Wednesday, 30 March 2022

Siapa Dia

 

Siapa Dia?

Sejak situasi pandemic terus membaik, pemerintah memberi pelonggaran mobilitas domestic dan karantina, berbondong bondong orang Jakarta berlibur ke segala tempat wisata. Bali tetap jadi tujuan wisata paling popular. “Inga inga, tetap prokes” demikian juru bicara covid 19 berulang mengingatkan di media media utama dan media social.

Kalau wisata di Bali ada pantai Kuta, Sanur, kalo di sini ada pantai Duta dan pantai Sanura, pantai indah menawan, pasir putih, air hijau bening, dua ratus meter dari bibir pantai masih bisa jalan, sambil melihat ikan ikan dan binatang laut lainnya berenang renag kian kemari. Belum banyak dikenal orang, masih sangat alami. Tidak ada penginapan, apalagi taman bermain anak anak dan dewasa.  Barangkali hanya penunjuk jalan dan aku yang pernah datang ke tempat itu. Tersembunyi, melewati rintangan semak dan pohon bakau, sebagian seperti pantai berpasir dan berrawa, mesti jalan sejauh satu jam  untuk mendapat spot pantai yang indah.

“apakah ada pantangan pantangan datang ke pantai sini?”

“ah sama sekali tidak ada pantangan, asalkan kuat jalan kaki dari pinggir jalan, masuk menerobo semak belukar. Tidak ada pantangan apapun di sini. Sudah beruntung kalau ada orang yang mau datang ke sini.

“jadi tidak ada pantangan seperti pantang mengenakan pakaian warna hijau. Bukan saja pakaian ada yang lainnya yang pantang, Gelang, kalung, batu cincin, apa saja yang warnanya hijau nggak boleh dipakai…

Kalau ke Laut selatan, kami sudah diwanti wanti, bahkan di terminal menuju pantai para sopir angkut sudajh wanti wanti pengunjung pantai. Kalau di sini nggak ada ya Bang!

Malam aku tidur di pasir putih, ambil jarak dari bibir pantai sebab kalau malam air pasang, terasa hangat sekali. Tiduran memandang jutaan bintang di langit, ada aquarius , gemini virgo  sagitarius, aku dengan mudah dapat membaca lokasi lokasi itu, ilmu falak di sekolah dapat nilai tertinggi. Rasanya rasi bintang itu makin lama makin mendekat, bintang bintang berlompatan dari satu tempat ke tempat lainnya, barang kali seperti halnya di bumi, mereka berkunjung dari tetangga ke tetangga.

Angin semilir di pantai itu, aku terbangun karena terasa dingin, memasukan anggota badan dalam pasir yang hangat, lalu tertidur lagi. Bangun karena matahari menyengat.

Lho kemana penunjuk jalan, yang ada beberapa anak kecil nelayan.

“Kemana kawan saya? “Bathinku mungkin kawan itu pergi cari makan, ah tak mungkin di sini tidak ada warung. Aku bertanya pada anak anak nelayan itu.

Mereka heran, tidak ada orang lain selain om? Di kota semua orang ramai mencari om, karena sejak semalam nggak ada. Teman teman om sudah melapor ke polisi setempat, mereka mencari. Ternyata om ada di sini, jauh sekali jalan kali dari hotel.

Aku terbengong bengong mendengar penjelasan bersahut sahutan anak anak yang mengelilingku di pantai.

“Kemarin sore. Om dianter sama pemuda ke tempat ini” begitu kataku ke anak anak itu

Pemuda? Coba om ingat ingat apakah pemuda itu berbadan tegap?

Iya benar

Apakah pemudia itu berkalung lempengan warna emas? Apakah rambut digelung rapi dengan ikatan emas?”

Aku terpaksa mengingat inga tapa yang ditanyakan oleh anak anak itu

“Iya ya benar, rasanya memang dia pemuda yang mengantar saya ke tempat ini.”

“mari om kami anter kembali ke hotel…ini pakai sarung..” Aku baru sadar kalau hanya memakai celana renang saja. Pakaianku di mana, mataku mencari sekeliling tak menemukan pakaianku.  

“Tidak ada pakaian om di sekitar sini..” rupanya anak anak itu membaca pikiranku.

“jadi siapa yang membawa saya ke tempat ini?”

Mari om kita ke hotel, naik sepedamotor saja, kawan ini bawa sepeda motor di belakang semak.

Sekejap langsung di depan hotel yang ramai

“si om sudah kembali….si om sudah kembali...”

Aku seperti orang linglung masuk hotel. Di situ sudah lengkap ada dari polsek, koramil, tim sar dokter dan bahkan Camat dan Bupati. Mereka semua menyalami, media CNN, Al Jazeera, BBC, NBC, BLBL, BPJS semua berebut mau wawancara. Semua dihalau Satpol PP yang menjaga di pintu masuk hotel.

 

Satu dua hari istirahat tak membuat kota menjadi sepi. Semua tetap berkumpuil di depan hotel tempat aku menginap. Bahkan di kiri kanan hotel berdirin warung warung makanan dan minuman dadakan. Jalanan di tutup sebab ada tempat permainan anak anak di situ, seperti komidi putar mini, ada jualan mainan dan banyak yang lainnya, jalanan ramai.

Salah seorang warga di dekat hotel itu mengatakan bahwa ini peristiwa yang belum tentu terjadi serratus tahun sekali. Aku mencuri dengar penjelasan orang orang di situ. Katanya om yang hilang itu telah bertemu dengan dewa jagad raya yang selalu datang setiap serratus tahun sekali.

Sore itu aku ditemui oleh seorang kakek. Dia nekad mau bertemu dengan aku, walau sudah ada penjagaan ketat. Kalu izinkan dia ketemu.

“terima kasih nak….benar kata kakekku bahwa dia akan datang lagi..

Siapa?

Orang itu yang menemu Ananda

Apakah kakeknya kakek bertemu dengan orang yang membawa saya ke pantai?

Bukan kakek saya, tetapi kakeknya kakek saya yang menceritakan bahwa dia bertemu dengan pemuda yang cirinya seperti diceritakan oleh Ananda.

Tapi saya nggak cerita ke kakek

Peristiawa ini sudah terkenal, cerita Ananda ke anak anak di pantai sudah tersebar sampai penjuru dunia.

Ada satu hal yang ingin saya tanya, apakah Ananda melihat bintang2 di langit terasa dekat sekali? “

Iya kok kakek tahu?

Apakah Ananda diajak bertamasya dari satu bintang ke bintang yang lain? …apakah Ananda duduk Bersama di suatu ruang yang cukup banyak orang dengan pakaian yang aneh berbicara satu degan lain dalam Bahasa aneh?

“semua benar, walau bahasanya aneh tapi saya mengerti”  

Berarti dia memang datang lagi ke bumi.

Tuesday, 29 March 2022

Cerita Bang Jenggo

CERITA BANG JENGGO

Supaya anggota kelompok ronda tidak cepat mengantuk,  mata tiap orang yang pas kebetulan jaga ronda silih berganti cerita pengalaman masing masing. Kadang cukup mendengar, kadang ada yang menanggapi menjadi obrolan yang menarik. Biasa pak RT yang membuka cerita dengan bicara soal program kelurahan, ceritanya membosankan dan bikin orang di situ justru cepat ngantuk.

Setelah lewat tengah malam, angin sering semilir jam 12 malem biasanya yang cerita adalah Bang Jenggo, tokoh pemuda yang cukup kesohor karena punya banyak pengalaman segudang urusan pengaturan kampung versi anak muda. Namanya cerita gaya anak muda, yang mendengar tidak bosan, karena pake bumbu cewek manis, naksir sana sini, rumus dan pedoman mendekati cewek, kalua cewek cewek mendengar pasti mencibir sekaligus cengengesan ketawa karena dianggap hanya fantasi saja, tapi begitulah cerita bang Jenggo paling ditunggu.di pos ronda yang lelaki semua. 

Malam itu dia cerita agar aneh. Tidak seperti biasanya, bukan soal pengaturan kampung tapi soal roh gentayangan. Katanya roh itu masih berada di sekitar kita, bergaul dan sering menampakan diri. Orang orang di sini ada yang bilang itu Kuntilanak, jin, jejadian, setan iblis banyak istilahnya yang pasti itu roh gentayangan .

Katanya bang Jenggo cerita begitu karena memang baru sembuh dari penyakit yang tak ketahuan sakit apa. Kepala Dusun yang juga orang pintar yang mengatakan bahwa bang Jenggo kemasukan roh gentayangan tapi rohnya masih mengampuni karena bang Jenggo orang di sini.

“Aku sekarang percaya kenapa para lelaki ronda takut sekali bertemu dengan kuntilanak, sebab wujud Kuntilanak itu  amp bermacam macam, kelakuannya juga macem macem….jangan percaya Kuntilanak tidak mengganggu para lelaki. Jangan percaya Kuntilanak hantu perempuan yang suka anak kecil, hanya mengganggu wanita yang baru saja melahirkan….”

Terus Kuntilanak kayak gimana sih bang!.....jadi serem…..jadi  amp nakut nakutin laki dan perempuan, siapa saja gitu! ….” kata Yanto yang suaranya sedikit agak bergetar.

“bukan Cuma itu, kuntilanak …..ehm….” Bang Jenggo berhenti melongok ke belakang para pemuda yang duduk meringkuk di pos ronda. “Kuntilanak itu  amp menjelma jadi apa saja, jadi kucing hitam, atau anjing yang taringnya tajam, bisa pula jadi anak anak yang lucu tapi matanya kelewat mengerikan….atau…..” bang Jenggo berhenti sejenak  amper menatapi orang orang di situ

….atau apa Bang?....jangan bikin kita takut dong bang!”

Minggu lalu, tengah malam  aku melewati terowongan

Terowongan mana bang?

Itu yang deket dengan tempat orang orang sini buang sampah, di samping situ kan ada selokan, agak lebar, biasa tempat anak anak kecil main 

terus kenapa bang…..

di situ aku liat kamu, Mit, Mamit langsung mengkeret. Di situ kamu dan beberapa anak kecil sedang bermain di dekat sumur…..Kamu korek korek sampah, lalu nimba dengan seseorang yang tinggi besar di situ, dekat di sumur…” dalam hatiku sejak kapan ada sumur di situ, sejak kapan kamu nimba padahal ada pompa jet pump  di rumahmu, …. sejak kapan kamu ikutan ketawa dengan anak anak di situ. Semua jadi Nampak ganjil.  …

Duh jadi merinding….cerita ini….

