Kematian dan Upacara Penguburan Perempuan Omaleng
Tito Panggabean
Pemuda fam Janampa, pewarta Injil yang bertugas di Kampung
Jagamin, berteriak keras lewat tengah malam , keluar dari Itongoi milik fam
Omaleng, kemudian melanjutkan teriakannya di tengah lapangan depan Itongoi.
Saya bersama anggota Tim Atma Jaya yang lain terbangun , lalu bertanya kepada bapak
Kepala Kampung, apa gerangan yang terjadi. Ia mengatakan bahwa ibu yang sakit
itu telah meninggal dunia.
Sejak dua minggu sebelumnya, perempuan yang sakit itu
menunggu jemputan helikopter Rumah Sakit di Banti, namun tak kunjung tiba.
Usaha untuk menghubungi pihak Rumahsakit sudah dilakukan baik langsung maupun
melalui pihak kerabat yang bermukim dekat rumahsakit. Tetap saja tak ada
Helikopter. Berbagai teori tentang alasan kenapa Helikopter tak datang
bermunculan di benak kerabat perempuan yang sakit itu. Ada yang bilang bahwa
cuaca buruk menyebabkan helikopter tak berani mengudara. Orang lain mengatakan
karena tidak ada permintaan resmi dari klinik Aroanop maka rumahsakit tidak mau
melayani. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penyakit yang diderita pasien itu
sudah tidak mungkin disembuhkan, karenanya tidak ada gunanya dijemput. Apapun
teori yang berkembang siapapun yang
bersitegang mempertahankan teorinya di situ, faktanya helikopter tidak datang,
dan pasien sudah meninggal.
Peristiwa
sakit yang berakhir dengan kematian
di sebuah kampung yang terpencil di lembah Aroanop, Kesulitan akses
transportasi dan fasilitas kesehatan dideskripsikan dalam tulisan ini. Muatan
yang utama dalam tulisan ini adalah pada proses upacara, sistem kepercayaan, solidaritas
dan hubungan-hubungan kekerabatan dan kekuatan
atas peristiwa tersebut.
Sakit dan menjelang kematian
Setelah satu minggu Perempuan Omaleng belum sembuh, malahan kondisinya
bertambah parah, kemudian oleh beberapa anak keponakannya ia dibawa dari
rumahnya ke honai Omaleng di ujung kampung. Dalam bahasa Amungme Honai dikenal
dengan nama Itongoi. Di situ lebih baik, kata beberapa keponakannya
sembari menggandeng perempuan itu berjalan ke
Itongoi. Orang sakit parah biasanya dibawa ke Itongoi
karena pasien bisa dijaga secara bergiliran
oleh kerabat-kerabat dekatnya
. Selain
itu di dalam Itongoi selalu hangat karena di tengah ada perapian yang setiap
kali dinyalakan oleh penjaga yang bergiliran
[1].
Penyakit perempuan itu tidak ada obatnya, demikian kata
Kepala Kampung. Ia kena penyakit menular yang sulit untuk disembuhkan. Menurut
cerita Kepala Kampung, perempuan itu terinfeksi ketika berada di Timika
[2].
Ketika penyakitnya semakin bertambah parah, perempuan itu semakin tidak nyaman
berada di Timika. Di kota itu ia tidak ada yang merawat. Suaminya sudah
meninggal, sementara adik laki-lakinya terlalu sibuk dengan bisnis konstruksi.
Ia minta kepada adik laki-lakinya agar dia bisa pulang ke kampungnya di Kepala
Air
[3].
Adiknya kemudian mendaftar agar mendapat prioritas dari rumahsakit untuk
memulangkan pasien ke rumahnya di kampung. Sampailah perempuan itu di
kampungnya lalu dirawat oleh sanak keluarga di rumahnya.
Perempuan yang meninggal itu adalah adik perempuan dari isteri
Kepala Kampung Jagamin. Dia berasal dari fam janampa yang kampung aslinya di
Wabbera, kira-kira satu jam jalan kaki dari kampung Jagamin. Suami perempuan
yang meninggal itu sudah meninggal 3 tahun lalu. Menurut Kepala Desa penyakit
suami-isteri itu sama, yakni penyakit menular
[4].
Suami perempuan yang meninggal itu berasal dari Fam Omaleng. Suami dari
almarhum mempunyai tali kerabat keturunan dengan Kepala kampung. Suaminya
adalah sepupu tingkat pertama dengan Kepala
Desa. Bapak mereka kakak beradik kandung.
Hanya tiga hari berada di Itongoi, akhirnya perempuan itu meninggal
dunia. Tidak ada keterangan resmi dari dokter atau petugas kesehatan yang
menyatakan perempuan itu sudah meninggal. Tapi sudah dipastikan oleh
kerabat-kerabatnya yang menunggui siang-malam bahwa ia meninggal. Menurut
kerabat-kerabat yang menunggui almarhum, menjelang meninggal, badannya sudah
membau, luka-luka yang ada di perutnya menganga dan menyebar bau busuk
Saat diumumkan menjelang pagi bahwa perempuan Omaleng itu meninggal,
lalu kerabat-kerabatnya berpencar menyiarkan berita. Para remaja dan pemuda
menyebar mengabarkan berita duka ke wilayah Muara (Ainggogin,Anggigi dan
Ombani), perempuan-perempuan dari fam Omaleng yang menikah dengan Beanal,
Abugau dan Bukaleng harus dikabari. Kebetulan saja mereka merupakan penduduk di
3 kampung di wilayah Muara itu yang jaraknya tidak terlampau jauh dari kampung
Omaleng. Kalau ada kerabat laki-laki atau perempuan Omaleng yang bermukim di Timika
atau Tembagapura berarti mereka harus dikabari misalnya para adik, laki-laki
dan perempuan -perempuan Kepada Desa, adik laki-laki dan perempuan isteri
Kepala Desa yakni fam Janampa yang migran dan
menetap di Banti dan Timika. Memang dalam sehari kabar kematian itu sudah
didengar oleh seluruh kerabat perempuan yang meninggal itu. Mereka yang jauh mendapat
kabar soal kematian itu melalui telepon selular
[5]
Remaja dan pemuda Omaleng yang lainnya memberitakan ke
Baluni dan Wabbera. Baluni adalah kampung ibu almarhum yakni fam Jangkup,
sementara Wabbera adalah kampung bapak almarhum. Selain pemberitaan pada
kampung-kampung yang berdekatan, Omaleng juga memberi kabar kerabat yang lain
yang kait mengkait dari perkawinan dan keturunan yang tinggal di Tembagapura, bahkan
yang berada di perantauan di luar Kabupaten ini. Beberapa orang naik ke bukit
untuk mendapat sinyal HP, lalu mengirim kabar ke kerabat-kerabatnya.
