Wednesday, 5 September 2018

gong

Gong tak pernah absen dalam upacara komunal Iban. Gong adalah media pengantar antara dunia nyata dan dunia roh

Konservasi Alam Adat

Tanya: Masih banyak ikan di sungai dekat sini?
Jawab: Tidak sampai satu jam ke arah hulu banyak ikan. Berangkat pagi sekali, tengah hari sudah sampai rumah. Ikan biasa diasapi dulu sampai kering, lalu goreng atau campur dengan sayur upak (isi pelepah dari pohon keluarga sagu), atau gambas. Ambil ikan dari hulu tak boleh dijual. Hanya untuk keperluan sendiri. Ada juga yang menjual, tapi harus pada warga kampung sini

Berkabung Saat Gawai

Saya kurang beruntung, upacara syukuran Gawai tidak ada tarian. Biasanya tarian bagian dari sambutan terhadap tamu tamu yang datang ke kampong ini. Ini karena salah seorang nenek di situ meninggal dunia. Jadi pesta meriah dibatasi. Tarian tidak ada, demontrasi gendang dikurangi. Dalam keadaan normal, tarian adalah bagian dari paket wisata berkunjung ke Kampung ini. Sepuluh penari remaja, 4 lelaki dan 6 perempuan, setingkat SMP menyambut setiap wisatawan yang masuk Betang (rumah panjang) Mereka memang disiapkan sebagai penari, berlatih di sekolah sesuai belajar. Diasuh oleh gurunya yang paham gaya tari tradisional sekaligus dicampur unsur gerak modern. Para remaja itu bukan saja piawaian sebagai penari, tetapi juga harus luwes bergaya depan kamera. Ini katanya antisipasi wisatawan yang suka memotret penari saat penyambutan. Nampaknya para inisiator paket wisata di Sui Utik harus memikirkan regenerasi penari yang berkesinambungan.

Kelompok Tenun

Di kampong Sui Utik ada kelompok tenun bernama “Telaga Kumang”. Artimya tempat mandi bidadari (terjemahan bebas). Menurut cerita Marytha Samay, Kumang yang mengajari menenun. Ia belajar tenun sembari kerja di ladang. Kemudian menggalang bersama kerabat sebaya yang minat tenun. Saat itu tenun sudah ditinggalkan. tidak ada regenerasi, dan orang orang di sini juga tidak minat memakai tenun. Pemerintah Daerah mendorong mulai lagi kegiatan tenun. Kumpulkan yang minat, lalu belajar apa adanya dari orang-orang di situ yang masih ingat cara tenun. Kini pegiat tenun 32 orang, mulai aktif menawarkan sebagai bagian dari paket wisata. Iban mengenal 6 jenis tenun, yakni kebat, pileh amat, pileh slam, sumpit, sidan dan subak. Umumnya kampong sini menenun jenis Kebat dan Sidan

Tujuan Wisata Iban


Menjadikan Sui Utik sebagai daerah wisata adalah pilihan bagi masyarakat Iban di situ. Lingkungannya, hutannya, rumahnya, kampungnya, aktifitasnya, semuanya bisa menjadi tontonan yang unik dan menarik bagi wisatawan. Banyak “orang luar” tahu bahwa Iban di Hulu Kapuas sudah dikenal semenjak dulu. Banyak orang malahan penasaran seperti apa Iban sebenarnya? Apakah benar mereka unik? Benarkah mereka berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Justru rasa ingin tahu orang luar menjadi inspirasi penduduk di sini untuk menggelar tontonan hal yang unik.
Edmundus, anak muda Iban yang tinggal di Betang (rumah panjang), sudah meyakini rasa ingin tahu orang luar atas kampong halamannya. Ia bangga menjadi bagian dari masyarakat Iban-Utik yang dengan tegas menolak pembalakan kayu di hutan mereka. Terakhir dikabarkan bahwa mereka juga menolak hutannya diubah menjadi kebun sawit. Kisah-kisah itu diceritakan berulang-ulang.Kepada wisatawan dan juga kepada generasi muda. Barangkali itu membuat mereka makin lama makin tebal kepercayaan atas kekuatan sendiri. Barangkali terpikir dari kalangan generasi muda sekarang. Leluhurnya berani berdikari, jadi tidak menebalkan semangatnya untuk tetap berdikari dan bahkan lebih dari itu.
Edmundus mulai menggagas dengan membawa wisatawan masuk ke Sungai Utik. Wisatawan live in di kampong itu beberapa hari, menikmati makan minum tontonan aktifitas harian orang Iban. Tidak ada yang kecewa dengan fasilitas yang menurut standarnya sangat minimal. Wisatawan itu justru tidak suka kalau harus menginap terpisah dari Betang atau rumah panjang mereka. Pengalamannya itu menyimpulkan bahwa peran pemerintah daerah adalah memastikan ada listrik 24jam dan akses internet daerah ini.