Bagi ku roh gentayangan dan kuntilanak sama saja, itu roh yang masih berkeliaran. Kebetulan saja  roh roh gentayangan termasuk roh anak anak sedang bermain di situ aku lihat.  Rasanya mereka tidak dengan sengaja menakut nakuti saya,  tetapi buat saya melihat mereka di tempat yang ganjil bikin tengkuk merinding, bulu tangan dan muka jadi berdiri. Aku heran kenapa malam itu lihat.

Bayangkan anak anak malam malam main di dekat sumur yang nggak pernah diketahui kapan dibuatnya. Lalu ada kamu, Mit, di situ. Nggak sadar aku memanggil namamu….semua yang di situ menengok ke arahku. Mata mereka semuanya k, seperti tidak ada gairah, padahal mereka bermain. Seorang yang dewasa menggerakan kelihatan aneh, lengannya memanjang seperti karet.  Telapak tangan anak anak itu tiba  tiba sudah berada di depan wajahku, kaget nggak ba   bi   bu   langsung berbalik lari pontang panting.  

Aku baru sadar sudah berada di tempat tidur, sedang dipijat oleh kepala dusun. Terbata bata aku cerita pengalaman itu.

“Ya memang di situ menurut orang tua para leluhur kita, di tempat yang kamu ceritakan itu ada sumur dan dekat situ ada rumah rumah tua dan halaman rumah itu penuh kuburan. Tempat orang orang bermain.

Apa yang diceritakan oleh Kepala dusun, kok  amp persis seperti yang aku lihat malam itu. Dalam hati semoga nggak terjadi lagi….bang Jenggo kemudian mengakhiri ceritanya  orang orang tanpa sadar saling duduk sarungan dalam posisi berdempetan. 

Satu lagi kata bang Jenggo “yang paling menakutkan….. adalah, kuntilanak atau roh itu menjelma menjadi salah satu dari kita…... Seperti ketika aku lihat kamu Mit! Ternyata itu bukan dirimu, ternyata hihihihhii roh gentayangan…”

….....aduh mengerikan jangan begitu ah bang “ aku jadi takut sama diriku sendiri.

Di…Edi…..lu malahan tidur aja dari tadi…kita semua udah tegang denger cerita kuntilanak iblis eh …elu malahan tidur…”

Emang itu Edi “sahut Mulyoto….Edi tadi bilang nggak bisa ronda….” lanjut Mulyoto

Eh iya…iya ….Edi tadi bilang nggak ikut ronda….” sahut Yendri menimpali…

Lalu yang tiduran tengkurep ini siapa?,…..Hah bukan Edi ini saling sahut menyahut….edi kan kurus kering…Serentak semua lompat mundur dari pos ronda…, balik badan tunggang langgang,  tak terkecuali bang Jenggo.

Poros Utama Jakarta

Poros Utama Jakarta

Poros Medan Merdeka-Thamrin-Sudirman merupakan poros utama kota Jakarta, Indonesia dari utara ke selatan sejauh 8 kilometer. Digagas oleh Presiden pertama, Ir Soekarno sebagai pusat kota Jakarta pada kisaran tahun 1950-an. Poros ini  menggantikan atau membuat alternatif poros jalan Medan Merdeka-Senen-Salemba-Jatinegara yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda dan telah berkembang sejak abad ke-18. Poros jalan paralel dengan jalur Kereta Api yang dibangun untuk membawa bahan mentah, hasil perkebunan dari daerah ke Jatinegara, Manggarai, Tanjung Priok.   

Poros jalan dari Kota sampai Blok M ini merupakan pusat bisnis Jakarta, pararel dengan jalan alternatif yang dibangun yakni Kuningan atau HR Rasuna Said, kemudian menjadi terkenal dengan segitiga emas dengan konekting , Jalan Jendral Gatot Subroto, dan Jalan Profssor Dokter Satrio. Kantor pusat perusahaan nasional serta multinasional banyak yang bertempat di poros ini. (sebagian dari sumber wikipedia)

musik hiburan

 

 

Selagi menunggu cuci mobil di service kilat Arema, aku nonton video yang disediakan di situ. Pas kala itu biduanita Rita dan Remmy tampil. Entah siapa mereka, tidak disebut nama belakangnya. Ah lagi lupa tak penting untuk saat itu. Daripada sunyi sepi tidak ada yang dikerjakan, lebih baik nonton menghabiskan waktu.

 

Kalau tak salah mereka menyanyi “Asmara kelapa Muda.”. Judulnya kurang meyakinkan, tetapi begitulah yang disebut pembawa acara ketika mau menampilkan dua penyanyi itu. Simpan saja kernyit di dahi mendengar judul lagi. Lebih baik dengarkan saja seperti apa lagunya. Itu lagu dangdut, seperti beberapa lagu sebelumnya yang diputar selalu dangdut.

 

Yang sempat masuk ke indra pendengaran liriknya adalah “engkau belahan sebelah sini, kau sebelah sana.” Lalu masuk instrument gitar listrik lalu diikuti suling yang melengking. Organ, gitar gendang dan suling menjadi satu kesatuan band dangdut yang berirama Melayu,lalu dua penyanyi itu berjoget saat berhenti bernyanyi. , lalu kembali pasangan itu bernyanyi. Begitu berulang ulang sampai lagu berakhir.

 

Tak lama muncul Lady Gaga, lo kok. Ah dengarkan saja. Dia penyanyi yang berkualitas kok, Hebat bengkel ini menampilkan penyanyi terkenal dunia, Pasti pelanggannya suka lady gaga. Lalu ada penyanyi Madonna, Celine Dion. Bukan main ini baru service cuci mobil bukan Cuma mobil di cuci tapi pelanggannya juga dihibur, Pembawa acara juga bicara Bahasa inggris, sebagian ngerti, sebagian besar nggak. Dia mengisahkan seorang yang akan tampil  di akhir pertunjukan Glenn Miller, tokoh, pahlawan yang menyemnagati tantara Amerika saat perang dunia kedua melalui lagu lagu legendaris “in the mood.”

 

Pak bangun, udah selesai..” aku kaget, langsung bangun.

 

O sudah ya, aku keluarkan uang dari kantong, langsung masuk mobil  Samar masih terdengar music di video Rita dan Remmy masih menyanyi “sambel terasi”

Sunday, 27 March 2022

Bang Jenggot

Bang Jenggot 

Bang Jenggot uring uringan, cewek incerannya cuek banget, istilahnya dia dikacangin. Tapi bang Jenggot nggak putus asa, usaha dilakukan mendekati cewek itu, Makin mendekati makin dicuekin, pendekatanntya nggak pas jadi nggak mempan, malahan disinisin. Yang bikin kepala bang jenggot mau pecah, setelah liat cewek incerannya ngobrol dengan bang Jenggo. Bukan sekali dua kali, sudah berkali kali seliweran dari gang ke gang di kampung. Yang bikin panas kadang ceweknya mampir ke pos ronda yang rame. Orang orang bilang ketimbang ngobrol bang Jenggot cemburu banget. 

Dasar cemburu udah sampe ubun ubun, siapa aja yang ngajak obrol cewek itu jadi dimusuhin bang Jenggot. Orang lain kok bisa, kok guwe nggak bisa sih itu yang ada di kepala bang jenggot yang udah ngepul karena panas. 

Kalo gini caranya  harus bikin sesuatu supaya menarik perhatian cewek itu. Begitu kira kira kata hati bang jenggot. Ternyata dengan masuk acara televisi,  memang jadi benar, ceweknya langsung perhatian, bukan langsung pada dirinya tapi lewat televisi, sambil nunjuk nunjuk di layar ehhh ternyata ada bang jenggot di tv.

Yang mana sih bang jenggot?

Lo telat, acara udah habis, Nih kalo mau liat tampanganya. Nih fotonya kata Mamit sambil kasih lihat foto sewaktu rame rame jalan jalan ke karang bolong

Yang mana, yang pake topi koboy.

O dia, iya lagi rame di tv tuh.

Ya iya, daritadi kita ngomongin itu. Iya kata Veronica, cewek incerannya bang Jenggot, si abang cari perhatian aja.

Thursday, 24 March 2022

Reaching Agreement at Angkringan

 

Reaching Agreement at Angkringan

Beberapa tahun silam, sebelum konflik Rusia Ukraina, kami bertiga. Aku, Mark dan Linda duduk di angkringan di jalan nggak jauh dari Gubeng, stasiun kereta api yang menghubungkan Surabaya dengan kota kota lain di Jawa.  Belum ada konflik, jadi nggak perlu bicara posisi Canada dan Indonesia dalam konstelasi politik dunia. Walau nongkrong di angkringan, warung kakilima kecil, tapi bicaranya boleh diadu dengan para politikus kelas parlemen.

Dua orang itu relawan dan relawati asal benua Eropa dan Amerika. Mereka datang ke Surabaya untuk menyumbangkan pengetahuannya bidang teknologi internet komunikasi dan database monitoring. Mendengarkan mereka bicara dengan segala terminologi mutakhir, dengan bahasa Inggris logat Perancis, samar samar mengerti prinsip pembicaraan apa yang dimaksud, walau kalau disuruh mengurai detil apalagi kalau ada ujian listening saat itu, ucapan para relawan itu bakalan jeblok.

Cerita sana sini, soal Eropa dan Amerika. Akupun cerita sana sini soal Surabaya, dengan gaya bahasa yang berlebih lebihan disertai gerakan tangan untuk memastikan dua orang itu paham. Untungnya setiap aku cerita mereka antusias mendengar, kadang mengangguk, mengerutkan kening, kalau sudah demikian, segera cerita dialihkan ke soal remeh remeh. Saya tanya soal makanan yang popular di Canada. O itu ada namanya dia menyebutkan tapi saya lupa, rada susah menyebut, dan ada aksen perancisnya, di belakangnya “eng” sengau yang jelas asal makanan itu dari Quebec kentang goreng kentang goreng  dengan lumeran keju dan dengan toping daging dan saus pedas.

“Harganya? “

 

“O satu porsi 6 dolar an..”

 

“o murah dong….tapi kalo satu dolar sama dengan satu rupiah. “

 

“Banyak makanan Canada yang kurang lebih cocok buat lidah orang Indonesia,” begitu kata relawan itu.

 

Dua orang ini sok sok an kayak tau banget lidah orang Indonesia, dia menyebut ada roti, bagel, pizza  ada istilah istilah local kanadanya, sayang enggak mencatat, dan males soalnya tulisan sama sebutannya beda banget.

 

Sampai pada tanya tanya soal makanan yang ada di angkringan. Itu apa? (Gaya bicaranya jelas orang non Indonesia yang baru seminggu di kota ini). O itu pisang goreng, fried banana. O i see. Yes i can see...ini apa?. Wah apa ya namanya...hhmm kue bantal. Pillow cake.. Wow nice....yes small pillow cake.

