga kena penyakit yang sama dengan dirinya. Kami tidak pernah bertemu dengan suami almarhum, Dia sudah meninggal ketika kami tiba di Aroanop. Tetapi Kepala Kampung mengatakan bahwa suaminya kena penyakit menular ketika di Timika. Dugaan kami , isterinya, perempuan Omaleng itu ditulari oleh suaminya.
Kepala kampung mengatakan ada beberapa warganya yang juga kena penyakit itu, tetapi dia mengatakan itu rahasia. Tidak boleh disebarkan ke masyarakat. Nanti yang bersangkutan akan malu. Bukan saja di Kampung Jagamin, tetapi di kampung kampung lain di Aroanop juga ada yang kena penyakit itu. Di Ombani ada dua keluarga yang mati semua karena penyakit itu. Tidak disebutkan kapan terjadinya. Tetapi mereka mati dalam waktu relatif pendek. Kepala Kampung tidak menghitung berapa jumlah orang yang kena aids (ia tidak tahu atau tidak mau menceritakan hal ini). Tetapi mereka yang kena aids adalah mereka yang sering bepergian ke Timika.
Cerita Kepala Kampung adalah orang Aroanop yang melancong ke Timika senang mabuk, main perempuan dan berjudi. Mereka dapat uang dari yayasan binaan perusahaan tambang, lalu menggunakan uangnya bukan untuk usaha melainkan foya-foya. Akibatnya adalah ketularan penyakit dari perempuan PSK yang banyak di Timika.
Program kampanye HiV/Aids gencar dilakukan. Secara khusus LSM yang berkecimpung soal penyakit itu sudah mengkampanyekan pencegahan penyakit HiV/Aids. Semua orang tahu bahwa penyakit itu berbahaya. Kata Kepala Kampung “tetapi semua orang, terutama laki-laki lupa diri ketika berada di tempat-tempat hiburan”. Satu saja ketularan penyakit itu lalu berhubungan seks dengan isterinya, maka bisa jadi isteri dan anak-anaknya kemudian akan kena penyakit menular.
Penyakit menular di kalangan penduduk di daerah pegunungan merupakan sebuah kajian yang perlu dilakukan. Penyakit HIV/Aids di Timika dan sekitarnya termasuk salah satu yang tertinggi  di Indonesia. Kampanye pencegahan dan tindakan yang mesti dilakukan terhadap penyakit ini cukup gencar dilakukan, namun penyediaan klinik dan petugas kesehatan kurang memadai. Salah satu contoh adalah klinik kosong tidak ada petugas dan tidak ada obat. Bahkan untuk penyakit-penyakit luka  tidak dapat diobati karena petugasnya lebih suka berada di Timika daripada bertugas di daerah terpencil.
Menurut cerita, almarhum tidak dapat diangkut karena tidak ada laporan resmi dari petugas kesehatan setempat bahwa yang bersangkutan mesti segera dibawa ke RS. Prosedur pengangkutan pasien dengan helikopter dilakukan bilamana ada laporan resmi dari petugas klinik. Laporan itu dsampaikan melalui radio. Tanpa itu, maka helikopter tidak akan datang. Ini untuk menghindari kedatangan yang sia-sia. Pernah helikopter datang untuk membawa pasien karena dilaporkan pasien itu sakit parah. Yang melaporkan adalah Kepala Kampung, ternyata pasien hanya pura-pura lemas, tujuannya mau ke Timika menggunakan helikopter. Dari pengalaman itu, maka helikopter tidak mau berangkat tanpa ada permintaan resmi dari klinik. Bagaimana ada permintaan kalau petugas klinik tidak ada di tempat.
Mereka yang tinggal dan bermukim di pegunungan, di daerah yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki atau pesawat udara, memerlukan klinik kesehatan yang lengkap. Petugas dan obat obatan tersedia 24 jam. Jangkauan pelayanannya harus dengan akses yang memadai. Klinik di Aroanop hanya ada di Omponi, sebuah wilayah pelayanan publik di mana ada kantor kampung, klinik, sekolah, pasar yang harus menjangakau seluruh warga yang tinggal di lembah aroanop yang luas. Jangkauan ke kampung-kampung sekitarnya hanya dilakukan dengan jalan kaki. Sebagai contoh, jarak dari klinik Omponi ke kampung Jagamin minimal ditempuh enam jam jalan kaki normal. Kalau harus memikul pasien pasti lebih dari itu. Tidak ada transportasi darat. Satu-satu transportasi adalah dengan helikopter. Prosedur minta helikopter belum tentu bisa dilayani dengan cepat mengingat helikopter juga memprioritaskan pasien-pasien lain di derah lain yang relatif sama kondisinya.