Batara yang dihormati

Penghormatan atas Batara diwujudkan melalui sesaji berupa makanan diwadahi keranjang pipih dilapis daun, dibuatkan tali bandulan supaya mudah digantung di sudut sudut rumah Betang. Sebagian ritual masih dianggap sebagai warisan nenek moyang, sebagian lagi sudah bercampur ritual Katolik.

Ayam Babi dan Tuak

Ayam, babi dan tuak. Tanpa itu, tidak sah….Mengikuti prosesi menyambut tamu, tokoh masyarakat, tokoh adat, kerabat handai taulan pasti mengikut sertakan komponen itu. Pada saat penguburan, ayam yang digenggam dikibas-kibaskan ke atas piring makan menandakan makanan itu sah untuk disantap.

Adat Agama dan Bangsa

Menyatunya adat (Iban), agama (Katolik) dan bangsa (Indonesia) dalam upacara penguburan pada masyarakat Iban-Sungai Utik

Perempuan Iban

Perempuan Iban tampil dengan seni menabuh gendang. Mereka berada di domain domestic, tetapi juga sering berada di public. Menabuh gendang salah satu penampilan perempuan Iban di ranah public.

Upacara Penguburan

Masuk kompleks kuburan orang Iban di Sungai Utik memang menyeramkan. Kuburan tak terurus, semak semak tumbuh liar, salib di nisan kuburan berlumut. Kuburan bagi kebudayaan orang Iban adalah sesuatu yang sacral, cenderung menakutkan. Komentar banyak orang Iban menyebut bahwa kuburan seperti jalan buntu. Bukan tempat untuk dilewati. Kalau ke sana tidak ada tujuan lain kecuali kuburan. Tak ada yang berani datang ke sana kalau bukan karena ada acara penguburan. Ada dua kesempatan untuk datang ke kuburan. Pertama adalah ketika mereka mengantar jenazah kerabat. Kedua adalah ketika mereka membuat batu nisan di kuburan orangtuanya, neneknya, leluhurnya. Itupun harus dengan syarat sembelih babi. Selain itu tidak ada lagi kesempatan berkunjung ke kuburan. Masuk akal kalau melihat kompleks kuburan Iban yang tak terawat.
Pulang dari kuburan, badan harus dibersihkan secara berlapis. Pertama, harus mandi di sungai. Kedua harus pegang anjing. Tidak boleh masuk rumah, sebelum menjalankan syarat itu. “Itu bisa mengganggu hidup kita” kata seorang Iban. Sebab selama di kuburan, badan kita dikerumuni oleh roh roh. Supaya roh roh itu tidak menempel di badan maka harus mandi. Barangkali karena itu, kompleks kuburan dipilih di seberang sungai. Mereka yang pulang dari kuburan harus pegang anjing supaya tidak mengganggu pikiran. Menurut kepercayaan anjing tidak mempan diganggu roh.
Roh hidup di sekeliling orang Iban. Menjadi bagian dari cara hidup mereka. Roh dihormati sekaligus ditakuti. Makanan lebih dahulu diberikan kepada roh, setelahnya para kerabat. Sejauh yang saya amati, semua aturan itu dijalankan. Mereka menjaga norma dan nilai warisan leluhur dalam hal berhubungan dengan roh.

Makanan Roh

Makanan untuk roh roh yang telah menjaga bilik, rumah, kampung, ladang. Roh yang telah memberi makan dan sejahtera pada warga kampung ini. Makanan sesaji itu digantung di langit langit di bagian tengah dan di empat sudut rumah panjang.