“We love Indonesian food.. “, kata Mark dan Linda berbarengan

“Yes I love your Potatoes spices” kataku seraya mengangkat gelas kopi angkringan untuk tos dengan dua sahabat Kanada. Kopi yang rasanya gosong gosong enak, terasa enak banget.

 

Sunday, 20 March 2022

Boris

 Boris


Sejak Rusia menggempur Ukraina, nama Boris jadi terkenal. Dia berpangka letnan kolonel menjadi komandan Tank pemberani yang menyusup ke Donbass di bagian timur wilayah Ukraina. Anak buahnya hanya mengenal nama Boris, nama sebenarnya vladimir Boris. Ada nama lanjutannya tapi jarang dipakai olehnya. Kadang oleh atasannya dipanggil Vladimir, tapi di kalangan pasukan tank dia dikenal Boris.

Boris yang mau kuceritakan di sini jauh beda, Boris, tetangga kami, terkenal bukan karena komandan Tank, tapi dia juru kampanye di posyandu dan puskesmas, intinya dia berjuang agak warga kampung kami sadar akan kesehatan. Dia berulang mengatakan pencegahan itu lebih baik daripada pengobatan. Rajin periksa badan, kenali tubuh dengan baik. Begitulah Boris mengerjakan pekerjaan dengan sungguh sungguh, dia jadi disukai oleh banyak kalangan di kampung.

Ada Boris satu lagi, sambil duduk di bale bale pos ronda dia baru saja cerita, enaknya ikut pesta jadi "bere" duduk manis tunggu perintah tulang yang duduk di bagian depan. Sementara di bagian depan saling berpantun, bere di belakang mencicipi aneka makanan dan minuman, makan komplit, snack komplit plus kopi teh dan bir. Begitulah ceritanya songoni ma.

Kota di kaki Gunung (bagian II)


Saturday, 19 March 2022

tito adonis: Kota di Kaki Gunung

tito adonis: Kota di Kaki Gunung:   Kota di Kaki Gunung   “Namamu sebenarnya siapa sih? “ “Ken….. Kenapa?” Ah tidak, munculmu tiba tiba dari semak membuatku bertanya ...

Wednesday, 16 March 2022

GANAPATI

 

Undur diri

Dia sudah muak, jemu, jijik tak tahan melihat keadaan istana. Walau tak diceritakan, tetapi orang orang sekelilingnya sudah tahu. Dia memilih diam, menyendiri di pekarangan belakang rumah daripada ikut lingkaran perselisihan antar kerabat seketurunan kerajaan yang tak berujung. Seolah tak ada lagi kawan bicara di lingkungan itu.



Dulu semasa masih ada, ayahnya adalah tempat mengadu. Persoalan dari kecil sampai besar dibicarakan bersama. Setelah ayahnya dikabarkan gugur dalam perang di Pasuruan Jawa bagian timur, dia kehilangan kawan bicara. Ibunya, apalagi. Lebih suka menyendiri dalam kamar. Tidak mau diganggu. Seolah sudah kiamat dunia ini semenjak ayahnya tak pulang rumah.



Ayah adalah sumber hidup keluarga. Almarhum ayahnya mengingatkan prinsip hidup adalah suara hati. “dengarkan suara hati, karena itu yang paling jujur” bisik ayahnya setiap kali dia ragu memutuskan.



“Jangan menjadikan saran orang lain menjadi keputusanmu.”



"Ingat ayah, ibu, guru guru itu adalah manusia biasa yang punya kelemahan, apapun kelemahan itu. Kelemahan yang bisa jadi mendatangkan petaka.



Ibu itu orang bijak tak pernah menolak keputusan anaknya. Dia memberi saran, diterima atau tidak, selalu direspons dengan senyum dukungan.



Ibunya bukan orang yang senang dengan jabatan, kalaupun senang, dia tak mungkin menjabat. Dia perempuan, tidak berhak atas jabatan. Dia mengutuk aturan tata nilai itu. Tak diucapkan tapi gereget geram gerahamnya tak mampu disembunyikan. Siapa yang menciptakan aturan itu, tak ada yang menyadari. Sepertinya terjadi begitu saja.



Konon menurut cerita kerajaaan leluhurnya pernah dipimpin oleh seorang perempuan yang sakti mandraguna. Sayangnya hanya ssepenggalan kekuasaannya, lalu diambil alih oleh leluhur yang laki laki. Makin ke sini makin terasa bahwa seorang perempuan tidak patut memimpin kerajaan.



Perempuan hanya menjadi pendamping dan harus rela membagi haknya kepada perempuan lain yang menjadi isteri isteri raja atau pangeran. Paling kehormatannya adalah menjadi permaisuri karena isteri pertama. Keadaan itu tak mampu ditolak. Itu takdir itu menurut aturan norma nilai kerajaan.



Ibunya paling mengutuk perebutan tahta. Bagi ibunya, kekuasaan itu titipan dari penguasa Jagad Raya yang bertujuan agar rakyat memperoleh kesejahteraan sebanyak banyaknya. Ibunya kagum dengan kakek yang tak kenal lelah untuk rakyat. Tapi ibunya marah karena kakek punya isteri lain di samping nenek. Bukan satu tapi banyak isteri kakeknya. Menjadikan perhatian kakek pada ibu jauh berkurang. Ibunya tak berani protes sebab demikian adanya. Ibunya memilih diam seribu bahasa. Bahkan perasaannya tidak diceritakan kepada anak lelakinya. Ganapati.



Perpaduan mendengar suara hati seperti saran ayahnya dan meniru sikap memendam perasaan dari ibunya menurun ke Ganapati.



Suara hatinya melarang membenci saudara saudaranya seketurunan. Suara hatinya melarang menyerang pamannya yang satu, membela pamannya yang lain. Pertentangan keluarga sudah jadi momok bagi dirinya. Dia ingat kakeknya pun memilih keluar dari istana, memilih tidak tinggal di istana walau itu menjadi haknya. Kakeknya lebih suka hidup di padepokan yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan.



Sudah jadi ketetapan hati, menyusul kakeknya yang hidup di lereng gunung Wilis. Tujuannya sudah kuat, sudah yakin mendiang ayah dan ibu mendukung bertualang menambah wawasan. “Pergilah Ganapati. Suatu saat kau kembali dengan pikiran dan hati yang jernih, sejernih mata air pegunungan." Terngiang bisikan ibunya sebelum berangkat.


Awal Perjalanan



Pagi sekali, sebelum matahari muncul, dia keluar, melalui pintu belakang. Pagi yang masih gelap pekat, karena cuaca yang mendung disertai hujan rintik. Menyusuri jalan setapak sempit. Makin jauh dari rumahnya, makin lebat hujan. Cuaca itu seolah tak diperdulikan. Ia terus berjalan cepat menuju selatan.



“Ganapati!..hei mau kemana” teriakan dari gubuk yang hanya diterangi lentera yang redup. Tiupan angin yang cukup kencang membuat lentera seperti hidup segan mati tak mau. Penerangan yang hanya cukup memberi gambaran di gubuk itu ada orang.



Ganapati berhenti sebentar, menoleh arah gubuk, lalu menyapa dengan suara yang agak keras



“pengap di dalam,perlu dapat udara segar di luar”



“tapi hujan, ayo mampir sini saja, ngobrol.”



“terima kasih, saya mau jalan jalan. Pamit dulu!” buru buru ia berjalan sambil melambaikan tangan, tanda pamitan.



Ganapati terus menyusuri jalan setapak mengikuti arah selatan, kemudian sampai di pematang sawah, dia membelok arah timur. Hujan sudah reda, matahari mulai menunjukkan sinarnya di sela pepohonan di hutan kecil.



Melewati pematang sawah, berjalan perlahan dengan memperhatikan padi yang baru mulai ditanam. Melompat lompat kecil, menghindari pematang yang becek dan berlumpur, menjejak kaki pada pematang yang sudah mengeras.



Ada permukaan pematang yang masih lembek karena ditumpuki lumpur dari sawah yang di serok dipindahkan ke pematang. Tidak menjadi masalah buat Ganapati. Ia terus berjalan menjauh dari kotaraja, sampai pada suatu pedukuhan kecil, kumpulan rumah yang dikelilingi sawah yang subur. Ia berenti sejenak di bawah pohon rindang. Cukup baginya untuk sekedar memikirkan arah mana yang akan ditempuh. Lalu menengok ke belakang, melihat kota raja yang sudah samar samar kelihatan. Jalan mulai mendaki bukit kecil, agak berliku.



Ia terus berjalan mendaki, menjauhi pusat dukuh yang baru saja dilewati. Melewati semak dan hutan randu, yang pohonnya tumbuh berdekatan. Randu adalah pohon yg kayunya yang getas mudah patah. Orang dukuh biasa menggunakan ranting untuk kayu bakar. Di situ memang tempat mencari kayu bakar penduduk di sini.



Sampai di ujung dukuh yang berbatasan dengan wilayah hutan tak bertuan, lebatnya semak dan pohon besar tumbuh lebat. Sebentar dia menengok ke belakang, dia duduk, sambil matanya menatap kota raja yang sudah tidak keliatan. Dia menatap tapi pandangannya kosong, hanya mengeluh dalam hati



“apa yang aku lakukan.”



“Sejak kakek, bapak sekarang aku semakin hari semakin menjauh dari pusat kekuasaan.”



Dia mulai masuk hutan, berjalan cepat, secara naluriah ia menerapkan ilmu kebalnya langkah angin pun bekerja

Meringankan tubuh, melompat sana sini, mumpung tak dilihat orang lain. Ia tak mau keliatan orang yang berilmu kanuragan.



“mana ada orang yang masuk hutan.” Katanya dalam hati.



Lompat lompat, lari sana sini nikmat dan menyenangkan buatnya karena bisa meredakan gejolak hati yang masih teringat perilaku kalangan istana. Lumayan berkeringat, dia menjatuhkan diri, bersandar di pohon sonokeling yang keras, hitam pekat, besar berkali lipat darinya. Angin pagi sepoi membawa hawa sejuk. Akar Sonokeling besar menjadi bantalnya hembusan angin pagi yang langsung ke tubuh membuat keringat berangsur angsur kering.



Rasanya sejenak tertidur, padahal sinar matahari yang masuk di sela sela daun menunjukkan matahari sudah di atas. Pantas perutnya sudah berontak minta diisi. Perlahan ia bangun, memejamkan mata, menenangkan pikiran, lalu perlahan bangun.



Belum sempat tegak, lalu kembali berjongkok. Matanya yang tajam mengawasi sekeliling. Dia merasa ada sepasang mata sedang memperhatikan dirinya. Ia menahan napas, dan mencari sumber itu. Menutup matanya, mengandalkan panca indra pendengaran dan penciuman. Ia sudah bisa mengetahui sumbernya. Tepat di sebelah kirinya. Tapi ragu, apakah itu manusia atau binatang atau mahluk lain. Desir desir helaan napas, walau lembut dan nyaris samar dengan bunyi dedaunan yang terkena angin.