Sejauh ini fasilitas kesehatan (dan juga pendidikan dan ekonomi) diberikan oleh perusahaan tambang di situ. Pemerintah Daerah menyediakan tenaga kesehatan dan pendidikan untuk ditempatkan disana, walaupun mereka itu hanya 1 bulan saja dalam 1 tahun berada di sana.
Penyediaan petugas kesehatan, juga memerlukan penyediaan logistik (makanan dan peralatan yang diperlukan selama dinas disana). Faktanya, seperti yang diceritakan oleh para petugas itu, logistik mereka sudah habis dalam waktu satu bulan, selebihnya mereka harus mengusahakan sendiri. Tiap bulan tidak ada dropping logistik dari pemerintah.

Kepercayaan tentang kematian

Dalam tradisi masyarakat Amungme, orang yang sudah meninggal harus dikubur. Tetapi orang yang meninggal  akibat pertempuran harus dibakar. Kepercayaan Kristen mengharuskan rentetan upacara penguburan tidak berlarut larut. Secara garis besar jangka waktu dari mulai meninggal sampai penguburan tidak boleh lebih dari 3 hari. 
Nampaknya tidak ada pembedaan antara yang meninggal adalah laki-laki atau perempuan. Pembedaan lebih nampak kalau yang meninggal adalah menagawan atau inagawan. Menagawan maupun inagawan adalah tokoh masyarakat. Menawagan untuk laki-laki sedangkan inagawan adalah untuk perempuan.
Kasus yang kami tulis ini adalah kematian dan penguburan adalah perempuan, janda beranak satu, tidak digolongkan sebagai inagawan. Ia bersama suami merantau ke Timika. Sepanjang hidupnya tidak tinggal di kampung. Selain itu sudah diketahui penyakitnya yang menyebabkannya meninggal dunia.Sepertinya tidak ada yang melakukan protes atau menuntut pihak lain yang dianggap menjadi penyebab kematian. Keluarga besar perempuan Omaleng itu berasal dari fam Janampa dan beribu fam Jangkup, tidak mempersoalkan hal itu.
Pidato dan ulasan tentang kematian perempuan Omaleng di saat menjelang dan paska penguburan intinya mengenai perjalanan hidupnya dan kematiannya dan harapan perjalanan pindah tempat  almarhum mendapat perlindungan dari nenek moyang dan Tuhan[10].
Sesungguhnya hidup dan mati hampir tidak ada batasnya. Orang mati hanya pindah tempat, dari tempat yang disebut dunia nyata, kedunia roh.Dunia roh dipercaya sebagai tempatnya nenek moyang ,sebagian dari mereka menyebutnya “tuantanah”[11] demikian yang diceritakan oleh Tom Beanal, salah seorang tokoh terkemuka masyarakat Amungme (Beanal,...).
Orang Amungme tidak mempertentangkan antara nenekmoyang-/Tuan Tanah dengan Tuhan.Penguasa itu diyakini sebagai dua hal yang tidak kontradiktif tetapi saling bersinergi. Seorang yang hidupnya selalu mengganggu adat akan celaka. Kecelakaan buat hal yang kebetulan, tetapi karena orang itu punya kesalahan terhadap Tuan Tanah[12]Tetapi orang Amungme juga percaya bahwa di dunia roh tidak semuanya adalah baik dan melindungi warga masyarakatnya. Ada roh-roh jahat yang gentayangan di dunia itu yang bisa masuk ke dalam badan manusia melalui berbagai macam cara. Misalnya kasus hilangnya beberapa babi peliharaan di kampung Ainggogin dipercaya telah dibawa oleh roh-roh jahat ke dalam hutan. Ketika babi babi itu ditemukan oleh salah seorang warga kampung, lalu babi itu harus dipotong dan dimasak lalu dagingnya diberikan kepada seluruh warga kampung. Babi-babi yang telah ditemukan tidak boleh dipelihara karena di dalam jiwa babi itu sudah dihuni oleh roh roh jahat. Cara untuk menghilangkan roh jahat itu adalah dengan mematikan babi dan memakannya.