Perempuan yang meninggal itu adalah isteri kelompok Omaleng,
maka ia menjadi bagian dari kelompok itu walaupun ikatan dengan kelompok fam pihak
perempuan tetap ada dan penting. Dalam prinsip keturunan patrilineal
[6], keluarga Omaleng
menjadi Tuan Rumah dalam acara ritual kematian perempuan fam janampa itu.Tuan
Rumah diartikan bahwa fam atau kelompok Omaleng harus bertanggungjawab secara adat
untuk mengurus segala keperluan penguburan.Karena itu Omaleng adalah kelompok
yang paling sibuk. Ia mengerahkan kerabat-kerabat baik seketurunan maupun
perkawinan. Kerabat perempuan omaleng yang sudah menikah menjadi pekerja
bersama suaminya.
Para remaja dan pemuda membawa kayu bakar dari bukit untuk
menghangatkan itongoi tempat perempuan yang meninggal berada. Sementara remaja
dan pemuda yang lainnya membuat peti mati. Peti mati itu dibuat dari bahan
serba terbatas; papan dan tripleks sisa pembangunan gereja yang ada di rumah Kepala
Kampung.Pemimpin muda yang diharuskan membuat peti mati adalah pewarta injil
yang malam sebelumnya berteriak lantang mengumumkan kematian perempuan Janampa.
Ia juga fam Janampa, karenanya ia mempunyai ikatan tanggungjawab atas
kelancaran acara penguburan. Pemuda Janampa itu juga menjadi gembala, istilah
untuk menunjukkan bahwa yang bersangkutan berpendidikan agama Kristen Kingmi,
ia biasa memimpin kebaktian bilamana pendeta tidak hadir, Tidak saja statusnya
yang demikian, tetapi pewarta Injil itu berasal dari fam Janampa. Fam yang sama
dengan almarhum dan juga isteri dari KepalaKampung.
Beberapa pemuda dari fam Omaleng juga ikut membantu. Mereka
mencari paku bekas dipakai untuk merapikan peti mati yang diambil dari rumah perempuan
Janampa yang tinggal di ujungkampung
[7].Dengan
berbagai keterbatasan tripleks dan papan, akhirnya peti mati berbahan tripleks
dan papan tambal sulam siap dipakai.Peti mati diletakan di lapangan depan
Itongoi dalam keadaan terbuka, dan disiapkan setelah upacara kebaktian jenazah
akan segera dimasukkan ke peti.
Sementara itu para ibu sejak pagi sudah berangkat ke kebun
untuk persiapan masak sayur petatas dan keladi untuk makan bersama. Para lelaki
dewasa pergi mencari tebu dari kebun fam Jangkup
[8]
yang belum menikah, walaupun usianya tak lagi remaja,. untuk para pekerja yang
membuat peti dan bawa kayu bakar. Menjelang siang para pekerja itu sudah berada
di lapangan dekat dengan Itongoi/Honai.
Para ibu sedang masak sayuran untuk makan bersama. Masak dilakukan
di rumah Kepala Kampung, rumah yang paling dekat dengan lapangan dan Itongoi.Para
kerabat lelaki dari berbagai tempat sudah ramai berdatangan dan berkumpul di lapangan
di depan itongoi. Para kerabat perempuan yang berdatangan langsung ke dapur
membantu memasak. Anak-anak bermain di lapangan.
Rencananya anak perempuan dan adik laki-laki almarhum akan
datang.Anak perempuan itu sekolah di timika tinggal bersama pamannya yakni adik
almarhum. Berita akan kedatangan anak perempuan dan adik almarhum tak menentu. Kabarnya
dia akan naik bis ke tembagapura dan kemudian dilanjutkan dengan jalan kaki dari
Tembagapura ke Jagamin. Kabar lain mengatakan bahwa mereka berdua akan langsung
dari Timika ke Jagamin menggunakan helikopter.
Semula, berdasarkan pembicaraan dengan para orangtua dan
tokoh senior kampung-kampung, jenazah akan dikuburkan pada waktu hari kematian.
Alasannya adalah jenazah sudah mulai menebarkan bau kurang sedap.Namun demikian
pihak Omaleng berkeinginan bahwa jenazah dikuburkan keesokan harinya sambil menunggu
adik dan anak dari jenazah yang belum sampai Jagamin. Iberanus mewakili
keluarga omaleng mengatakan kepada ipar-iparnya bahwa penguburan dilakukan
besok pagi. Akhirnya setelah disepakati, diputuskan bahwa penguburan dilakukan
besok pagi.
Semua orang di situ berdoa agar cuaca cerah sehingga adik
dan anak perempuan almarhum bisa datang esok pagi menggunakan helikopter.
Dengan datangnya anak dan adik almarhum maka sesuai rencana upacara penguburan
segera dilaksanakan. Siapapun yang tinggal di situ cemas dan tak yakin cuaca
esok akan lebih cerah dari hari itu. Cuaca yang selalu mendung sejak sebulan
terakhir ini membuat hampir tak ada helikopter melintas di udara wilayah
Jagamin. Bahkan, kata Kepala Desa, bahan makanan pokok di beberapa
koperasi
di kampung Muara kosong karena
tidak ada suplai dari Timika atau Tembagapura.
Kalau mau mengejar upacara penguburan keesokan harinya, maka satu-satunya
kendaraan adalah Helikopter. Namun cuaca mendung dan hujan akan menjadi
hambatan utama bagi kerabat-kerabat dekat almarhum yang berada di Timika maupun
di Tembagapura untuk
segera datang ke
kampung ini
[9].
Siang sampai dengan malam seluruh kerabat di wilayah Aroanop
sudah berdatangan. Keluarga besar Jangkup dari berbagai kampung yang berdekatan
sudah datang. Jangkup adalah keluarga pihak Ibu dari almarhum. Mereka menjadi
salah satu penentu dalam kesepakatan penguburan. Keluarga besar Jenampa juga
demikian. Jenampa adalah keluarga dari
pihak Bapak almarhum. Keluarga Omaleng seluruhnya sudah berada di kampung
Jagamin.
Esoknya, cuaca masih tetap mendung, mereka tidak berharap
lagi bahwa anak dan adik almarhum bisa datang sebelum jenazah dikubur. Lalu
jenazah dimasukkan dalam peti dengan upacara secara Kristen Protestan yang dipimpin
pendeta Jangkup. Peti tidak ditutup.
Setelah itu peti dibawa keluar itongoi di letakan di tengah lapangan. Kemudian
dilakukan pelepasan jenazah dengan kebaktian. Lalu peti ditutup dan para pemuda
membawa peti ke kuburan. Hanya para pemuda dan beberapa kerabat dekat yang
mengantarkan ke kuburan. Mereka,pemuda , berbadan tegap dan kekar yang dianggap
mampu memanggul peti sekaligus memasukan peti ke lubang kemudian menimbun
lubang sampai membentuk gundukan
kuburan. Sementara para orangtua, tokoh dan juru bicara fam dan kerabat-kerabat
yang lainnya menunggu di lapangan duduk atau berdiri mematung, bercakap-cakap
dengan suara rendah sambil menunggu para remaja dan pemuda kembali.