Ganapati tak mau gegabah, ia masih tak bergerak menanti sumber di sana yang juga tak bergerak. Ganapati hampir yakin itu bukan binatang atau mahluk. Itu manusia. Tapi mana mungkin manusia bisa menyamarkan desah panas dan degub jantung demikian halus, samar dengan suara desiran angin, kecuali dia sungguh berilmu tinggi.



Siapa gerangan dia, berada di tengah hutan lebat tak bertuan dengan ilmu tenaga dalam yang langka. Ia tak berani menyerang. Ia belum dapat menakar kekuatan lawannya. Apalagi khawatir kalau orang itu adalah baureksonya hutan ini yang sewaktu waktu bisa mengerahkan anak buahnya.



Sepengetahuannya, sewaktu kecil diajak ayah dan ibunya masuk hutan tak ada satu orang pun. Kecuali, ah mungkinkan dia? Apakah dia masih hidup? Sewaktu masih kecil, orang itu sudah berambut putih berjenggot putih. Apakah memang dia? Perlahan ia berjalan dengan langkah langkah yang siap menyerang. Ia tak mau ambil risiko, harus sudah siap bilamana ada serangan dari segala arah. Berjalan perlahan mendekati sumber. Baru lima langkah sudah terdengar ssuara tertawa dari sumber itu.



“sudah kuduga"



Ganapati masih belum melihat orang yang berbicara itu, suaranya seperti dikenalnya, berat, mengandung hawa tenaga dalam yang bergelombang. Ia masih ragu melangkah. Langkahnya terhenti, tapi dalam posisi kuda kuda yang siap menyerang.


 

Orang Misterius



Tiba tiba ada deru angin mendesing dari arah kiri, melingkar dan langsung ke arah dirinya. Secepat kilat Ganapati sadar orang itu menyerang dengan pukulan yang mematikan. Dia langsung berbalik arah menangkis serangan.



"Braaak"



Benturan kekuatan terjadi. Karena Ganapati tidak siap dengan pukulan dengan lembaran tenaga yang kuat, dia terpental, terguling, tapi kemudian berdiri sedikit limbung, kemudian menegakkan kepala walau terasa seperti berputar tujuh keliling dan sakitnya tak ubahnya kepala yang dipukul gada Nyi Gendeng Permoni



Matanya berangsur normal, berdiri tegak, mulai menatap tajam ke depan, siap dengan serangan garuda melayang. Ilmu yang dia miliki, walau belum merasa sempurna, tapi dia merasa harus menggunakan ilmu itu menghadapi lawan misterius berilmu tinggi.



Di depannya berdiri orang tua dengan senyum yang ramah.



" Sabar nak! Jangan gunakan ilmu itu melawan orangtua bangka seperti aku."



Orangtua itu mengatur napasnya yang satu satu lalu bicara lagi dengan lebih lambat.



"Itu ilmu yang dahsyat. Tidak sembarang orang punya ilmu itu dan cocok bersenyawa dengan tubuh. Bersyukur anak mempunyai bekal ilmu itu."



"Tak perlu kutanya, dari siapa anak belajar ."



Ganapati mengerutkan kening, heran orang itu bisa menebak ilmu yang disiapkan sangat dahsyat. Tak sadar ia mengendorkan kesiapannya. Lalu dengan sopan Ganapati menghormat tanpa dia sadari.



"Maaf, siapakah bapak tua. Sampai tau ilmu yang kumiliki?"



Pikiran bertubi tubi tiba tiba mengumpul dalam benak Ganapati.



Bapaktua ini pasti bukan penghuni hutan. Dia sengaja mau bertemu saya di hutan ini. Dia mau ketemu tanpa diganggu.



Tanpa mengindahkan pertanyaan Ganapati, Bapaktua mencari tempat buat duduk yang nyaman.



"Duduklah. Ini ada makanan. Enak..Akar rebus"



Lalu Ganapati beranjak mendekati Bapaktua ikutan duduk. Mereka tak duduk berdekatan ,tapi tak jauh untuk bicara tanpa teriak teriak. Posisinya tak berhadapan, memilih duduk menyamping, sama sama bisa melihat burung pipit bergerombol di ujung semak, berkicau sahut sahutan



"Apa bapak atau ibumu tak pernah cerita soal aku?"



" Coba ceritakan kenapa sampai berada di hutan perawan ini. Mungkin bisa lebih banyak anak ceritakan sampai kesasar ke tempat ini?"



Sebenarnya Banaspati malas menjelaskan. Dia menduga Bapaktua itu sudah tahu semua. Tapi sopan santun etika saja dia bercerita mulai dari tidak betahnya tinggal di lingkungan istana, sampai keinginannya ke padepokan kakeknya di lereng gunung wilis.



" Hahahahaha....tak ada beda antara kau dan aku. Tak betah di lingkungan kerajaan. Bedanya kau ke timur, sementara aku, saat se usia kau, pergi ke arah barat."



sambil mengamati pipit yang terua menerus berisik, bapaktua itu meneruskan.



"perilaku orang di istana sama saja, dari dulu sampai sekarang."



"walau sudah lama tak menginjak kaki kotaraja, aku mencium bau napsu saling menguasai dari semua pihak."



Lalu bapaktua itu berdiri, mengkebas kebaskan belakang celananya yang kotor.



Habiskan saja makan itu, aku permisi.



"Bapaktua mau kemana? Aku belum kenal."



"Nanti kau akan tau, siapa aku, yang harus kuberitahu kita berada di pihak yang sama."



Tanpa menunggu jawaban bapaktua melompat beberapa kali lalu meng hilang di semak semak. Gerakan itu Mengagetkan pipit yang sedang bercengkrama bersahut sahutan. Sekejap puluhan pipit itu berterbangan.



Ganapati yang terkesima tak sempat mencegah. Ia hanya menatap gerakan kilat Bapaktua yang dalam kejapan mata sudah menghilang. Ia duduk kembali, penasaran siapa bapaktua itu. Tapi kelak suatu hari akan ditanyakan ke kakeknya.


 

Makin ke Timur



Keluar dari hutan, melihat hamparan sawah yang tak terurus. “beda sekali dengan keadaan yang di barat.” Ganapati berjalan terus sambil sekali kali melihat kanan dan kiri. Sepi sekali daerah sini. Malahan seperti tak bertuan. Banyak alat alat tani yang tergeletak sembarangan. Bekas tumpukan bibit masih tergeletak di pinggiran pematang. Seolah barang barang itu ditinggal buru buru. Melihat kedepan ada padukuhan kecil, nanti bisa tanya orang orang di sana ada kejadian apa sehingga daerah ini sepi seperti kuburan.



Menyapa, sambil jalan di setiap rumah yang dilewati. Tak ada satu orangpun yang menyahut. Berhenti sejenak, lalu masuk pekarangan dan melongok ke dalam rumah yang pintunya kebetulan terbuka. Kembali menyapa untuk menyatakan dia hadir di situ. Tetap tak ada sahutan.



Sampai di ujung pedukuhan, tak ada satupun penduduk di situ. Padukuan ini ditinggal penghuninya. Katanya dalam hati. Ada apa gerangan? Seperti bedol desa yang dilakukan buru buru.



Ganapati terus berjalan, tak sampai di hutan kecil di depannya, bermunculan dari semak semak beberapa orang lelaki memegang senjata.



“berhenti. Mau kemana?”



Ganapati berhenti, sambil mengamati orang orang itu yang jumlahnya lima orang. Ganapati menceritakan asal dan tujuannya.



“Sebenarnya saya ingin bertanya, melewati padukuhan, tapi tak ada satupun orang yang ditemui. Ada apa gerangan di sini” tanya Ganapati dengan sangat sopan.



Masih dengan pandangan penuh curiga, lima orang itu mendekati Ganapati. Yang paling depan sudah menurunkan senjatanya sementara tiga yang di belakang tetap siap siaga.



“Beberapa hari lalu ada gerombolan Baureksa merampok kampong kami. Mereka keluar dari hutan. Hutan yang ada di sebelah barat kampong ini.” Kata pemimpin dari lima orang itu.



Ganapati terus mendengarkan cerita pemimpin yang bertubuh tinggi besar, berkumis dan jenggot yang lebat.



“kami mengamati kampong, apakah rombongan itu sudah pergi. Mereka mengambil semua padi padi kami yang baru panen. Untungnya tak ada korban jiwa, seluruh penduduk sekarang mengungsi di kampong induk"



“Siapa sebenarnya rombongan perampok itu?”



“tak ada yang tahu, mereka katanya dari barat, orang orang dengan perangai liar” lanjut pemimpinnya.



“daerah ini, dan sekitar sini sebenarnya aman. Tapi akhir akhir ini sering ada pencurian ternak dan palawija, terakhir gerombolan itu. Sepertinya Sepeninggal Raja, wilayah Demak jadi tak aman. Pengawal istana tak pernah menjaga desa desa. Mungkin di istana sibuk menyiapkan raja baru. Sehingga tak sempat mengurus desa desa.”



“seperti apa ciri-ciri gerombolan Baureksa itu?” tanya Ganapati penasaran.



“Ada dari mereka pakai baju hitam, coklat, hijau tua, tapi semua pakai ikat kepala merah. Seluruhnya berkuda, ada yang berkuda sendiri, ada yang berdua.



“Itu rombongan Kalong Merah”, dulu mereka adalah pasukan Demak, Pemimpinnya Elang Jati. Dulunya adalah pemimpin pasukan yang disegani, tegas dan pemberani. Gerombolan yang mengganggu Demak diringkus oleh dia. Ilmunya tinggi dan berasal dari daerah selatan, alas Magetan.



“Apakah ada satu orang yang tua ikut dalam rombongan itu?”



“Iya ada, dan dia satu satunya yang pake pakaian putih putih. Siapa dia? Apakah bapak kenal”



"Hmmm. Dia salah satu guru dari Elang Jati. Namanya Ki Mahoni. Telapak tangannya mengandung daya sedot yang kuat. Kalau telapak tangan itu membentang lawannya bisa terseret mendekat.



“Untung saja kalian tidak melawan. Dua orang itu mampu mengobrak abrik padukuhan ini.”



“Tapi kalau mereka adalah bekas pasukan dari Demak, kenapa pergi dari KotaRaja, malah memimpin gerombolan” tanya pimpinan itu.



“entahlah, keadaan Demak sekarang sedang tak menentu. Mungkin saja itu gerombolan yang kecewa dengan istana, lalu memilih mencari daerah baru, lalu kehabisan makanan, dan merampok."