Nabuh Gendang Sejak Dini

Sudah menabuh gendang sejak usia dini... PAUD pada anak anak Iban. Cara komunitas Iban melestarikan dan memajukan kebudayaan sukubangsa dan daerah

Sape; alat musik Iban

Bet, pemetik sape (semacam gitar tradisional Iban) handal, sedang menikmati tabuhan gendang sekaligus menguji kelayakan suara alat itu untuk acara Gawai. Saya beruntung diajak kerumahnya menonton dia memainkan sape. Seorang lelaki menari mengikuti irama permainan sape dari Bet. Si penari meliuk liuk seperti kemasukan roh (sayang tidak ada foto saat Itu). Seni musik dan tari Iban dahsyat...

Gawai Kota

Mendarat di Putusibau untuk melihat Gawai. Gawai atau upacara syukur atas keberhasilan panen dan lainnya yang berkaitan dengan matapencaharian hidup. Menurut orang Iban, gawai itu terkandung perayaan (seremonial) dan ritual. Gawai di kota Kabupaten Kapuas Hulu adalah sebuah perayaan dan kumpulan dan kebersamaan semuawarga Dayak yang ada di Kapuas Hulu. Jangan terlalu berharap bahwa gawai itu sebuah acara ritual dengan sejumlah benda suci yang dipertunjukan oleh para pimpinan adat yang umumnya orang-orang tua. Gawai di kota sangat berbeda. Penyelenggaranya anak anak muda, kegiatan, setidaknya yang saya tonton adalah lomba masak, tarian, dan pemilihan putra putri Dayak terbaik, di samping ada kios temporer yang memajang kain tenun, tattoo, aneka makanan minuman.
Barangkali memang harus beda, dan dibedakan oleh orang Dayak sendiri. Gawai untuk konsumsi wisatawan dengan gawai untuk kalangan internal. Gawai di kota itu adalah konsumsi wisatawan. Gawai di kota itu adalah hiburan atau pasar malam, ada panggung bahkan suatu saat ada group band, penyanyi kondang yang ikut mengisi acara gawai. Gawai di kota adalah tempat pertemuan aneka etnik Dayak dari berbagai Kecamatan di Kapuas Hulu. Gawai di kota sesungguhnya merupakan wadah bagi ikatan solidaritas warga Dayak di Kapuas Hulu

Tenun Iban Popular dan Disukai

Pasar Lubok Antu, di Serawak, tidak jauh dari perbatasan dengan wilayah Indonesia, adalah tempat beli tenun Iban. Bukan pasar khusus jualan Tenun . Hanya salah satu kios di situ menjual tenun dan aksesoris tradisional. Jenis barang itu laku keras, terutama para turis yang suka motif orisinal. Menurut keterangan orang di situ, juga banyak tenun Iban asal Indonesia. Tenun Iban popular, mahal tapi disukai, . Top!.
Cerita seorang perempuan Iban. Dahulu Ia tak minat buat tenun. Membuat tenun butuh waktu lama dan harus tekun padahal harus kerja ladang. Ada momen keberuntungan karena saat kritis, Dinas Kebudayaan mendorong para perempuan kembali menenun. Guru tenun adalah warga senior di kampung. Para senior yang masih ingat diharuskan mengajar. Regenerasi . Buat kelompok tenun. Sekarang sudah mulai bangkit kembali. para perempuan kampung menjadi pembuat tenun.
Iban mengenal 6 jenis tenun. Kebat, Pileh Amat, Pileh Slam, Sumpit, Sidan dan Subak. Paling sering dibuat adalah Kebat dan Sidan dengan modifikasi mengikuti perkembangan dan motif konsumen. Motif dasar Iban asli adalah Buaya, Katak, Orangutan. Ada juga motif yang khusus untuk Ritual Gawai, Sesaji.
Anak sekolah di situ juga diajarkan menenun, sebagai bagian dari pengetahuan adat dan tradisi. Itu wajib untuk enkulturasi. Bagian dari Pendidikan Muatan Lokal. Hasil jual tenun masuk kas kelompok. lalu setor ke Credit Union. Semoga menjadi matapencaharian alternative yang menjanjikan bagi perempuan Iban.