Tak lama jenazah dikubur dan para pemuda satu per satu sudah
kembali ke lapangan, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, matahari bersinar, tak lama
deru mesin helikopter terdengar. Sebuah helikopter mendarat di Jagamin, membawa
adik dan anak perempuan almarhum. Mereka berdua tidak sempat melihat jenazah,
tetapi mereka sudah pasrah. Kedua orang yang ditunggu itu langsung ke kuburan,
berdoa untuk almarhum secara pribadi.
Kesepakatan penentuan penguburan
Tidak nampak seperti yang kami bayangkan sebuah upacara
penguburan yang penuh dengan orang-orang berpakaian tradisional. Muka-muka yang
dicoreng moreng seperti yang kami lihat foto-foto di buku Kal Muller dan Yunus
Omabak. Salah satu bab dari buku itu membahas tentang upacara bakar batu secara
umum di Lembah Aroanop namun kurang mengkaitkan pada peran fam-fam yang ikut
ambil bagian pada acara itu (Muller, Kal dan Yunus Omabak, 2008). Apa yang
dideskripsikan melalui foto dan tulisan itu tidak kami temukan pada upacara
penguburan perempuan Omaleng. Semua berlangsung biasa saja, seperti layaknya
sebuah peristiwa kedukaan. Hal yang paling nampak adalah tangisan, ungkapan
perasaan sedih dari kerabat-kerabat almarhum terutama yang mengenalnya secara
dekat. Namun ada hal yang penting dalam upacara penguburan, yakni penentuan
hari penguburan.
Penentuan hari penguburan melalui sebuah proses tawar menawar
yang ketat. Walaupun Omaleng adalah tuan rumah dalam peristiwa ritual kematian
dan penguburan, tetapi omaleng tidak menentukan seluruh proses itu. Omaleng
harus menyampaikan rencananya dan minta pendapat kepada kelompok Jangkup dan
kelompok Jenampa atas rencana itu. Rencana itu disampaikan di depan semua
kerabat almarhum yang bertalian secara keturunan dan perkawinan. dalam hitungan jam setidaknya semua perwakilan
kerabat tali temali dari keturunan dan perkawinan sudah berkumpul di lapangan
untuk menentukan hari penguburan. Seorang setengah baya fam Jangkup dan pendeta
yang juga fam Jangkup berpidato secara bergantian di lapangan di depan Itongoi,
disaksikan oleh seluruh kerabat yang membentuk setengah lingkaran. Dua orang
tokoh senior Jangkup berharap agar jenazah segera dikubur. “kami dari pihak
Jangkup sudah diberitahu sejak almarhum sakit, kami sudah melihat keadaan
almarhum, kami sudah berdoa ketika almarhum sakit tidur di Itongoi. Karenanya
kami berharap agar almarhum segera dikubur tanpa perlu menunggu sehari lagi.. Demikian
inti pidato yang dinyatakan oleh pihak Jangkup. Hal lain dinyatakan juga oleh
mereka berdua bahwa semakin cepat dikubur maka semua kerabat dapat langsung
kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
Dua perwakilan dari Jangkup adalah pengurus dan pendeta
agama Kingmi yang menghendaki agar proses penguburan itu lebih cepat lebih
baik. Kata mereka jangan berlarut-larut sehingga tuan rumah dibebani
menyediakan makanan terus menerus. Salah seorang perwakilan Jangkup itu lebih
khusus lagi mengatakan bahwa dia tidak dapat bolos kerja. Kalau sampai lebih
dari dua hari, dia harus minta izin dan potong gaji. Karenanya ia memohon agar
hari ini juga proses penguburan dilaksanakan.
Pendeta Jangkup juga menjelaskan bahwa saat ini persediaan
makanan di kebun semakin menipis. Kebun kebun banyak yang gagal panen karena
longsor. Sementara mereka tidak dapat beli beras ke Timika karena tidak ada
angkutan udara. Ia menyarankan kepada pihak keluarga yang kedukaan, Omaleng,
supaya tidak perlu menyiapkan makanan berlebihan. Pihak Jangkup sadar bahwa
makanan saat ini menipis. Sebab, Pendeta itu mendengar selentingan bahwa
Omaleng merasa malu tidak bisa menyediakan makanan besar yang bergengsi.
Alasan dari pihak Jangkup rupanya tidak diterima oleh pihak
Omaleng. Mereka mengatakan penguburan dilakukan setelah kedatangan anak dan
adik almarhum. Juru bicara tuan rumah, Omaleng memutuskan bahwa penguburan dilakukan besok.
Pernyataan itu mengundang reaksi keras dari Pendeta Jangkup. Dia marah dan mau
pulang saja ke Baluni. Besok dia tidak mau memimpin upacara penguburan. Baginya
acara berlarut larut membuat banyak orang jadi terhambat kegiatan berkebunnya.
Segera setelah diputuskan acara akan dibuat besok, pendeta itu pulang ke
Baluni. Faktanya Pendeta datang lagi dan memimpin upacara penguburan.
Secara pribadi, pendeta Jangkup mengatakan kepada kami bahwa
almarhum tidak suka kedatangan adiknya. Sejak almarhum berada di Timika,
adiknya selalu minta uang kepadanya sampai uangnya habis. Alasannya untuk
keperluan bisnis, tetapi uang itu tidak pernah dikembalikan. Adiknya tidak
pernah membantu dia selama hidup, tetapi justru sebaliknya. Karenanya ketika
dia sakit keras, almarhum lebih suka kembali ke kampung daripada di Timika. Saat
menjelang kematiannya, almarhum menolak bertemu dengan adiknya.
Pendeta Jangkup tahu bahwa almarhum tidak menyukai adiknya.
Makanya ketika perempuan itu meninggal pendeta mengusulkan segera dikuburkan
tanpa perlu menunggu adik laki-lakinya. Akan tetapi Pendeta juga tahu bahwa almarhum
ingin sekali ketemu dengan anak perempuannya. Sayangnya keinginan itu tidak
terpenuhi selagi dia hidup.
Bukan saja pendeta Jangkup yang mengetahui persoalan konflik
kakak beradik itu, tetapi keluarga dekat juga mengetahui. Adik almarhum dikenal
pemabuk, putus sekolah, bisnisnya tidak maju, malahan cenderung hanya menghamburkan
uang. Beberapa orang di Jagamin mengatakan bahwa adik almarhum bergaya seperti
orang kaya saja selama di Timika. Kemampuannya hanya minta uang ke kerabat yang
bekerja sebagai karyawan perusahaan atau kerabat yang menjadi pengusaha. Itu
gambaran adik almarhum di mata banyak kerabat dekatnya.