Kematian perempuan Omaleng itu dipercaya adalah hilangnya jiwa dari tubuh secara wajar. Perempuan itu  hanya pindah tempat. Ia sudah aman dan bahagian bersama roh roh nenek moyang dan bersatu dengan Tuhan. Pendeta dan para senior mengucapkan hal itu supaya menguatkan iman kepada para kerabat yang ditinggalkan almarhum. Pendeta dan beberapa senior masyarakat kampung itu tidak saja mengadakan kontak denga para roh dan penguasa dunia roh dan juga Tuhan, tetapi juga berbicara kepada warga bahwa kematian itu bukan hal yang menakutkan.Jasatnya dikubur, tetapi rohnya terbang menuju ke alam roh-roh yang mendiami gunung, sungai, lembah di sekeliling kampung mereka, dan akhirnya menyatu dengan Tuhan. Dengan kata lain bahwa kematian adalah suatu peristiwa yang berada di luar kemampuan manusia namun memerlukan penjelasan yang dapat mengurangi rasa cemas dan takut (Malinowski, 1926).
Pidato dalam kalawin oleh beberapa orang senior tentang kematian adalah pindah tempat seperti yang diungkapkan oleh Van Gennep dalam kajiannya tentang Rite de Passage yakni sebuah rangkaian perjalanan hidup manusia. Ada saat di mana perjalanan hidup manusia dalam posisi krisis, antara lain perpindahan dari dunia nyata ke dunia roh melalui sebuah proses kematian (Van Gennep, 1960). Karena pentingnya krisis itu maka diperlukan sebuah ritual yang bukan saja melancarkan jalan bagi orang yang meninggal, tetapi juga mengingatkan kepada yang hidup untuk selalu ingat bahwa ada saatnya mereka akan sampai pada kematian (Malinowski, 1926).
Pada akhirnya sebuah ritual penguburan perempuan Omaleng  dilakukan untuk mengingatkan dan menggugah seluruh warga akan kesamaan nilai, norma hidup dan mati, asal usul, sanksi dan ganjaran sebagai aturan bermasyarakat (Radcliffe-Brown, 1952)

Solidaritas

Menurut Durkheim (1915) fungsi yang paling penting dari upacara penguburan (kematian) adalah menegaskan ikatan kemasyarakatan atau struktur sosial masyarakat.  Upacara sebagai aturan ritual berfungsi menjaga integrasi dan keteraturan sebagai kesadaran bersama akan identitas dan nilai yang sama sebagai satu kelompok keturunan dan perkawinan untuk mencapai tujuan bersama. Menurutnya, itu yang dimaksud sebagai solidaritas yang mempunyai kekuatan mempersatukan anggota-anggota masyarakatnya. Demikian pula dengan komunitas di kampung atau kampung-kampung di lembah Aroanop.Walaupun secara administrasi mereka terpisah menjadi penduduk kampung-kampung di Kepala Air dan Muara, namun ikatan kekerabatan melintas antar kampung.
Almarhum adalah ipar Kepala Kampung. Ia adalah adik dari isteri Kepala kampung. Ia,  demikian pula isteri Kepala Kampung adalah perempuan yang berasal dari FamFam Jenampa karena Bapak mereka adalah famfam Jenampa. Karena itu ketika ia  meninggal dunia, seluruh anggota fam Jenampa beserta rombongan suami isteri datang ke rumah duka.
Bagi Tuan Rumah, ipar-ipar yang berasal dari fam Jenampa harus mendapat penghormatan. Hubungan periparan dalam masyarakat Amungme dan Pegunungan Tengah umumnya adalah penting, terutama dalam upacara atau life cycle untuk menunjukan solidaritas sesama kerabat, demikian pula sebaliknya ritual  juga berbobot sama penting sebab peristiwa ini adalah saat dimana setiap kerabat diingatkan bahwa mereka terkait atas dasar keturunan dan perkawinan.
Selain fam Jenampa, datang pula fam Jangkup yang juga amat penting dalam menjaga solidaritas. Sebab ibu dari almarhum  berasal dari fam Jangkup. Karena itu saudara laki-laki dari ibu mereka menentukan pula dalam acara-acara life cycle.
Apa yang kami lihat dalam proses penguburan adalah Jenampa menyerahkan keputusan kepada isteri kepala kampung soal riwayat hidup almarhum, perkawinannya, keturunannya, penyakit, dan kapan waktu penguburan. Karena Jenampa adalah pihak perempuan, dan tidak ada perempuan yang bisa tampil dalam menjelaskan soal itu, ,maka Iberanus mewakili fam Omaleng sebagai Tuan Rumah. 