"barang apa saja yang diambil dari padukuhan ini?"



“Belum tahu pasti. Mau periksa tapi khawatir gerombolan itu akan kembali lagi.”



“Tadi sekilas saya lihat hanya lumbung padi kalian yang diambil. Sepertinya mereka memang kehabisan makanan”



“Sekarang apa yang akan kalian lakukan?”



Kami harus pastikan gerombolan itu tidak kembali lagi ke sini, kalaupun kembali, Demang sudah perintahkan semua lelaki dewasa harus berjuang mengusir mereka.



Ganapati mendengarkan sambil menimbang nimbang, apakah mau terus melanjutkan perjalanan ke timur, atau membantu penduduk sini.



"Kalau begitu mari kita periksa apakah masih lengkap semuanya kecuali yang kita tahu lumbung padi sudah dirampok."



Walau masih menjaga jarak, pimpinan keamanan kampung memperkenalkan diri



"Nama saya Bhakti Sampurna" kata pemimpin itu.



"Setelah ini, saya akan antar bapak ke Ki Demang di Padukuhan Induk. Beliau menunggu laporan dari kami.



"Baik."



"Terus terang, kami butuh lelaki yang kuat dan berani membela yang lemah. Tidak banyak orang yang bersedia membantu sukarela. Di kampong kami hanya kami berlima, walaupun banyak lelaki di sini.”



“takut, cemas, khawatir akan nyawa melayang, itu bisa dimaklumi. Yang penting ada dari kita yang masih berani. Kalau perjuangan kita berhasil mengusir gerombolan itu, pasti banyak yang ikut.”

kalau begitu, bapak akan saya antar ke Demang di Padukuhan Iinduk, sementara empat orang berjaga jaga di sini.” Kata pimpinan



“ingat kalian mengawasi saja, jangan coba melawan. Mereka lebih kuat dan pengalaman. Kalau melihat lawan yang banyak dan kuat, jangan melawan, lari ke padukuhan induk."



Ki Demang sudah minta bantuan ke kadipaten" lanjut Sampurna



"Kadipaten Jipang?"



Iya, Adipati Jipang sedang menyiapkan pasukannya yang kuat untuk menumpas gerombolan yang hendak mengganggu Demak.



Ganapati termangu, memikirkan gerombolan mana yang dimaksud Adipati Jipang. Dia mendengar banyak hal tentang adipati Jipang yang menuntut haknya atas tahta Demak. Sementara keturunan Sultan Trenggana juga merasa berhak atas Demak.



Benar kata ibu dan bapak, pertentangan merebut kekuasaan makin hari makin tajam. Biarlah para pangeran, adipati, tumenggung dan penguasa penguasa istana. Semoga ada kompromi di kalangan mereka dan memberi kesempatan pada yang pantas memimpin Demak sepeninggal Raja.



Pikirannya campur aduk, cemas khawatir akan pertentangan yang tajam yang berakibat kerugian lahir bathin pada rakyat. Dia mencoba menghilangkan pikiran jelek itu.



“saya setuju, besok pagi sekali bersama Sampurna, kita ke padukuhan induk"



"Mari kita istirahat supaya esok tubuh segar."



Malam ini bintang beribu ribu si langit, setelah kemarin sepanjang hari mendung dan hujan. Ganapati dan Sampurna mengambil tempat di bawah pohon, mengeluarkan sarung, langsung rebahan, ngobrol pengantar tidur dan pulas.


 


 

Menunda Perjalanan



Bukannya menyambut hangat di Bangsal Padukuhan, Ki Demang malah menyerang dengan kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. Serangan mematikan dari ilmu Cocor Bebek, langsung pada sasaran mematuk berulang kali. Tak satupun kumpulan orang di situ mengira serangan mendadak itu. Selagi orang orang berduyun duyun ingin mengenal lebih dekat orang asing yang mau membantu padukuhan ini. Lagi pula, serangan ini dilakukan oleh pimpinannya yang dianggap kurang ksatria.



Bhakti Sampurna, yang berdiri tepat di samping Ganapati hanya terpana. Bahkan tak sempat berteriak memperingati Ki Demang, bahwa di sebelahnya adalah tamu Padukuhan yang menjadi sukarelawan. Hanya anak buah yang satu langkah di belakangnya berteriak "Jangan Ki Demang.!"



Terlambat. Empat jari tangan kanan Ki Demang sudah menjulur tepat di dada Ganapati. Bukan cuma serangan tangan kosong, tapi serangan dengan lembaran tenaga dalam ciri khas perguruan Bibit Walubi yang terkenal.



Ganapati sempat terperanjat dengan serangan mendadak dan langsung. Tapi pengalaman menghadapi berbagai ilmu menyerang membuatnya tidak pernah panik. Cepatnya pukulan itu dilayani dengan sikap mundur selangkah lalu menyamping, lalu menolak.



Serangang Ki Demang dengan mudah dapat digagalkan. Serangan pertama tak menyurutkan niat menaklukan Ganapati. Tahu serangannya gagal, Ki Demang membalik badan dengan cepat, lalu kaki yang kokoh melayang ke arah kepala Ganapati. Serangan inipun dapat ditangkis dengan mudah.



Serangan terus menerus, tapi selalu dapat ditangkis. Warga Padukuhan yang menonton merasa ada yang tak adil. Kenapa Ki Demang terus menyerang tanpa memberi kesempatan Ganapati bicara. Mereka punya kesan bahwa Ganapati hanya menangkis dan bertahan dari serangan. Tak sekalipun dia menyerang Ki Demang.



Dengan pola yang sama, Ganapati sedikit menyamping bila diserang berturut turut. Beberapa kali dengan telapak kiri, dia mendorong lengan atas Ki Demang, lolos dia dari serangan itu, bukannya membalas serangan, malahan mundur, seolah memberi kesempatan Ki Demang, menyiapkan diri untuk serangan berikutnya.



Sampurna dan anakbuahnya, Sugiri bengong melihat cara Ganapati menepis serangan. Dan juga kagum karena tak mau menyerang. Sepertinya Ganapati merasa Ki Demang salah tanggap dengan kehadirannya di wilayahnya.



Sementara Ki Demang penasaran melesetnya pukulan itu. Dia. Berbalik, dibarengi pukulan tangan kiri. Ganapati menyambutnya dengan sedikit menarik lengan Ki Demang sambil menolak ke samping. Barangkali Ki Demang hendak menguji dirinya. Mungkin dia mau bermain main sejenak sampai lima sampai sepuluh jurus.



Sesungguhnya, pukulan Ki Demang yang selalu sering ditangkis, makin lama makin lemah, serangannya bersamaan dengan memukul serangan menjadi lembek dan lambat. Sebenarnya dengan mudah Ganapati dapat menangkap serangan tangan dan kaki Ki Demang, tapi bukan itu yang dilakukan.



Belum lagi jurus ke sepuluh, Ki Demang berhenti menyerang. Dia berdiri dengan posisi, tegak, kaki renggang, menatap Ganapati dari jarak tiga meter. Mulai dari kepala sampai kali lalu balik ke mata. Lalu Ki Demang mengangguk angguk kecil kepalanya. Seakan tak percaya kekuatan lawan yang dihadapinya.



Baru hari ini aku ditaklukan oleh orang yang jauh lebih muda dari dirinya katanya dalam hati. Hening di halaman bangsal itu. Tak ada satupun orang berbicara, bahkan tak berani berbisik bertanya apa yang bakalan terjadi. Lebih baik menyimpan saja pertanyaan itu.



Namun hening itu tak berkepanjangan. Suara Ki Demang yang berat berwibawa memecah lengangnya suasana di halaman bangsal Padukuhan.



"Ternyata Padukuhan ini beruntung, mendapat tenaga bantuan yang luar biasa. Orangnya berIlmu tinggi dan silapnya yang rendah hati."



Ki Demang menghela napas sejenak,kemudian meneruskan kata katanya.



"Seharusnya dalam serangan pertama, anak ini sudah mampu menjatuhkan saya. Bahkan membuat lengan saya copot dari tubuh renta ini."



"Tapi itu tak dilakukan. Anak ini malahan melayani serangan saya. Jurus demi jurus, serangan beruntun tanpa balas menyerang.



"Bhakti Sampurna, apakah kau perhatikan kekuatan anak ini sewaktu menangkis serangan?"



Bhakti Sampurna yang ditanya Ki Demang tergagap gagap menjawab. "Iya saya perhatikan cara cara menghindar dan menangkis serangan."



"Apa pendapatmu?"



Maaf Ki Demang, menurut saya, adi Ganapati, belum sungguh sungguh bertempur. Mungkin dia sungkan melawan Ki Demang"



"Hahhahahahahaha..iya benar, saya merasakan hal itu. Kalau dia mau, belum sempat bergerak menyerang, aku sudah terkapar."



Sekarang mari bersama kita merayakan kedatangan adi Ganapati.



Ganapati yang sedari tadi diam bengong tak tau apa yang mesti dilakukan, tak sadar mengikuti langkah Sampurna menuju bangsal.



Bangsal Padukuhan dalam sekejap ramai, seluruh warga tua muda besar kecil laki perempuan mau liat seperti apa itu Ganapati. Berjejal berdesakan di tangga balai desa.



Ki Demang tak perlu mengenalkan yang mana Ganapati, semua sudah tahu, karena dia satu satunya orang aasing yang ada di balai itu.



Ibu Demang sibuk menyiapkan makanan yang special.



"Harus makanan yang tidak biasa. Sebab kita kedatangan tamu yang luar biasa, Demikian pesan ki demang"



Seolah semua lupa bahwa Padukuhan ini beberapa waktu lalu dirampok oleh gerombolan. Pesta perayaan itu seperti mampu melupakan sejenak peristiwa yang menyakitkan itu, lagi pula ini adalah pesta untuk pahlawan yang mereka harapkan mampu menghalau perampok dan musuh padukuhan. Walau belum terbukti, tapi cerita petugas keamanan padukuhan meyakinkan mereka. Bahkan Ki Demang percaya kekuatan Ganapati.



Hari itu semua bergembira, semua ingin bicara dengan Ganapati, semua pengen tahu siapa sessungguhnya ganapati. Seperti juga Ki Demang yang ingin lebih mengenal siapa orang yang misterius ini.


 


 

Cerita di Kamar



Baru saja meluruskan badan, siap berbaring. Sudah menjelang tengah malam, bunyi derit pintu kamarnya dibuka. Ki Demang masuk.



"Mari Ki Demang, baru mau baring meluruskan badan."



Maaf anak, mengganggu, tapi mumpung berdua di kamar...tidak akan ada yang mengganggu percakapan kita."