Walaupun banyak orang tidak suka dengan adik almarhum dan
karenanya berharap perempuan itu segera dikubur, namun, keluarga dekat tetap
berharap bahwa adik perempuan itu bisa datang, bahkan di saat almarhum masih
sakit dan sudah tak berdaya. Isteri Kepala kampung Jagamin yang juga kakak
kandung almarhum adalah orang yang gigih mengatakan bahwa penguburan harus
dilakukan setelah adiknya yang juga adik almarhum sampai di kampung ini. Penundaan
penguburan, salah satunya karena kuatnya pengaruh kakak perempuan tertua
almarhum yakni isteri Kepala Kampung. Namun adiknya tidak kunjung datang sampai
proses penguburan berlangsung. Adiknya baru datang setelah perempuan itu dikubur.
Dalam pidatonya, pendeta Jangkup mengatakan agar Tuhan
memberikedamaian dan ketenangan kepada ibu yang meninggal itu. Janganlah ia
menjadi dendam kepada saudara laki-lakinya walaupun telah membuatnya sengsara.
Setelah penguburan selesai, kembali kegiatan Kalawin
dilakukan, kerabat-kerabat berkumpul membahas soal hutang piutang dari almarhum. Pembahasan ini penting Ini supaya segala
hutang si meninggal dilunasi oleh kerabat dekatnya. Setiap kerabat yang ada di
situ menceritakan apa saja yang dihutangi oleh almarhum dan apa saja yang mesti
dibayar kepada almarhum. Katanya ini berkaitan dengan pelunasan hutang akan
membawa jalan roh menjadi lancar ke alam surga.
Penyakit perempuan
Omaleng dan Penyebab kematiannya
Sewaktu mendengar kabar bahwa perempuan Omaleng sakit, kami tanyakan
penyakit apa yang diderita oleh perempuan itu? Kepala kampung memberitahu bahwa
dia menderita penyakit menular yang sulit disembuhkan, yakni HIV/Aids. Entah
berita itu benar atau salah kami tidak tahu, dan di kampung ini tidak ada yang
bisa mengatakan bahwa memang itu penyakitnya. Dugaan kami, Kepala Kampung sudah
diberitahu oleh Rumahsakit tentang penyakit itu tetapi tidak mau mengatakan
kepadakami.Kepala Desa berharap bahwa perempuan itu dibawa kembali ke rumahsakit
untuk pengobatan lebih baik daripada di kampung. Ia mengirim berita kepada
rumahsakit di Tembagapura agar membawa pasien ini ke sana. Tetapi tak ada
satupun helikopter yang datang. Tidak sembarang sebuah helikopter rumahsakit
membawa pasien sakit parah. Rumahsakit butuh informasi rinci dari petugas
kesehatan setempat (Aroanop). Padahal tidak ada satupun petugas kesehatan yang
dapat memberi laporan medis tentang pasien itu. Kemungkinan besar rumahsakit menolak
datang. Kemungkinan lainnya adalah karena cuaca yang selalu mendung membuat helikopter
tidak mungkin dapat mendarat di Aroanop.
Dua alasan itu masuk akal, pertama perempuan itu memilh
pulang ke kampung karena di Timika sudah tidak ada lagi yang bisa merawat. Dia
lebih suka pulang ke rumahnya di Timika daripada harus rawat inap di rumahsakit
Timika. Sambil bersiap siap kalau ada helikopter SoS yang bisa mengangkut dia
kembali ke kampungnya. Kedua, selama dia berada di kampung, cuaca mendung terus
menerus, bahkan jadwal kami, peneliti tertunda selama seminggu.
Salah seorang peneliti dari tim kami pernah bicara dengan kerabat-kerabat
yang saat itu menunggui almarhum ketika masih sakit. Mereka mengatakan setelah
dia meninggal, maka akan ada empat orang lelaki lagi yang akan meninggal.
Dugaan kami adalah dia telah menularkan penyakitnya melalui hubungan seks
dengan empat lelaki itu. Sayangnya dia tidak menyebutkan siapa lelaki yang
dimaksud. Dugaan kuat itu juga diilhami dari kematian suaminya yang juga kena
penyakit yang sama dengan dirinya. Kami tidak pernah bertemu dengan suami almarhum,
Dia sudah meninggal ketika kami tiba di Aroanop. Tetapi Kepala Kampung
mengatakan bahwa suaminya kena penyakit menular ketika di Timika. Dugaan kami ,
isterinya, perempuan Omaleng itu ditulari oleh suaminya.
Kepala kampung mengatakan ada beberapa warganya yang juga
kena penyakit itu, tetapi dia mengatakan itu rahasia. Tidak boleh disebarkan ke
masyarakat. Nanti yang bersangkutan akan malu. Bukan saja di Kampung Jagamin,
tetapi di kampung kampung lain di Aroanop juga ada yang kena penyakit itu. Di
Ombani ada dua keluarga yang mati semua karena penyakit itu. Tidak disebutkan
kapan terjadinya. Tetapi mereka mati dalam waktu relatif pendek. Kepala Kampung
tidak menghitung berapa jumlah orang yang kena aids (ia tidak tahu atau tidak
mau menceritakan hal ini). Tetapi mereka yang kena aids adalah mereka yang
sering bepergian ke Timika.
Cerita Kepala Kampung adalah orang Aroanop yang melancong ke
Timika senang mabuk, main perempuan dan berjudi. Mereka dapat uang dari yayasan
binaan perusahaan tambang, lalu menggunakan uangnya bukan untuk usaha melainkan
foya-foya. Akibatnya adalah ketularan penyakit dari perempuan PSK yang banyak
di Timika.
Program kampanye HiV/Aids gencar dilakukan. Secara khusus
LSM yang berkecimpung soal penyakit itu sudah mengkampanyekan pencegahan
penyakit HiV/Aids. Semua orang tahu bahwa penyakit itu berbahaya. Kata Kepala Kampung
“tetapi semua orang, terutama laki-laki lupa diri ketika berada di
tempat-tempat hiburan”. Satu saja ketularan penyakit itu lalu berhubungan seks
dengan isterinya, maka bisa jadi isteri dan anak-anaknya kemudian akan kena
penyakit menular.
Penyakit menular di kalangan penduduk di daerah pegunungan
merupakan sebuah kajian yang perlu dilakukan. Penyakit HIV/Aids di Timika dan
sekitarnya termasuk salah satu yang tertinggi di Indonesia. Kampanye pencegahan dan tindakan
yang mesti dilakukan terhadap penyakit ini cukup gencar dilakukan, namun penyediaan
klinik dan petugas kesehatan kurang memadai. Salah satu contoh adalah klinik
kosong tidak ada petugas dan tidak ada obat. Bahkan untuk penyakit-penyakit
luka tidak dapat diobati karena
petugasnya lebih suka berada di Timika daripada bertugas di daerah terpencil.
Menurut cerita, almarhum tidak dapat diangkut karena tidak
ada laporan resmi dari petugas kesehatan setempat bahwa yang bersangkutan mesti
segera dibawa ke RS. Prosedur pengangkutan pasien dengan helikopter dilakukan
bilamana ada laporan resmi dari petugas klinik. Laporan itu dsampaikan melalui
radio. Tanpa itu, maka helikopter tidak akan datang. Ini untuk menghindari
kedatangan yang sia-sia. Pernah helikopter datang untuk membawa pasien karena
dilaporkan pasien itu sakit parah. Yang melaporkan adalah Kepala Kampung,
ternyata pasien hanya pura-pura lemas, tujuannya mau ke Timika menggunakan helikopter.