Pidatonya pada saat kalawin (musyawarah) menyatakan bahwa jenazah tidak dapat dikuburkan sekarang karena masih menunggu kedatangan adik dan anak almarhum yang tinggal di Timika. Menurut berita mereka sedang menunggu transportasi atau alat angkut udara yang disediakan oleh Perusahaan bagi keluarga yang sedang kedukaan.  Mengingat cuaca yang mendung, kemungkinan mereka akan naik bis ke Tembagapura, kemudian dilanjutkan jalan kaki menuju Aroanop (Kelapa Air).
Tidak semua pihak setuju dengan rencana itu. Pihak Jangkup, yakni pihak dari saudara laki-laki ibu almarhum mengatakan bahwa jenazah sebaiknya dikuburkan sekarang. Sebab, banyak orang yang harus bekerja, baik sebagai petani maupun karyawan perusahaan. Kedua, semakin lama dikuburkan, semakin besar beban tuan rumah untuk menanggung persediaan makanan. Beban ini makin diperberat semenjak lahan-lahan di sekitar itu longsor, sehingga banyak gagak panen. Ketiga menurut ajaran agama yang mereka yakini, penguburan tidak boleh lama. Karena alasan-alasan itu, maka pihak jangkup mengusulkan untuk segera dilaksanakan upacara pennguburan secara Kristen.
Usulan Jangkup itu dihormati, tetapi pihak omaleng tetap berpendirian bahwa penguburan akan dilakukan besok. Sekali lagi diulang bahwa pilihan waktu esok hari adalah memberi kesempatan waktu bagi adik dan anak almarhum untuk datang melihat ibunya terakhir kali. Tetapi ditambahkan oleh Iberanus Omaleng bahwa besok harus dikuburkan, dengan atau tanpa adanya adik dan anak almarhum. Tambahan ini untuk menghormati pihak-pihak yang meninggalkan kampung, pekerjaan atau yang lainnya.
Pertentangan antara fam fam yang menjadi penentu penguburan jenazah mencerminkan pendapat Turner (Turner 1995) bahwa upacara penguburan adalah panggung drama, dimana di sarana ini tidak berlaku struktur realita, dengan kata lain adalah anti struktur. Namun Maurice Bloch menyatakan bahwa upacara itu adalah sebuah bentuk komunikasi. Para pelakunya menggunakan perbendaharaan kata yang terbatas, tatabahasanya tertentu, sehingga kata-kata yang ada dalam proses upacara tidak bisa diperdebatkan, dan pada gilirannya adalah sebuah kompromi antara berbagai pihak yang terlibat (Bloch, Maurice 1971). Ini ditunjukkan melalui adanya kesepakatan dalam perbedaan bahwa penguburan dilaksanakan esok hari. Semua pihak bermalam di Itongoi sesuai dengan fam mereka. Laki-laki tidur di Itongoi, sementara perempuan tidur di ongoi keluarga. Kecuali beberapa orang dari pihak Jangkup yang memilih pulang ke kampungnya yang tidak jauh dari situ. Semua pihak seolah berdamai dan bersiap untuk melaksanakan penguburan esok hari. 
Penguburan diawali dengan kebhaktian berdasarkan Kristen, dipimpin oleh Pendeta Albert Jangkup[13]. Iringan tangis kerabat mulai terdengar ketika peti jenazah ditutup dan langsung dibawa ke kuburan.
Tidak banyak yang ikut ke kuburan, kecuali mereka bertenaga kuat yang sanggup memikul peti jenazah, umumnya adalah anak muda. Tidak ada yang penting dalam memasukkan peti ke lubang kubur. Tidak ada tokoh-tokoh penting, senior kampung yang ikut menguburkan. Mereka hanya menunggu saja, lalu memulai kalawin (pembicaraan musyawarah) soal hutang piutang almarhum.
Dalam pembicaraan soal hutang piutang dan nasib keturunan almarhum dibahas oleh tiga pihak, yakni fam Omaleng, Fam Janampa dan Fam Jangkup.Sementara fam-fam lain yang  juga hadir di situ hanya mendengarkan pembicaraan 3 fam penting itu.