"Saya minta maaf tadi atas peristiwa tadi pagi. Saya ingin perlihatkan ke semua warga bahwa anak adalah orang yang cocok menjaga padukuhan ini." Kata Ki Demang dengan suara perlahan dan berat. Seolah makna kata yang terucap itu tidak disalahtafsirkan.



"Saya ingin agar pemuda di sini punya sikap berani dan mau berlatih beladiri menjaga wilayah ini."



"Saya sudah bicara dengan Bhakti Sampurna, mereka mau dilatih kanuragan oleh anak."



"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan. Apakah anak bertemu dengan siorang berambut putih berkumis dan berjenggot putih seluruhnya?”



"Orang tua itu beberapa kali lewat padukuhan ini, lalu masuk hutan dan beberapa hari kemudian lewat lagi. Perilakunya aneh, tidak bicara, senyum senyum, menyapa seadanya. Beli makan bungkus daun, bawa, entah makan di mana"



“ Iya betul Ki Demang. Saya tidak perlu berpura pura, bahwa saat itu saya hampir bertarung dengan beliau. Saya yakin dia berilmu luar biasa tingginya. Walau sambil tertawa terkekeh kekeh orangtua itu masih mampu melepaskan kekuatan dahsyat yang membuat saya terpelanting."



"Saya yakin belum setengah dari ilmunya dipakai untuk menyerang saya."



Adakah anak bertarung demikian hebat dengan bapaktua itu?



"Tidak bisa disebut bertarung Ki Demang. Dia menyerang dengan lembaran ilmu tenaga dalam yang tinggi. Dengan sekali pukul saya terpelanting, kepala terasa pusing tujuh keliling." Lalu diceritakan oleh Ganapati peristiwa berjumpa dengan orangtua eksentrik itu.



"Waktu itu saya curiga, kenapa orang itu menyerang tanpa alasan. Saya tak mengenal dia. Saya tak punya persoalan dengan dia. Sepengetahuan saya, saya tak pernah berurusan dengan orangtua itu. Bagaimana mungkin orang yang tak mengenal saya, menyerang dengan ilmu tinggi. Dalam hati, hanya orang yang mau membinasakan saya menyerang dengan ilmu tinggi.



Guruku, bapak dan ibu tak pernah mengajari menggunakan ilmu tenaga dalam yang tinggi pada serangan pertama. Tak pernah terpikir oleh mereka, demikian pula aku. Tak mungkin aku menyerang orang dengan kekuatan penuh pada serangan pertama."



Serangan pertama adalah serangan yang bertujuan mengkira kira lawannya. Intinya diperlukan untuk menjajaki apakah lawan kita punya ilmu yang tinggi. Setiap orang yang belajar kanuragan, dapat mengenali lawannya dalam serangan pertama. Serangan pertama amat dilarang bila dilakukan dengan kekuatan tinggi. Sebabnya, orang yang diserang belum tentu punya ilmu tinggi, dan lebih celaka lagi ketika orang yang diserang lalu terluka, ternyata salah sasaran, atau kata lain menciderai orang tak bersalah



Orang yang melakukan serangan pertama dengan ilmu tinggi, hampir pasti mau mencelakakan lawannya. Atau orang itu tahu benar, siapa yang diserang. Dia yakin dengan serangan ilmu tinggi itu lawannya tak mungkin celaka.



Itu yang terjadi pada serangan pertama yang dilakukan orang berambut putih ke saya. Saya yakin dia sudah menakar kekuatan saya. Kalau sudah menakar. Mestinya, dan saya yakin, dia pasti siapa saya."



"Sayang saya tak tahu siapa beliau. Bahkan tak berani menduga siapa sesungguhnya identitas orang yang menyerang saya."



"Apakah Ki Demang kenal dengan orang berambut putih itu? Sepertinya Ki Demang tahu banyak orangtua berambut serba putih”



“hahahaha....iya saya sedikit tahu orangtua itu. Ciri ciri orangtua itu mengingatkan saya akan cerita almarhum guru saya Ki Bronjong Wedi tentang para pangeran Majapahit yang tercerai berai sejak pindahnya pusat kerajaan dari timur ke barat."



"Seingat saya, tidak semua para pangeran setuju dengan berdirinya Demak, perbedaan pikiran pandangan keyakinan menjadikan Majapahit terpecah pecah. Walau kocar kacir, tapi para petinggi di dalam dan luar Demak sama sama berilmu tinggi, mewarisi ilmu ilmu langka dari Majapahit dan Singosari. Perguruannya menurunkan ilmu yang sudah jarang dikenal di masa sekarang. Ilmu beladiri, tenaga dalam, tanding, perang, bahkan ilmu sastra senandung, tembang, lukis, mematung, pande besi. Keris keris kerajaan Demak, asal muasalnya dari Singosari. Besar kemungkinan orangtua itu adalah salah satu bangsawan, atau mungkin pangeran yang lebih suka berpetualang bebas di alam daripada di Istana.



“Kalau dari cerita anak, saya yakin ada hubungan antara orangtua itu dengan anak?. Apalagi mendengar cerita bahwa anak mengenal gerak gerik dan jurus jurus ilmunya nya. Bukan cuma mengenal tapi juga bisa melakukannya. Itu kan artinya anak dan orangtua itu belajar ilmu dari satu sumber.



"Sewaktu duduk ngobrol di hutan, bapaktua itu tak cerita siapa dia?"



"Bapaktua itu malahan tanya apakah orangtua saya pernah cerita tentang orang berambut putih. Lalu malah tanya keadaan Demak. Lalu pamitan."



"Datang mendadak, pamit mendadak, tidak ada tata sopan santun, tak menjaga perasaan orang lain, tidak ada basa basi."



"Hahahahaha orang aneh. Tak dapat disangkal pasti anak punya hubungan dengan orangtua itu."



"Nama Ganapati, bukan nama orang biasa. Nama itu nama mengandung unsur Hindu dan Majapahit yang kuat. Anak mewarisi ilmu yang sama dengan orangtua itu, Semakin yakin bahwa anak, mewarisi darah Majapahit.



"Siapakah ayahmu, Ganapati?"



"Menurut cerita ibu, ayahku itu berprinsip kuat kokoh tapi juga lembut hati. Dia banyak diam dalam pertikaian di kalangan para bangsawan kerajaan Demak. Dia bersahabat dengan Sunan Prawata, Karebet, Aryo Penangsang dan keturunan pangeran Kanduruwan.



Sesungguhnya para keturunan Demak adalah keturunan dari Majapahit. Semua bersaudara. Kadang iri hati sering jadi sumber pertikaian. Karena Sultan sering berkunjung ke satu Adipati, lalu Adipati yang lain tersinggung. Kadang karena Sultan lebih mendengar nasihat satu tokoh agama, tokoh agama yang lain menjauh. Bukan cuma di tataran sultan, juga terjadi di tataran adipati, pangeran, tumenggung terus sampai di tingkatan yang paling rendah.



Ini yang dialami oleh ayah. Semula ia menduga pertikaian hanya di kalangan para petinggi istana saja, makanya dia memilih tugas di luar istana. Pikir ayah daripada mendengarkan keluhan sekitarnya, lebih baik melepaskan diri dari kungkungan lingkungan istana.



"Menurut Ibu, ayah itu memilih memimpin pasukan menyerang daerah bekas kerajaan Majapahit dan Singosari. Di medan laga, bukan musuh yang tak dikenali, melainkan ayah berhadapan dengan saudara sendiri. Saudara yang berseberangan dengan Demak. Kabarnya ketika pertempuran dahsyat terjadi, ayah hilang, terakhir masih kelihatan di daerah pasuruan. Setelah itu tidak ada kabar lagi.



Ki Demang mengangguk angguk dengar cerita Ganapati.



"Sepertinya cerita tidak akan selesai di sisa malam ini." Kata Ki Demang dengan suara dalam, membayangkan suasana di istana dan wilayah kekuasaan Demak."



Tiba tiba pintu berderit membuka. "Maaf Ki Demang, saya memberanikan diri masuk kamar ini, karena saya dengar Adi Ganapati masih belum tidur."



"Ada apa, Sampurna?"



"Saya disuruh menyampaikan pesan ada seorang pemuda yang mau berjumpa dengan adi Ganapati." Kata Sampurna dengan suara perlahan



"Siapa?" Tanya Ki Demang heran.



"Pemuda itu mengaku bernama Ranu" Lanjut Sampurna.



"Ranu?" Ki Demang dan Ganapati menyebut bersamaan waktu, seperti heran dengan nama itu.



"Ranu, siapa?" Tanya Ganapati.



"Dia hanya menyebut Ranu saja. Mau bertemu dengan adi Ganapati di ujung utara, berbatasan dengan bukit hutan perdu esok tengah hari."



"Terima kasih Sampurna, biarlah anak Ganapati istirahat setelah semalaman cerita dengan saya." Kata Ki Demang menutup pembicaraan dengan Sampurna



"Tidurlah nak, simpan ceritanya untuk lain kesempatan. Biarlah kita bersama menemui Ranu esok siang." Kata Ki Demang sambil keluar kamar.


 

 

Dua ilmu



Hutan perdu di ujung Padukuhan tidak lebat, cukup jelas untuk melihat seseorang yang berada di sana. Dari kejauhan Ganapati sudah melihat orang yang bernama Ranu, menunggu di bawah pohon Randu yang sudah tua.



Makin mendekat makin nampak wajahnya anak muda itu, berwajah bersih, matanya jernih, rambut awut awutan, dengan ikat kepala yang tak tersusun rapih. Keliatan dia tak mandi beberapa hari, tapi tak menghilangkan kesan bahwa dia orang yang percaya diri. Usianya lebih muda dari Ganapati. Wajahnya aneh, dagunya runcing, tidak seperti kebanyakan wajah laki-laki.



Ganapati tak mengenalnya. Setelah berhadapan jarak lima meter, dia memandang dengan wajah ramah.



"Ada apa gerangan ingin bertemu denganku?"



"Kakang Ganapati, apakah tidak mengenal aku?" Suaranya kecil, agak melengking dan kurang enak didengar



"Mohon maaf, aku sama sekali lupa dengan siapa berhadapan" Ganapati sambil mendekat dan memandang dengan lebih seksama.



"Kita memang tidak bertemu sebelumnya. Tapi bapak kita yang bertemu. Bertemu di medan laga."

"Apakah nama adik benar Ranu. Ranu siapa."

"Hanya Ranu. Saya mencari kakang untuk menuntut balas, kematian bapak."

"Saya tidak tau soal itu, kalau di medan laga, tidak ada yang bisa meramal nasib. Kalo tidak membunuh ya dibunuh."

"Saya tak peduli. Siap siap, saya akan menyerang."