Dari pengalaman itu, maka helikopter tidak mau berangkat tanpa ada permintaan
resmi dari klinik. Bagaimana ada permintaan kalau petugas klinik tidak ada di
tempat.
Mereka yang tinggal dan bermukim di pegunungan, di daerah
yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki atau pesawat udara, memerlukan
klinik kesehatan yang lengkap. Petugas dan obat obatan tersedia 24 jam.
Jangkauan pelayanannya harus dengan akses yang memadai. Klinik di Aroanop hanya
ada di Omponi, sebuah wilayah pelayanan publik di mana ada kantor kampung,
klinik, sekolah, pasar yang harus menjangakau seluruh warga yang tinggal di
lembah aroanop yang luas. Jangkauan ke kampung-kampung sekitarnya hanya
dilakukan dengan jalan kaki. Sebagai contoh, jarak dari klinik Omponi ke kampung
Jagamin minimal ditempuh enam jam jalan kaki normal. Kalau harus memikul pasien
pasti lebih dari itu. Tidak ada transportasi darat. Satu-satu transportasi
adalah dengan helikopter. Prosedur minta helikopter belum tentu bisa dilayani
dengan cepat mengingat helikopter juga memprioritaskan pasien-pasien lain di
derah lain yang relatif sama kondisinya.
Sejauh ini fasilitas kesehatan (dan juga pendidikan dan
ekonomi) diberikan oleh perusahaan tambang di situ. Pemerintah Daerah
menyediakan tenaga kesehatan dan pendidikan untuk ditempatkan disana, walaupun
mereka itu hanya 1 bulan saja dalam 1 tahun berada di sana.
Penyediaan petugas kesehatan, juga memerlukan penyediaan
logistik (makanan dan peralatan yang diperlukan selama dinas disana). Faktanya,
seperti yang diceritakan oleh para petugas itu, logistik mereka sudah habis
dalam waktu satu bulan, selebihnya mereka harus mengusahakan sendiri. Tiap
bulan tidak ada dropping logistik dari pemerintah.
Kepercayaan tentang kematian
Dalam tradisi masyarakat Amungme, orang yang sudah meninggal
harus dikubur. Tetapi orang yang meninggal
akibat pertempuran harus dibakar. Kepercayaan Kristen mengharuskan
rentetan upacara penguburan tidak berlarut larut. Secara garis besar jangka
waktu dari mulai meninggal sampai penguburan tidak boleh lebih dari 3 hari.
Nampaknya tidak ada pembedaan antara yang meninggal adalah
laki-laki atau perempuan. Pembedaan lebih nampak kalau yang meninggal adalah
menagawan atau inagawan. Menagawan maupun inagawan adalah tokoh masyarakat. Menawagan
untuk laki-laki sedangkan inagawan adalah untuk perempuan.
Kasus yang kami tulis ini adalah kematian dan penguburan adalah
perempuan, janda beranak satu, tidak digolongkan sebagai inagawan. Ia bersama
suami merantau ke Timika. Sepanjang hidupnya tidak tinggal di kampung. Selain
itu sudah diketahui penyakitnya yang menyebabkannya meninggal dunia.Sepertinya tidak
ada yang melakukan protes atau menuntut pihak lain yang dianggap menjadi penyebab
kematian. Keluarga besar perempuan Omaleng itu berasal dari fam Janampa dan beribu
fam Jangkup, tidak mempersoalkan hal itu.
Pidato dan ulasan tentang kematian perempuan Omaleng di saat
menjelang dan paska penguburan intinya mengenai perjalanan hidupnya dan kematiannya
dan harapan perjalanan pindah tempat
almarhum
mendapat perlindungan dari nenek moyang dan Tuhan
[10].
Sesungguhnya hidup dan mati hampir tidak ada batasnya. Orang
mati hanya pindah tempat, dari tempat yang disebut dunia nyata, kedunia roh.Dunia
roh dipercaya sebagai tempatnya nenek moyang ,sebagian dari mereka menyebutnya
“tuantanah”
demikian yang diceritakan oleh Tom Beanal, salah seorang tokoh terkemuka
masyarakat Amungme (Beanal,...).
Orang Amungme tidak mempertentangkan antara nenekmoyang-/Tuan
Tanah dengan Tuhan.Penguasa itu diyakini sebagai dua hal yang tidak kontradiktif
tetapi saling bersinergi. Seorang yang hidupnya selalu mengganggu adat akan celaka.
Kecelakaan buat hal yang kebetulan, tetapi karena orang itu punya kesalahan terhadap
Tuan Tanah
[12]Tetapi orang Amungme
juga percaya bahwa di dunia roh tidak semuanya adalah baik dan melindungi warga
masyarakatnya. Ada roh-roh jahat yang gentayangan di dunia itu yang bisa masuk
ke dalam badan manusia melalui berbagai macam cara. Misalnya kasus hilangnya
beberapa babi peliharaan di kampung Ainggogin dipercaya telah dibawa oleh
roh-roh jahat ke dalam hutan. Ketika babi babi itu ditemukan oleh salah seorang
warga kampung, lalu babi itu harus dipotong dan dimasak lalu dagingnya
diberikan kepada seluruh warga kampung. Babi-babi yang telah ditemukan tidak boleh
dipelihara karena di dalam jiwa babi itu sudah dihuni oleh roh roh jahat. Cara
untuk menghilangkan roh jahat itu adalah dengan mematikan babi dan memakannya.
Kematian perempuan Omaleng itu dipercaya adalah hilangnya
jiwa dari tubuh secara wajar. Perempuan itu hanya pindah tempat. Ia sudah aman dan
bahagian bersama roh roh nenek moyang dan bersatu dengan Tuhan. Pendeta dan
para senior mengucapkan hal itu supaya menguatkan iman kepada para kerabat yang
ditinggalkan almarhum. Pendeta dan beberapa senior masyarakat kampung itu tidak
saja mengadakan kontak denga para roh dan penguasa dunia roh dan juga Tuhan,
tetapi juga berbicara kepada warga bahwa kematian itu bukan hal yang
menakutkan.Jasatnya dikubur, tetapi rohnya terbang menuju ke alam roh-roh yang mendiami
gunung, sungai, lembah di sekeliling kampung mereka, dan akhirnya menyatu
dengan Tuhan. Dengan kata lain bahwa kematian adalah suatu peristiwa yang
berada di luar kemampuan manusia namun memerlukan penjelasan yang dapat
mengurangi rasa cemas dan takut (Malinowski, 1926).