Semula kami menduga, Kepala Kampung Ombani, Jonathan Beanal juga akan bicara dalam Kalawin itu, namun dia mengatakan bahwa dia hanya orang “pinggir” saja. Dia hanya membantu penyediaan makanan. Jonathan menikah dengan perempuan dari fam Omaleng yakni adik perempuan dari bapaknya Opinus Omaleng. Jadi walaupun Jonathan adalah Kepala Kampung yang punya wewenang atas penduduk kampungnya, tetapi dalam konteks arena adat, dia menjadi orang “pinggir”.
Kalawin soal hutang piutang dan keturunan almarhum adalah akhir dari upacara penguburan. Hutang piutang menjadi beban keluarga Omaleng, sebab suami almarhum yang juga sudah almarhum adalah famfam Omaleng. Anak mereka akan tetap ikut dengan adik almarhum yang fam Jenampa karena dia masih sekolah di Timika. Tanggung jawab anak menjadi tanggungan Omaleng. Begitulah pokok bahasan diujung rangkaian upacara penguburan yang sebenarnya mencerminkan ikatan solidaritas keturunan dan perkawinan.

Kekerabatan dan Kepemimpinan

Perhatian terhadap proses upacara lingkaran hidup (life cycle) menarik hati karena disitu nampak fungsi kekerabatan dalam prakteknya. Bagi kalangan Antropolog mempelajari upacara yang sakral lebih nyata dibanding mempelajari sistem agama (Koentjaraningrat, 1986).  Masyarakat yang relative homogen, bersahaja, dan solidaritasnya masih bertumpu pada nilai dan norma kebersamaan, maka ikatan kekerabatan menjadi amat sangat penting karena semua anggota terikat secara multi garis yang didasari atas kekerabatan. Hubungan ketetanggaan, antarkampung yang dasarnya adalah teritorial selalu bertumpu pada hubungan kekerabatan yang mengacu pada keturunan dan perkawinan. Tidak dapat disangkal bahwa kampung-kampung di Hulu (Kepala Air) dan di Hilir (Muara) saling terikat atas dasar kekerabatan.
Peristiwa kematian perempuan Omaleng,  prosesi penguburan dan pembicaraan paska penguburan memperlihatkan hubungan berkelanjutan. Hal ini karena kematian sebagai rangkaian life cycle berkaitan dengan  peristiwa sebelumnya, yakni ketika perempuan itu menikah dan menjadi anggota fam Omaleng.
Syarat untuk mengikat perkawinan, maka pihak laki-laki akan menyerahkan maskawin kepada pihak perempuan. Pihak perempuan yang dimaksud di sini adalah keluarga bapak dan keluarga ibu perempuan. Jadi ketika pihak keluarga Omaleng menyerahkan maskawin kepada pihak Janampa dan Jangkup[14].Ikatan perkawinan yang ditandai dengan maskawin itu mengikat bukan saja suami isteri tetapi kelompok fam nya yang masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab. Peran itu nampak ketika  proses penguburan perempuan Omaleng di mana ikatan kekerabatan berdasar perkawinan, keturunan dan periparan menunjukkan fungsinya.
Penguburan, seperti halnya perkawinan tidak ditentukan oleh satu kelompok saja. Penguburan merupakan sebuah prosesi yang ditentukan oleh kesepakatan tiga pihak yang waktu lalu juga terlibat dalam prosesi perkawinan. Seperti diuraikan di atas bahwa perdebatan soal jadwal penguburan antara fam Omaleng dan fam Jangkup menunjukkan dinamika hubungan kekuatan. Sesungguhnya peristiwa kesepakatan jadwal penguburan dapat dilihat dari dua sisi, yakni sisi panggung depan di mana terjadi perdebatan antara Omaleng dan Jangkup. Ini bukan perdebatan pura-pura atau bersandiwara, tetapi sebagai bagian dari status dan peran pihak keluarga ibu yang meninggal untuk menyatakan pendapatnya di depan umum. Walaupun pada akhirnya pendapat pihak ibu itu ditolak dan disepakati rencana dari pihak omaleng yang digunakan.
Apapun yang terjadi, jadwal penguburan harus dilakukan sehari setelah kematian  perempuan itu.Itu yang diucapkan oleh isteri Kepala Kampung.Semua orang patuh terhadap yostiana, isteri kepala kampung itu. Yostiana bukan saja seorang isteri kepala kampung, tetapi dia juga banyak menolong orang-orang warga kampungnya di Kepala Air maupun yang migran di kota. Hampir seluruh kebutuhan pokok di luar dari yang dihasilkan dari kebun, dipasok ke kampung atas kerja Yostiana.