Dengan kecepatan tinggi Ranu menyerang. Melompat dibarengi kaki dan tangan menjulur, jari tangan membuka mau mencengkeram seperti kuku macan. Ajian macan liwung pada gebrakan pertama. Ranu seolah tak mau kehilangan buruannya. Teriakannya yang melengking memekak telinga.



Ganapati, terkesima dengan gerakan Ranu yang liar, dia melompat mundur menghindar serangan itu. Dia menyiapkan pertahanan, dalam hati, tak mau menyerang Ranu.

Serangan pertama gagal, Ranu membalik langsung melayang melesat bagai anak panah dengan tangan menggenggam, ke arah kepala Ganapati. Ganapati menunduk, sambil mengibas lengannya memecah perhatian Ranu.



Pertarungan terus berlangsung, Ranu tak surut menyerang, sementara Ganapati tak sedikitpun berusaha menyerang. Ada perasaan yang menghalangi dia untuk menyerang. Entah perasaan apa, tapi hambatan itu makin lama makin menguat.

Ranu pasti salah orang. Melihat penampilannya yang kecil langsing, serangannya yang liar seolah dibuat buat. ganapati yakin orang itu pasti bukan dari golongan liar dan angker. Karenanya diapun tak mau sungguhan bertarung.



Melihat lawannya sepertinya enggan menyerang bahkan melawan setengah hati, Ranu menjadi marah, kekuatan tenaganya menjadi berlipat, gerakannya sedikit melambat, hawa panas makin terasa di sekelilingnya. Telapak tangannya seolah menjadi bara api. Lalu dengan percaya diri menyerang dengan telapak tangan terbuka. Tak mau ambil risiko, Ganapati tak lagi melompat mundur, tapi berusaha menangkis serangan telapak tangan itu dengan menggesernya ke samping agar tak mengenai dada. Tapi betapa kagetnya Ganapati karena tangannya seperti menyentuh bara api.



Ajian Tapak Obong kata Ganapati dalam hati. Ia tidak boleh main main, nampaknya Ranu berusaha membinasakan dirinya. Secara tak sadar dia membentengi dirinya Tameng Waja. Ilmu itu bukan cuma benteng diri tetapi juga menghasilkan hawa panas di sekeliling lapisan Tameng Waja. Dua hawa panas yang keluar dari dua ilmu membuat rumput pijakan dua orang itu jadi mengering.



Deru angin berputar melingkari dua orang yang saling bertempur. Kadang mereka bergerak cepat, melayang layang, menukik dengan ketangkasan yang sulit dilihat mata telanjang. Bagi orang yang tak mengenal ilmu kanuragan, dua orang itu seolah bayangan yang berputar putar. Kadang suatu kesempatan salah satu keluar dari lingkarang, lalu segera masuk kembali. Demikian terus menerus, seperti menguji ketangkasan, kecepatan gerak dan juga kedalaman tenaga bathin.



Tiba tiba Ranu mundur melompat beberapa kali, lalu berhenti, sedikit merunduk, menguatkan kuda kuda, siap menyerang. "Tidak ada cara lain, terpaksa harus kukeluarkan ilmu pamungkas ini. Kata Ranu pada dirinya sendiri. Entah ini benar atau tidak, semoga orangtuaku mengampuni segala kesalahanku."



Ganapati terperanjat dengan sikap Ranu, "rupanya Ranu sudah pada batas akhir" seolah mau mengakhiri pertempuran sebelum hari gelap. Lalu Ganapati melebarkan kaki, sedikit melipat, merunduk, telapak tangan berubah jadi kepalan. Demikian pula, Ganapati harus mengeluarkan jurus andalannya Garuda melayang.



Ganapati tak lagi berusaha menghindar atau melompat mundur. Kali ini dia mau membenturkan ilmunya dengan ilmu lawannya.



Tanpa peringatan Ranu melompat tinggi dengan teriakan nyaring langsung ke arah dada Ganapati. ganapati yang sudah siap, langsung membenturkan dua kekuatan itu. Bunyi gelegar beradunnya dua kekuatan itu mengakibatkan kedudukan kaki Ganapati bergeser beberapa langkah. Lain halnya dengan Ranu, benturan itu membuatnya terpelanting terjungka beberapa kali sebelum akhrinta terbaring. Dia berusaha keras untuk bangkit berdiri, walau sempoyongan. Akhirnya mampu berdiri.



"Hahahahahaha" suara tertawa menggelegar di hutan randu yang semakin gelap. Ganapati dan Ranu langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara itu. Tampak, walau samar samar bapaktua berambut,kumis berjenggot putih berdiri menyender pohon randu, dengan tetap melipat tangan di dada, ia berseru.



"Pertunjukan yang maha dahsyat. Dua ilmu yang sudah jarang ditemui saat ini beradu"



"Ilmu yang ketika zaman mudaku masuk golongan ilmu putih. Kenapa dua ilmu itu saling beradu.?"



"Bapaktua!"



"Kakek"



Serentak dua orang yang berlaga itu menyebut orang yang bersandar di pohon randu.



"Mayang Ayu!. Jauh sekali perjalananmu hanya untuk memuaskan nafsu membalas kematian ayahmu. Apakah kau yakin ayahnya lawanmu itu yang membunuh?



Ganapati terperanjat, ketika nama lawannya disebut oleh bapaktua. Dia sudah menduga lawannya perempuan, tetapi tetap saja kaget.



"Kalian berdua, kemarilah, mari duduk disini, saya membawa makanan beli dari padukuhan." Bapaktua itu menyerukan dengan bahasa yang lebih lembut.



"Kakek kenapa ada di sini. Kenapa menghentikan pertempuran yang sudah hampir di ujung penyelesaian."



"Marilah kalian berdua mendekat, supaya aku bisa menyapa kalian tanpa harus teriak."



"Duduklah di sini Ganapati. Mungkin kau belum mengenal cucuku ini. Biarlah kalian saling mengenal. Anggap saja pertempuran barusan adalah latihan agar badan menjadi segar."



Mendekatlah Mayang. Biarlah kalian saling mengenal wajah satu dengan lainnya.



Ganapati tanpa sadar menatap kuat pada wajah Mayang Ayu. Semula untuk memastikan bahwa yang dihadapinya itu sungguh perempuan. Makin menatap makin membuat hati Ganapati berdebardebar, apalagi liat mata lawannya yang bening bersih.


 

Dua ilmu



Hutan perdu di ujung Padukuhan tidak lebat, cukup jelas untuk melihat seseorang yang berada di sana. Dari kejauhan Ganapati sudah melihat orang yang bernama Ranu, menunggu di bawah pohon Randu yang sudah tua.



Makin mendekat makin nampak wajahnya anak muda itu, berwajah bersih, matanya jernih, rambut awut awutan, dengan ikat kepala yang tak tersusun rapih. Keliatan dia tak mandi beberapa hari, tapi tak menghilangkan kesan bahwa dia orang yang percaya diri. Usianya lebih muda dari Ganapati. Wajahnya aneh, dagunya runcing, tidak seperti kebanyakan wajah laki-laki.



Ganapati tak mengenalnya. Setelah berhadapan jarak lima meter, dia memandang dengan wajah ramah.



"Ada apa gerangan ingin bertemu denganku?"



"Kakang Ganapati, apakah tidak mengenal aku?" Suaranya kecil, agak melengking dan kurang enak didengar



"Mohon maaf, aku sama sekali lupa dengan siapa berhadapan" Ganapati sambil mendekat dan memandang dengan lebih seksama.



"Kita memang tidak bertemu sebelumnya. Tapi bapak kita yang bertemu. Bertemu di medan laga."

"Apakah nama adik benar Ranu. Ranu siapa."

"Hanya Ranu. Saya mencari kakang untuk menuntut balas, kematian bapak."

"Saya tidak tau soal itu, kalau di medan laga, tidak ada yang bisa meramal nasib. Kalo tidak membunuh ya dibunuh."

"Saya tak peduli. Siap siap, saya akan menyerang."



Dengan kecepatan tinggi Ranu menyerang. Melompat dibarengi kaki dan tangan menjulur, jari tangan membuka mau mencengkeram seperti kuku macan. Ajian macan liwung pada gebrakan pertama. Ranu seolah tak mau kehilangan buruannya. Teriakannya yang melengking memekak telinga.



Ganapati, terkesima dengan gerakan Ranu yang liar, dia melompat mundur menghindar serangan itu. Dia menyiapkan pertahanan, dalam hati, tak mau menyerang Ranu.

Serangan pertama gagal, Ranu membalik langsung melayang melesat bagai anak panah dengan tangan menggenggam, ke arah kepala Ganapati. Ganapati menunduk, sambil mengibas lengannya memecah perhatian Ranu.



Pertarungan terus berlangsung, Ranu tak surut menyerang, sementara Ganapati tak sedikitpun berusaha menyerang. Ada perasaan yang menghalangi dia untuk menyerang. Entah perasaan apa, tapi hambatan itu makin lama makin menguat.

Ranu pasti salah orang. Melihat penampilannya yang kecil langsing, serangannya yang liar seolah dibuat buat. ganapati yakin orang itu pasti bukan dari golongan liar dan angker. Karenanya diapun tak mau sungguhan bertarung.



Melihat lawannya sepertinya enggan menyerang bahkan melawan setengah hati, Ranu menjadi marah, kekuatan tenaganya menjadi berlipat, gerakannya sedikit melambat, hawa panas makin terasa di sekelilingnya. Telapak tangannya seolah menjadi bara api. Lalu dengan percaya diri menyerang dengan telapak tangan terbuka. Tak mau ambil risiko, Ganapati tak lagi melompat mundur, tapi berusaha menangkis serangan telapak tangan itu dengan menggesernya ke samping agar tak mengenai dada. Tapi betapa kagetnya Ganapati karena tangannya seperti menyentuh bara api.



Ajian Tapak Obong kata Ganapati dalam hati. Ia tidak boleh main main, nampaknya Ranu berusaha membinasakan dirinya. Secara tak sadar dia membentengi dirinya Tameng Waja. Ilmu itu bukan cuma benteng diri tetapi juga menghasilkan hawa panas di sekeliling lapisan Tameng Waja. Dua hawa panas yang keluar dari dua ilmu membuat rumput pijakan dua orang itu jadi mengering.



Deru angin berputar melingkari dua orang yang saling bertempur. Kadang mereka bergerak cepat, melayang layang, menukik dengan ketangkasan yang sulit dilihat mata telanjang. Bagi orang yang tak mengenal ilmu kanuragan, dua orang itu seolah bayangan yang berputar putar. Kadang suatu kesempatan salah satu keluar dari lingkarang, lalu segera masuk kembali. Demikian terus menerus, seperti menguji ketangkasan, kecepatan gerak dan juga kedalaman tenaga bathin.