Pidato dalam kalawin oleh beberapa orang senior tentang
kematian adalah pindah tempat seperti yang diungkapkan oleh Van Gennep dalam
kajiannya tentang Rite de Passage yakni sebuah rangkaian perjalanan hidup
manusia. Ada saat di mana perjalanan hidup manusia dalam posisi krisis, antara
lain perpindahan dari dunia nyata ke dunia roh melalui sebuah proses kematian
(Van Gennep, 1960). Karena pentingnya krisis itu maka diperlukan sebuah ritual
yang bukan saja melancarkan jalan bagi orang yang meninggal, tetapi juga
mengingatkan kepada yang hidup untuk selalu ingat bahwa ada saatnya mereka akan
sampai pada kematian (Malinowski, 1926).
Pada akhirnya sebuah ritual penguburan perempuan Omaleng dilakukan untuk mengingatkan dan menggugah seluruh
warga akan kesamaan nilai, norma hidup dan mati, asal usul, sanksi dan ganjaran
sebagai aturan bermasyarakat (Radcliffe-Brown, 1952)
Solidaritas
Menurut Durkheim (1915) fungsi yang paling penting dari
upacara penguburan (kematian) adalah menegaskan ikatan kemasyarakatan atau
struktur sosial masyarakat. Upacara
sebagai aturan ritual berfungsi menjaga integrasi dan keteraturan sebagai kesadaran
bersama akan identitas dan nilai yang sama sebagai satu kelompok keturunan dan perkawinan
untuk mencapai tujuan bersama. Menurutnya, itu yang dimaksud sebagai
solidaritas yang mempunyai kekuatan mempersatukan anggota-anggota
masyarakatnya. Demikian pula dengan komunitas di kampung atau kampung-kampung
di lembah Aroanop.Walaupun secara administrasi mereka terpisah menjadi penduduk
kampung-kampung di Kepala Air dan Muara, namun ikatan kekerabatan melintas antar
kampung.
Almarhum adalah ipar Kepala Kampung. Ia adalah adik dari
isteri Kepala kampung. Ia, demikian pula
isteri Kepala Kampung adalah perempuan yang berasal dari FamFam Jenampa karena
Bapak mereka adalah famfam Jenampa. Karena itu ketika ia meninggal dunia, seluruh anggota fam Jenampa
beserta rombongan suami isteri datang ke rumah duka.
Bagi Tuan Rumah, ipar-ipar yang berasal dari fam Jenampa
harus mendapat penghormatan. Hubungan periparan dalam masyarakat Amungme dan
Pegunungan Tengah umumnya adalah penting, terutama dalam upacara atau life
cycle untuk menunjukan solidaritas sesama kerabat, demikian pula sebaliknya
ritual juga berbobot sama penting sebab
peristiwa ini adalah saat dimana setiap kerabat diingatkan bahwa mereka terkait
atas dasar keturunan dan perkawinan.
Selain fam Jenampa, datang pula fam Jangkup yang juga amat
penting dalam menjaga solidaritas. Sebab ibu dari almarhum berasal dari fam Jangkup. Karena itu saudara
laki-laki dari ibu mereka menentukan pula dalam acara-acara life cycle.
Apa yang kami lihat dalam proses penguburan adalah Jenampa
menyerahkan keputusan kepada isteri kepala kampung soal riwayat hidup almarhum,
perkawinannya, keturunannya, penyakit, dan kapan waktu penguburan. Karena
Jenampa adalah pihak perempuan, dan tidak ada perempuan yang bisa tampil dalam
menjelaskan soal itu, ,maka Iberanus mewakili fam Omaleng sebagai Tuan
Rumah.
Pidatonya pada saat kalawin (musyawarah) menyatakan bahwa
jenazah tidak dapat dikuburkan sekarang karena masih menunggu kedatangan adik
dan anak almarhum yang tinggal di Timika. Menurut berita mereka sedang menunggu
transportasi atau alat angkut udara yang disediakan oleh Perusahaan bagi keluarga
yang sedang kedukaan. Mengingat cuaca
yang mendung, kemungkinan mereka akan naik bis ke Tembagapura, kemudian
dilanjutkan jalan kaki menuju Aroanop (Kelapa Air).
Tidak semua pihak setuju dengan rencana itu. Pihak Jangkup,
yakni pihak dari saudara laki-laki ibu almarhum mengatakan bahwa jenazah
sebaiknya dikuburkan sekarang. Sebab, banyak orang yang harus bekerja, baik
sebagai petani maupun karyawan perusahaan. Kedua, semakin lama dikuburkan,
semakin besar beban tuan rumah untuk menanggung persediaan makanan. Beban ini
makin diperberat semenjak lahan-lahan di sekitar itu longsor, sehingga banyak
gagak panen. Ketiga menurut ajaran agama yang mereka yakini, penguburan tidak
boleh lama. Karena alasan-alasan itu, maka pihak jangkup mengusulkan untuk
segera dilaksanakan upacara pennguburan secara Kristen.
Usulan Jangkup itu dihormati, tetapi pihak omaleng tetap
berpendirian bahwa penguburan akan dilakukan besok. Sekali lagi diulang bahwa
pilihan waktu esok hari adalah memberi kesempatan waktu bagi adik dan anak
almarhum untuk datang melihat ibunya terakhir kali. Tetapi ditambahkan oleh
Iberanus Omaleng bahwa besok harus dikuburkan, dengan atau tanpa adanya adik
dan anak almarhum. Tambahan ini untuk menghormati pihak-pihak yang meninggalkan
kampung, pekerjaan atau yang lainnya.
Pertentangan antara fam fam yang menjadi penentu penguburan
jenazah mencerminkan pendapat Turner (Turner 1995) bahwa upacara penguburan
adalah panggung drama, dimana di sarana ini tidak berlaku struktur realita,
dengan kata lain adalah anti struktur. Namun Maurice Bloch menyatakan bahwa
upacara itu adalah sebuah bentuk komunikasi. Para pelakunya menggunakan
perbendaharaan kata yang terbatas, tatabahasanya tertentu, sehingga kata-kata
yang ada dalam proses upacara tidak bisa diperdebatkan, dan pada gilirannya
adalah sebuah kompromi antara berbagai pihak yang terlibat (Bloch, Maurice 1971).
Ini ditunjukkan melalui adanya kesepakatan dalam perbedaan bahwa
penguburan dilaksanakan esok hari. Semua pihak bermalam di Itongoi sesuai
dengan fam mereka. Laki-laki tidur di Itongoi, sementara perempuan tidur di ongoi
keluarga. Kecuali beberapa orang dari pihak Jangkup yang memilih pulang ke
kampungnya yang tidak jauh dari situ. Semua pihak seolah berdamai dan bersiap
untuk melaksanakan penguburan esok hari.
Penguburan diawali dengan kebhaktian berdasarkan Kristen,
dipimpin oleh Pendeta Albert Jangkup
[13].
Iringan tangis kerabat mulai terdengar ketika peti jenazah ditutup dan langsung
dibawa ke kuburan.