Faktor lain adalah kepala kampung. Dia adalah kepala kampung yang menagawan. Walaupun tidak pernah diakui olehnya sendiri, Kepala Kampung mendistribusikan pekerjaan padat karya bukan saja untuk laki-laki tua muda, tetapi juga untuk perempuan[15]. Dua puluh persen dana padat karya diserahkan untuk kegiatan PKK, antara lain dengan membeli perabot rumahtangga, belajar memasak, dan makanan yang sehat. Pendek kata, sebagai Kepala Kampung dia dianggap luar biasa.
Sesungguhnya Kepala Kampung itu mempunyai kekuatan politik atau kekuatan yang memberi pengaruh terhadap sebagian besar warga karena pihak yang mempengaruhi itu adalah pihak yang dihormati. Suami isteri Kepala kampung adalah orang yang dihormati, tidak pernah keluar dari kampungnya yang artinya selalu dekat dengan warganya. Bahasa politiknya adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat. Kepala kampung adalah juga pengurus gereja. Ia yang bertanggung jawab menyelenggarakan kebaktian minggu.  Ia berperan penting dalam mendamaikan umat gereja GKII dan Kelompok gereja Kingmi[16].Berbeda dengan kepala kampung lainnya yang ada di lembah aroanop yang sering tidak berada di kampungnya.  Malahan salah seorang Kepala Kampung tidak pernah berada di kampungnya, yang menyebabkan banyak protes (diam) dari warganya, kecuali mengeluh kepada orang luar seperti kami, bahwa Kepala Kampung sering berada di kota (Timika) daripada di kampungnya sendiri. Warga tidak suka dengan pemimpin seperti itu.
Karenanya penentuan penguburan, upacara, atau keputusan penting yang berkaitan dengan Kampung atau harkat hidup banyak orang ditentukan oleh kedudukan dalam kekerabatan dan juga sifat kepemimpinan. Kepala Kampung tidak otomatis menjadi orang yang mempunyai kekuatan mempengaruhi orang banyak..
Pertarungan menentukan waktu penguburan juga berkaitan langsung dengan pengaruh para pemimpin yang dipatuhi dan tidak dipatuhi. Banyak orang mengakui bahwa pasangan suami isteri Jagamin itu adallah orang yang berpengaruh, walaupun tingkat pendidikan mereka rendah. Kepala Kampung hanya sekolah kelas 1 SD, isterinya tidak bisa baca tulis.Namun itu tidak menjadi ukuran kepemimpinannya.
Seorang dari perusahaan tambang yang pernah bertemu dengan Kepala Kampung Jagamin itu mengatakan bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya. Setiap janjinya ditepati, orang yang ramah, murah senyum, bercanda dan kadang mau mengeluarkan uang untuk traktir kami, walaupun hanya pisang goreng.  Dia berbeda dengan kebanyakan orang dari sukunya. Dia patuh, taat agama, tidak merokok.. Kebanyakan pemimpin masyarakat di sini lupa setelah menjadi kaya. Kami teringat ketika akan ke lembah Aroanop, diusulkan oleh petugas pengembangan masyarakat dari perusahaan tambang, untuk tinggal di kampung Jagamin. Alasan karena Kepala Kampung adalah orang yang paling bisa dipercaya dibanding kepala kampung lainnya, atau tokoh masyarakat atau Kepala Suku.
Akan tetapi, sering orang luar salah memahami pemimpin orang amungme. Mereka kira dengan mempercayai seorang pemimpin,  maka semua warga akan menuruti pemimpin itu. Belum tentu. Persaingan antarpemimpin di saat bersamaan sering terjadi. Selama kami di lembah Aroanop, setiap tokoh masyarakat mengaku bahwa dia adalah Menagawan. Tetapi di luar kampungnya belum tentu status Menagawannya diakui. Sementara itu status Menagawan juga bisa pupus sejalan dengan berjalannya waktu.  Barangkali dulu iya pernah jadi pemimpin (yang dipercaya dan dihormati) tetapi itu belum tentu selamanya demikian. Dalam perjalanan waktu pemimpin itu bisa saja lebih sibuk mengurus kesenangan pribadinya, sehingga lupa dengan warganya. Akhirnya warganya tidak percaya lagi dengan pemimpin itu.