Makanan Ritual Iban: Opak atau Upak

Tebas pohon opak, kuliti ambil isinya, mendiamkan batang dan pelepah pelepah sisa di bagian hutan yang sudah ditandai. Sebulan kemudian mereka kembali, pelepah itu menjadi wadahnya ulat, salah satu protein yang digemari orang Iban. Gaya kebudayaan mengandalkan system tani ladang gilir juga meramu dan berburu membuat mentalitas orang Iban hanya memanfaatkan alam sebatas kebutuhan. Itu yang membuat mereka relative mampu menjaga dan mencegah pengrusakan lingkungan alam sekelilingnya. Itu juga membuat mereka mendapat penghargaan dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai komunitas adat yang mengelola keberlanjutan hutannya. Pemenang pertama lomba Penghijauan dan Konservasi Alam (PKA) tingkat kabupaten. Memperoleh penghargaan sebagai Desa Peduli Kehutanan dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia, Zulkifli Hasan pada tahun 2012.

Rumah Betang orang Iban di Sui Utik

Penduduk Sui Utik tinggal di rumah betang (panjang) sejak 1973. Sebelumnya pendahulu mereka tinggal di Betang kampong lama, tak jauh dari kampong ini, seberang jalan raya kira-kira 2kilometer ke arah hulu. Panjang Betang yang sekarang 214 meter. Ada 28 bilik di Betang itu, mewakili 28 Kepala Keluarga Utama. Betang dibagi atas ruang paling umum, seperti tempat jemur padi/pakaian (Tanju), kemudian Teras (popular disebut Kakilima), Ruai fungsinya terima tamu, Bilik, dan dapur. Langit-langit atau Sadau dipakai sebagai gudang atau lumbung, tempat simpan perabot rumahtangga dan padi dan palawija.

Tiang tiang bangunan, masih tangguh. Tentu saja karena itu kayu ulin. Biasa disebut pula Kayu Besi. Kuat dan berat. Mungkin ratusan tahun gak bakalan hancur. Dinding bagian dalam juga dari kayu berkualitas. Banyak bagian yang masih kokoh, tetapi juga ada beberapa bagian, seperti atap yang di sana sini bocor saat hujan, dinding retak, dan alas papan ruang jemur pakaian sudah lapuk. Beberapa diantaranya sudah berlubang. Penghuni sudah biasa, tapi tamu harus ekstra hati hati melangkah kalau tidak mau kejeblos

Warteg

Warteg tidak mandeg. Imej nya juga meningkat. Konsumennya bukan lagi kalangan bawah. Pemilik warteg di kota (Jakarta) adu kreatif, menu makanan dibuat seperti restoran. Makanan enak sehat nikmat, selera rumahan dengan harga murah. Cocok bagi pekerja di kota yang 70persen kegiatannya berada di luar rumah. Interior di warteg di lebih bersih, ada wastafel, ada toilet, ada TV. Bisnis Warteg makin ketat, media online, turut serta promosi warteg favorite. Serius. Warteg punya dana promosi, dana kerjasama, ikut ambil bagian dalam event penting di kota. Pendek cerita Warteg tidak seperti gambaran dulu kala; produknya, manajemennya, konsumennya. Kami ingin tampil beda.

Politik Praktis di Warteg

Menyimak obrolan orang orang di warteg, memang penuh kejutan. Siang tadi mendengar seorang bicara ke dua kawannya soal politik praktis. Karena lagi hangat soal pilpres, saya ikutan nimbrung jadi pendengar. Kalian tau apa itu politik praktis? Kawannya diam, muka antusias tapi tidak merespons. Si kawan itu lanjut ngomong. Politik praktis itu lawannya politik teoritis. Politik praktis itu artinya politik langsung praktek. Politik teoritis itu artinya politik berteori, nggak praktek katanya dengan suara tegas nada agak tinggi Dua kawan itu ngangguk ngangguk. Saya juga ikutan ngangguk ngangguk. Dalam hati bener juga logikanya. Lawan praktis kan teoritis. Warteg memang sumber informasi.