Tidak banyak yang ikut ke kuburan, kecuali mereka bertenaga kuat
yang sanggup memikul peti jenazah, umumnya adalah anak muda. Tidak ada yang
penting dalam memasukkan peti ke lubang kubur. Tidak ada tokoh-tokoh penting,
senior kampung yang ikut menguburkan. Mereka hanya menunggu saja, lalu memulai
kalawin (pembicaraan musyawarah) soal hutang piutang almarhum.
Dalam pembicaraan soal hutang piutang dan nasib keturunan almarhum
dibahas oleh tiga pihak, yakni fam Omaleng, Fam Janampa dan Fam Jangkup.Sementara
fam-fam lain yang juga hadir di situ
hanya mendengarkan pembicaraan 3 fam penting itu.
Semula kami menduga, Kepala Kampung Ombani, Jonathan Beanal
juga akan bicara dalam Kalawin itu, namun dia mengatakan bahwa dia hanya orang
“pinggir” saja. Dia hanya membantu penyediaan makanan. Jonathan menikah dengan perempuan
dari fam Omaleng yakni adik perempuan dari bapaknya Opinus Omaleng. Jadi walaupun
Jonathan adalah Kepala Kampung yang punya wewenang atas penduduk kampungnya,
tetapi dalam konteks arena adat, dia menjadi orang “pinggir”.
Kalawin soal hutang piutang dan keturunan almarhum adalah
akhir dari upacara penguburan. Hutang piutang menjadi beban keluarga Omaleng,
sebab suami almarhum yang juga sudah almarhum adalah famfam Omaleng. Anak
mereka akan tetap ikut dengan adik almarhum yang fam Jenampa karena dia masih
sekolah di Timika. Tanggung jawab anak menjadi tanggungan Omaleng. Begitulah
pokok bahasan diujung rangkaian upacara penguburan yang sebenarnya mencerminkan
ikatan solidaritas keturunan dan perkawinan.
Kekerabatan dan
Kepemimpinan
Perhatian terhadap proses upacara lingkaran hidup (life
cycle) menarik hati karena disitu nampak fungsi kekerabatan dalam prakteknya. Bagi
kalangan Antropolog mempelajari upacara yang sakral lebih nyata dibanding
mempelajari sistem agama (Koentjaraningrat, 1986). Masyarakat yang relative homogen, bersahaja,
dan solidaritasnya masih bertumpu pada nilai dan norma kebersamaan, maka ikatan
kekerabatan menjadi amat sangat penting karena semua anggota terikat secara
multi garis yang didasari atas kekerabatan. Hubungan ketetanggaan, antarkampung
yang dasarnya adalah teritorial selalu bertumpu pada hubungan kekerabatan yang
mengacu pada keturunan dan perkawinan. Tidak dapat disangkal bahwa
kampung-kampung di Hulu (Kepala Air) dan di Hilir (Muara) saling terikat atas
dasar kekerabatan.
Peristiwa kematian perempuan Omaleng, prosesi penguburan dan pembicaraan paska penguburan
memperlihatkan hubungan berkelanjutan. Hal ini karena kematian sebagai rangkaian
life cycle berkaitan dengan peristiwa sebelumnya,
yakni ketika perempuan itu menikah dan menjadi anggota fam Omaleng.
Syarat untuk mengikat perkawinan, maka pihak laki-laki akan
menyerahkan maskawin kepada pihak perempuan. Pihak perempuan yang dimaksud di
sini adalah keluarga bapak dan keluarga ibu perempuan. Jadi ketika pihak
keluarga Omaleng menyerahkan maskawin kepada pihak Janampa dan Jangkup
[14].Ikatan perkawinan
yang ditandai dengan maskawin itu mengikat bukan saja suami isteri tetapi
kelompok fam nya yang masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab. Peran
itu nampak ketika
proses penguburan perempuan
Omaleng di mana ikatan kekerabatan berdasar perkawinan, keturunan dan periparan
menunjukkan fungsinya.
Penguburan, seperti halnya perkawinan tidak ditentukan oleh
satu kelompok saja. Penguburan merupakan sebuah prosesi yang ditentukan oleh
kesepakatan tiga pihak yang waktu lalu juga terlibat dalam prosesi perkawinan.
Seperti diuraikan di atas bahwa perdebatan soal jadwal penguburan antara fam
Omaleng dan fam Jangkup menunjukkan dinamika hubungan kekuatan. Sesungguhnya peristiwa
kesepakatan jadwal penguburan dapat dilihat dari dua sisi, yakni sisi panggung depan
di mana terjadi perdebatan antara Omaleng dan Jangkup. Ini bukan perdebatan
pura-pura atau bersandiwara, tetapi sebagai bagian dari status dan peran pihak
keluarga ibu yang meninggal untuk menyatakan pendapatnya di depan umum. Walaupun
pada akhirnya pendapat pihak ibu itu ditolak dan disepakati rencana dari pihak omaleng
yang digunakan.
Apapun yang terjadi, jadwal penguburan harus dilakukan sehari
setelah kematian perempuan itu.Itu yang
diucapkan oleh isteri Kepala Kampung.Semua orang patuh terhadap yostiana,
isteri kepala kampung itu. Yostiana bukan saja seorang isteri kepala kampung,
tetapi dia juga banyak menolong orang-orang warga kampungnya di Kepala Air
maupun yang migran di kota. Hampir seluruh kebutuhan pokok di luar dari yang
dihasilkan dari kebun, dipasok ke kampung atas kerja Yostiana.
Faktor lain adalah kepala kampung. Dia adalah kepala kampung
yang menagawan. Walaupun tidak pernah diakui olehnya sendiri, Kepala Kampung
mendistribusikan pekerjaan padat karya bukan saja untuk laki-laki tua muda,
tetapi juga untuk perempuan
[15]. Dua puluh persen
dana padat karya diserahkan untuk kegiatan PKK, antara lain dengan membeli
perabot rumahtangga, belajar memasak, dan makanan yang sehat. Pendek kata,
sebagai Kepala Kampung dia dianggap luar biasa.
Sesungguhnya Kepala Kampung itu mempunyai kekuatan politik
atau kekuatan yang memberi pengaruh terhadap sebagian besar warga karena pihak
yang mempengaruhi itu adalah pihak yang dihormati. Suami isteri Kepala kampung
adalah orang yang dihormati, tidak pernah keluar dari kampungnya yang artinya
selalu dekat dengan warganya. Bahasa politiknya adalah pemimpin yang dekat
dengan rakyat. Kepala kampung adalah juga pengurus gereja. Ia yang bertanggung
jawab menyelenggarakan kebaktian minggu.
Ia berperan penting dalam mendamaikan umat gereja GKII dan Kelompok
gereja Kingmi
[16].Berbeda dengan
kepala kampung lainnya yang ada di lembah aroanop yang sering tidak berada di kampungnya.
Malahan salah seorang Kepala Kampung tidak
pernah berada di kampungnya, yang menyebabkan banyak protes (diam) dari
warganya, kecuali mengeluh kepada orang luar seperti kami, bahwa Kepala Kampung
sering berada di kota (Timika) daripada di kampungnya sendiri. Warga tidak suka
dengan pemimpin seperti itu.