Penutup

Seorang yang meninggal tidak sekedar dimasukkan ke dalam lubang dan menguburnya. Van Gennep (1960) menyebutkan bahwa kematian yang ditandai dengan penguburan telah mengubah status orang yang meninggal itu, dan lebih penting dari itu adalah orang atau kerabat-kerabatnya memperlakukan orang yang sebelumnya hidup kemudian mati.
Dalam peristiwa penguburan perempuan Omaleng yang terjadi di Kampung Jagamin juga nampak bahwa musyawarah mufakat (kalawin), Nabub (hubungan periparan) dan Pemimpin (menagawan), memberi corak atas peristiwa itu. Corak yang dimaksud adalah struktur sosial  atau aturan tatakrama orang-orang di lembah aroanop yang terpencil. Tatakrama atau acuan nilai dan norma itu dan praktek-praktek yang dilakukan selama proses upacara dibutuhkan terutama kepada kerabat-kerabat yang hidup untuk memperkuat mentalitasnya menghadapi dunia kematian yang berada di luar jangkauan rasionya (Malinowski, 1926). Di lain pihak tatakrama itu juga dipakai sebagai kerangka acuan bagi kerabat-kerabat yang hidup dan harus dilakukan oleh mereka, sebab dengan memenuhi tatakrama itu maka kecemasan dan ketakutan atas dunia kematian yang tak terjangkau oleh nalar, terobati. Karenanya Radcliffe-Brown, A. R, 1952) menyebutkan bahwa upacara itu adalah cara mempertahankan dan memelihara institusi (struktur) sosial dan hubungan sosial dalam masyarakat
Peristiwa-peristiwa amat penting dalam lingkaran hidup orang akan melibatkan konsep-konsep Kekerabatan dan politik (hubungan kekuatan yang saling mempengaruhi) itu. Seperti kata orang bijak Amungme, kelahiran, perkawinan, kematian adalah tahap pindah tempat yang amat penting dalam lingkaran hidup. Karena pindah tempat itu adalah tahap kritis yang mengubah status dan perannya, untuk melampaui tahap itu diperlukan ritual yang nampak dari pandangan “orang luar” rumit namun sesungguhnya bertujuan agar di tempat yang baru itu arwah yang meninggal itu lebih baik, lebih bahagia dan sejahtera. 

Daftar Kepustakaan
Beanal, Tom. Amungme, Magaboaratnegel Jom Bei Pem Bei. Penerbit, kota, tahun?
Bloch, Maurice. Placing the Dead. Academic Press. 1971
Durkheim, Emile The Elementary Forms of the Religious Life. Free Press. 1995
Gennep, Arnold Van. Rites of Passage. Routledge and Kegan Paul. 1960
Koentjaraningrat. Pengantar Antropologi. Aksara Baru. Jakarta. 1986
Malinowksi, Bronislaw. Myth in Primitive Psychology. Kegan Paul. 1926
Muller, Kal dan Yunus Omabak. Amungme: Tradition and Change in the Highlands of Papua. PT Frreeport Indonesia. 2008
Radcliffe-Brown, A. R. Structure and Function in Primitive Society. Cohen 1952
Turner, Victor. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Foundation of Human Behavior). Aldine Transaction. 1995



[1]Di kampung tempat penelitian ini berada pada ketinggian 1700meter di atas permukaan laut. Udara yang dingin membuat orang-orang  di sini lebih betah tidur di dekat perapian
[2] Semula Kepala Kampung tidak mau menyebutkan penyakit yang diderita pasien, tetapi lama kelamaan mengatakan secara berbisik bahwa pasien menderita penyakit HiV/Aids. Tim atmajaya tidak mendapat konfirmasi yang pasti apakah memang benar pasien menderita penyakit HIV/Aids sebab tidak ada petugas kesehatan maupun laporan medis tentang pasien. Kepala Desa menyebut Timika sebagai tempat perempuan itu ketularan sebab dia lama bermukim di sana daripada di kampung Jagamin.
[3]Sesungguhnya tidak sedikit warga Omaleng maupun Janampa yang menjadi kerabat pasien yang migrant dan bermukim di Timika, terutama di kantung-kantung pemukiman Amungme, seperti di SP (SatuanPemukiman) 10-12, dan juga di bagiandari Kota Timika, Namun kondisi sakit Sandra memerlukanperawatan danpengawasan yang intensif setiap hari, sehingga pasien hanya mengandalkan anak perempuannya, dan juga adiknya.
[4] Itu istilah yang digunakan oleh warga setempat untuk menyebut penyakit HiV/Aids
[5]Sinyal telepon hanya dapat tertangkap bilamana berada di atas bukit.Makaitu, kalauwarga di Kepala Air mau telepon, dia harus berjalan ke puncak bukit-bukit yang membentengi kampung
[6]Prinsip yang menentukan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki
[7]Sesungguhnya kurang tepat menggunakan istilah perempuan Janampa sebab dia sebenarnya fam Kogoya. Dia menikah dengan fam Waker.Waker dan Kogoya yang kami kenal adalah fam yang berasal dari masyarakat Dani di sebelah utara Pegunungan Tengah sampai ke Timur di Lembah Baliem.Dalam terminology di Kampung Jagamin, Kogoya adalah sama dengan Janampa, sementara Waker sama dengan Omaleng. Waker tahu bahwa dalam masyarakat di Amungme, Moni dan Dani mengenal ada dua marga besar yang tidak boleh saling menikah yakni Mom danMagai.Di masyarakat Dani kelompok Mom antara lain fam Wenda, Waker dan Murip, sementara di kelompok Magai antara lain, fam Kogoya,  Wandikbo danTabuni.Kisah tentang apa dan bagaimana keluarga Waker-Kogoya berada di Aroanop menarik untuk dibahas.
[8] Ia adik dari Obaja Jangkup, Kepala Kampung Baluni. Seharusnya Mesak punya hak untuk tinggal di kampung Baluni. Apalagi Mesak belum menikah. Tetapi Mesak memilih tinggal di Jagamin karena sehari-hari bertengkar dengan kakaknya. Kebun Tebu Mesak paling banyak di antara kerabat yang lain. Selain itu dia tidak menikah jadi tidak punya beban tanggungan.Fam Jangkup ikut ambil bagian dalam penyelenggaraan upacara karena mereka adalah fam daripihak ibu almarhum.
[9] Ada kebijakan dari perusahaan tambang untuk memberi fasilitas tumpangan helikopter apabila ada warga Aroanop yang sakit parah yang memerlukan perawatan di Rumah Sakit di Timika atau Tembagapura. Perusahaan ini juga menyediakan tumpangan bagi kerabat yang tinggal di kota-kota itu  untuk menjalankan upacara penguburan atas kematian kerabatnya di kampung, atau sebaliknya mereka yang tinggal di kampung mendapat tumpangan ke kota.
[10]IstilahTuhan dipahami oleh orang Amungme setelah pengaruh misionaris Kristen Protestan yang membuka pos penginjilan di daerahAmungme
[11] Tom Beanal, Amungme, Magaboaratnegel Jom Bei Pem Bei
[12] Ada beberaoa peristiwa alam seperti gagal panen karena longsor akibat kemarahan Tuan Tanah karena orang-orang di situ tidak menjalankan perintahnya.
[13]Pendeta ini dan beberapa senior Jangkup yang bersikeras agar penguburan dilakukan secepatnya, namun ditolak. Sebenarnya ia cukup marah karena pihak Omaleng tetap kukuh, menurutnya Omaleng tidak menghargai pendeta dan juga ajaran Kristen. Namun Ia menerima yang terjadi sebab ia harus memimpin upacara kebaktian sebelum jenazah dikuburkan.
[14]Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit orang-orang Amungme yang menikah l ari untuk menghindar dari mahalnya maskawin. Salah seorang warga kampung menceritakan bahwa ia dan isterinya melarikan diri dan bermukim di kampung ini untuk menghindar dari kejaran fam isterinya. Ia minta perlindungan dari kerabatnya yang menjadi toko senior di kampung itu untuk menyelesaikan persoalan maskawin.
[15] Sesuai dengan janjinya, Kepala Kampung bersedia mengantar kami ke kampungnya di Kepala Air (bagian dari Aroanop) dan menyediakan rumah kosongnya untuk akomodasi. Kami bertemu dia di Timika ketika Kepala Kampung sedang urusan dana Padat Karya (Respek), belanja bahan pokok untuk warganya antara lain beberapa karung beras, gula dan indomie.
[16] Kepala kampung membeli dua ekor babi besar untuk pesta peringatan penggabungan antara umat gereja Kingmi dan umat gereja GKII. Setelah pesta bakar batu, tidak ada lagi perbedaan Kingmi dan GKII. Dua kelompok itu dilebur menjadi 1 gereja yakni Kingmi.