Karenanya penentuan penguburan, upacara, atau keputusan
penting yang berkaitan dengan Kampung atau harkat hidup banyak orang ditentukan
oleh kedudukan dalam kekerabatan dan juga sifat kepemimpinan. Kepala Kampung
tidak otomatis menjadi orang yang mempunyai kekuatan mempengaruhi orang banyak..
Pertarungan menentukan waktu penguburan juga berkaitan
langsung dengan pengaruh para pemimpin yang dipatuhi dan tidak dipatuhi. Banyak
orang mengakui bahwa pasangan suami isteri Jagamin itu adallah orang yang
berpengaruh, walaupun tingkat pendidikan mereka rendah. Kepala Kampung hanya
sekolah kelas 1 SD, isterinya tidak bisa baca tulis.Namun itu tidak menjadi
ukuran kepemimpinannya.
Seorang dari perusahaan tambang yang pernah bertemu dengan
Kepala Kampung Jagamin itu mengatakan bahwa dia adalah orang yang bisa
dipercaya. Setiap janjinya ditepati, orang yang ramah, murah senyum, bercanda
dan kadang mau mengeluarkan uang untuk traktir kami, walaupun hanya pisang
goreng. Dia berbeda dengan kebanyakan
orang dari sukunya. Dia patuh, taat agama, tidak merokok.. Kebanyakan pemimpin masyarakat
di sini lupa setelah menjadi kaya. Kami teringat ketika akan ke lembah Aroanop,
diusulkan oleh petugas pengembangan masyarakat dari perusahaan tambang, untuk
tinggal di kampung Jagamin. Alasan karena Kepala Kampung adalah orang yang
paling bisa dipercaya dibanding kepala kampung lainnya, atau tokoh masyarakat
atau Kepala Suku.
Akan tetapi, sering orang luar salah memahami pemimpin orang
amungme. Mereka kira dengan mempercayai seorang pemimpin, maka semua warga akan menuruti pemimpin itu.
Belum tentu. Persaingan antarpemimpin di saat bersamaan sering terjadi. Selama
kami di lembah Aroanop, setiap tokoh masyarakat mengaku bahwa dia adalah
Menagawan. Tetapi di luar kampungnya belum tentu status Menagawannya diakui.
Sementara itu status Menagawan juga bisa pupus sejalan dengan berjalannya
waktu. Barangkali dulu iya pernah jadi
pemimpin (yang dipercaya dan dihormati) tetapi itu belum tentu selamanya
demikian. Dalam perjalanan waktu pemimpin itu bisa saja lebih sibuk mengurus
kesenangan pribadinya, sehingga lupa dengan warganya. Akhirnya warganya tidak
percaya lagi dengan pemimpin itu.
Penutup
Seorang yang meninggal tidak sekedar dimasukkan ke dalam
lubang dan menguburnya. Van Gennep (1960) menyebutkan bahwa kematian yang
ditandai dengan penguburan telah mengubah status orang yang meninggal itu, dan
lebih penting dari itu adalah orang atau kerabat-kerabatnya memperlakukan orang
yang sebelumnya hidup kemudian mati.
Dalam peristiwa penguburan perempuan Omaleng yang terjadi di
Kampung Jagamin juga nampak bahwa musyawarah mufakat (kalawin), Nabub (hubungan
periparan) dan Pemimpin (menagawan), memberi corak atas peristiwa itu. Corak
yang dimaksud adalah struktur sosial
atau aturan tatakrama orang-orang di lembah aroanop yang terpencil.
Tatakrama atau acuan nilai dan norma itu dan praktek-praktek yang dilakukan
selama proses upacara dibutuhkan terutama kepada kerabat-kerabat yang hidup
untuk memperkuat mentalitasnya menghadapi dunia kematian yang berada di luar
jangkauan rasionya (Malinowski, 1926). Di lain pihak tatakrama itu juga dipakai
sebagai kerangka acuan bagi kerabat-kerabat yang hidup dan harus dilakukan oleh
mereka, sebab dengan memenuhi tatakrama itu maka kecemasan dan ketakutan atas
dunia kematian yang tak terjangkau oleh nalar, terobati. Karenanya
Radcliffe-Brown, A. R, 1952) menyebutkan bahwa upacara itu adalah cara
mempertahankan dan memelihara institusi (struktur) sosial dan hubungan sosial
dalam masyarakat
Peristiwa-peristiwa amat penting dalam lingkaran hidup orang
akan melibatkan konsep-konsep Kekerabatan dan politik (hubungan kekuatan yang
saling mempengaruhi) itu. Seperti kata orang bijak Amungme, kelahiran,
perkawinan, kematian adalah tahap pindah tempat yang amat penting dalam
lingkaran hidup. Karena pindah tempat itu adalah tahap kritis yang mengubah
status dan perannya, untuk melampaui tahap itu diperlukan ritual yang nampak
dari pandangan “orang luar” rumit namun sesungguhnya bertujuan agar di tempat
yang baru itu arwah yang meninggal itu lebih baik, lebih bahagia dan
sejahtera.
Daftar Kepustakaan
Beanal,
Tom. Amungme, Magaboaratnegel Jom
Bei Pem Bei. Penerbit,
kota, tahun?
Bloch,
Maurice. Placing the Dead. Academic Press. 1971
Durkheim,
Emile The Elementary Forms of the Religious Life. Free Press. 1995
Gennep,
Arnold Van. Rites of Passage. Routledge and Kegan Paul. 1960
Koentjaraningrat.
Pengantar Antropologi. Aksara Baru. Jakarta. 1986
Malinowksi,
Bronislaw. Myth in Primitive Psychology. Kegan Paul. 1926
Muller,
Kal dan Yunus Omabak. Amungme: Tradition and Change in the Highlands of
Papua. PT Frreeport Indonesia. 2008
Radcliffe-Brown,
A. R. Structure and Function in Primitive Society. Cohen 1952
Turner,
Victor. The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (Foundation of
Human Behavior). Aldine Transaction. 1995
[14]Tidak dapat dipungkiri bahwa tidak sedikit orang-orang Amungme yang menikah l ari untuk menghindar dari mahalnya maskawin. Salah seorang warga kampung menceritakan bahwa ia dan isterinya melarikan diri dan bermukim
di kampung ini untuk menghindar dari kejaran fam isterinya. Ia minta perlindungan
dari kerabatnya yang
menjadi toko senior di kampung itu untuk menyelesaikan persoalan maskawin.
Sesuai
dengan janjinya, Kepala Kampung bersedia mengantar kami ke kampungnya di Kepala
Air (bagian dari Aroanop) dan menyediakan rumah kosongnya untuk akomodasi. Kami
bertemu dia di Timika ketika Kepala Kampung sedang urusan dana Padat Karya (Respek),
belanja bahan pokok untuk warganya antara lain beberapa karung beras, gula dan
indomie.