Tiba tiba Ranu mundur melompat beberapa kali, lalu berhenti, sedikit merunduk, menguatkan kuda kuda, siap menyerang. "Tidak ada cara lain, terpaksa harus kukeluarkan ilmu pamungkas ini. Kata Ranu pada dirinya sendiri. Entah ini benar atau tidak, semoga orangtuaku mengampuni segala kesalahanku."



Ganapati terperanjat dengan sikap Ranu, "rupanya Ranu sudah pada batas akhir" seolah mau mengakhiri pertempuran sebelum hari gelap. Lalu Ganapati melebarkan kaki, sedikit melipat, merunduk, telapak tangan berubah jadi kepalan. Demikian pula, Ganapati harus mengeluarkan jurus andalannya Garuda melayang.



Ganapati tak lagi berusaha menghindar atau melompat mundur. Kali ini dia mau membenturkan ilmunya dengan ilmu lawannya.



Tanpa peringatan Ranu melompat tinggi dengan teriakan nyaring langsung ke arah dada Ganapati. ganapati yang sudah siap, langsung membenturkan dua kekuatan itu. Bunyi gelegar beradunnya dua kekuatan itu mengakibatkan kedudukan kaki Ganapati bergeser beberapa langkah. Lain halnya dengan Ranu, benturan itu membuatnya terpelanting terjungka beberapa kali sebelum akhrinta terbaring. Dia berusaha keras untuk bangkit berdiri, walau sempoyongan. Akhirnya mampu berdiri.



"Hahahahahaha" suara tertawa menggelegar di hutan randu yang semakin gelap. Ganapati dan Ranu langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara itu. Tampak, walau samar samar bapaktua berambut,kumis berjenggot putih berdiri menyender pohon randu, dengan tetap melipat tangan di dada, ia berseru.



"Pertunjukan yang maha dahsyat. Dua ilmu yang sudah jarang ditemui saat ini beradu"



"Ilmu yang ketika zaman mudaku masuk golongan ilmu putih. Kenapa dua ilmu itu saling beradu.?"



"Bapaktua!"



"Kakek"



Serentak dua orang yang berlaga itu menyebut orang yang bersandar di pohon randu.



"Mayang Ayu!. Jauh sekali perjalananmu hanya untuk memuaskan nafsu membalas kematian ayahmu. Apakah kau yakin ayahnya lawanmu itu yang membunuh?



Ganapati terperanjat, ketika nama lawannya disebut oleh bapaktua. Dia sudah menduga lawannya perempuan, tetapi tetap saja kaget.



"Kalian berdua, kemarilah, mari duduk disini, saya membawa makanan beli dari padukuhan." Bapaktua itu menyerukan dengan bahasa yang lebih lembut.



"Kakek kenapa ada di sini. Kenapa menghentikan pertempuran yang sudah hampir di ujung penyelesaian."



"Marilah kalian berdua mendekat, supaya aku bisa menyapa kalian tanpa harus teriak."



"Duduklah di sini Ganapati. Mungkin kau belum mengenal cucuku ini. Biarlah kalian saling mengenal. Anggap saja pertempuran barusan adalah latihan agar badan menjadi segar."



Mendekatlah Mayang. Biarlah kalian saling mengenal wajah satu dengan lainnya.



Ganapati tanpa sadar menatap kuat pada wajah Mayang Ayu. Semula untuk memastikan bahwa yang dihadapinya itu sungguh perempuan. Makin menatap makin membuat hati Ganapati berdebardebar, apalagi liat mata lawannya yang bening bersih.


 

 


 


 

Mengenal Asal Usul



"Basuh mukamu lebih dahulu Mayang. Di perigi di belakang sana. Sejuk airnya, sekalian basuh badanmu dari keringat dan debu"



Masih tersisa wajah marah dari Mayang Ayu, jurus yang sudah dipersiapkan merobohkan Ganapati terpaksa dibatalkan karena kehadiran Kakeknya. Dia hanya menurut perintah kakeknya, berjalan ke arah belakang pohon Randu menuruni lembah kecil mencari mataair yang ditunjukkan kakeknya.



Ganapati hanya mengawasi langkah langkah kecil Ranu yang kemudian diketahui bernama Mayang Ayu. Sejak diketahui dengan jelas bahwa dia adalah perempuan, Ganapati makin memperhatikan cara jalan Mayang Ayu. Dalam hatinya ia mengumpat kenapa tak dari awal diketahui lawannya adalah perempuan. Dari wajahnya yang aneh untuk ukuran laki laki, teriakannya, jurus yang dimainkan, kegesitannya memainkan tangan dan kaki, sudah memperlihatkan dia sebenarnya perempuan. Entah apa yang membuatnya tak bisa berpikir, seolah semua lawannya adalah laki laki. Bahkan rambutnya yang panjang, walau awut awutan tidak mencirikan laki laki.



Tak sadar Ganapati mengamati Mayang Ayu terus menerus, sampai lenyap dibalik gundukan bukit kecil.



"Duduklah mendekat di sini Ganapati" suara bapaktua itu menyadarkan Ganapati.



"Oh maaf Bapaktua. Baik Bapaktua" Ganapatipun melangkah mendekat, lalu duduk bersila di rerumputan di samping Bapaktua.



Jutaan bintang dan bulan purnama menerangi padang perdu demikian terangnya, hampir nampak semua benda benda alam sejauh mata memandang.



"Jadi setelah pertemuan kita di hutan tempo hari, anak terus berada di sini."



"Betul bapaktua, saya berada di sini membantu menjaga padukuhan ini." Lalu Ganapati menceritakan peristiwa peristiwa yang terjadi di sini. Bapaktua hanya mengangguk angguk kepala sambil sekali sekali menengok ke belakang, sepertinya menunggu Mayang Ayu.



Tak lama, muncul dari balik bukit Mayang Ayu. Rambutnya tak lagi berantakan, tapi digulung ke atas, ikat kepalanya dilepas dipakai untuk mengikat gelungan rambut. Semakin mendekat semakin nampak wajah yang bersih. Pantulan cahaya bulan dan bintang menambah langkah langkah kecil Mayang Ayu seperti bidadari turun dari kayangan.



Geraknya dalam berjalan di padang perdu, di bawah sinar bulan dan jutaaan bintang membuat Ganapati terpana. Tak sadar kalau Bapaktua itu bertanya tentang Ki Demang. Karena tak mendapat jawaban, Bapaktua mengulang lagi pertanyaannya.



"Di mana Ki Demang sekarang ini?" Bertanya dengan sedikit keras sambil menatap Ganapati.



Dengan tergagap gagap Ganapati menjelaskan "Seharusnya dia ikut ke sini, tapi saya melarang, sebab ini bukan urusan Padukuhan melainkan pribadi.



"Mari duduk dekat sini Mayang Ayu."



"Kamu sudah mengenal Ganapati, bahkan sudah beradu ilmu dengannya." Sambil duduk, Mayangayu melihat sebentar ke Ganapati lalu menunduk.



"Kalian berdua duduklah, duduk dengan bebas dari rasa tegang. Jangan duduk berhadapan seolah seperti orang yang bermusuhan."



Kembali Ganapati dan Mayangayu saling menatap tapi kemudian Mayangayu membuang muka memindahkan pandangannya seolah melihat bulan dan bintang di langit.



Cukup waktu bagi Ganapati untuk menilai betapa cantiknya Mayangayu. Sungguh wajah perempuan seperti putri khayangan yang sering diceritakan ibunya. "Siapa gerangan Mayangayu ini" tanya Ganapati dalam hati. Ia berkali kali mengutuk dirinya begitu bodohnya dia sampai tak mengenal orang yang menyerangnya adalah perempuan.



Kalian berdua memang tidak saling mengenal, tetapi ayah kalian semasa muda bersahabat. Sebagai pengawal istana, mereka sering mendapat tugas bersama, ke daerah barat, timur memadamkan pemberontakan terhadap Demak. Tidak semua pemberontak itu bisa dipadamkan tanpa kekuatan pasukan. Dua bersahabat itu punya andil besar, wilayah Demak sampai Blambangan bisa dikuasai tanpa kekerasan. Bagi mereka berdua, Demak tak perlu menguasai kerajaan kerajaan kecil itu, asalkan mereka mengakui Demak.



Gajah Wisesa dan Jaka Umbara dua bersahabat dan dua orang yang berguru pada sumber ilmu yang sama. Segala ilmu Majapahit sudah menyatu dalam tubuh mereka berdua. Semenjak remaja mereka sering berlatih bersama di bawah pengawasanku. Ada keunggulan masing masing. Gajah Wisesa diibaratkan gajah yang berbadan besar kokoh dan segala kekuatan apapun tidak akan mampu menggeser kedudukan kakinya yang kokoh menjejag bumi. sementara Jaka Umbara, lebih unggul dalam kecepatan. Lawan sering bingung dengan kecepatan itu seolah Jaka Umbara berada di mana mana, pukulan lawan sering mengenai tempat kosong sebab Jaka Umbara sudah tidak berada di situ.



Kalian pasti sudah tau siapa ayah kalian masing masing.Mereka berdua mewarisi ilmu Majapahit. Ilmu yang diperoleh dari perguruan kami.



"Kami!?" Tanpa sadar Ganapati dan Mayang Ayu bertanya.



Iya. Aku dan kakek Ganapati berasal dari satu perguruan. Perguruan yang sama dengan para keturunan Brawijaya. Seperti yang sering aku ceritakan tidak semua keturunan Brawijaya suka tinggal di istana. Tidak semua pangeran pangeran Majapahit mengakui kerajaan Demak. Pertikaian yang meruntuhkan Majapahit. Bukan karena kekuatan dari luar, tetapi dari dalam.



Kepada Gajah Wisesa dan Jaka Umbara,

Kami mewarikan ilmu Sapu Angin, Tapak Obong, Guncang Waringin, Rawarontek, Lembu sekilan, Tameng waja, gelap ngampar. Bukan cuma ilmu kanuragan, yang bagi kalangan kami dianggap ilmu rendahan dan kasar. Perguruan kami juga mengajarkan cara cara bernegara, memerintah. Kami juga belajar filsafat membaca serat serat apa arti hidup, kitab perjalanan hidup seseorang dipelajari, dari mulai awal lahir, akil balik sampai menemukan jati diri. Kami diajarkan oleh guru tentang sastra budaya leluhur, tembang antara lain dandanggula dan asmaradana, serta banyak tembang yang lainnya.



Itu bukan berarti kami suka hidup dalam lingkaran kekuasaan di istana, tapi dengan belajar itu kami mampu memahami arti hidup. Kami lebih mengerti soal perebutan kekuasaan yang bermula dari iri dengki cemburu, sakit hati, kami juga belajar tapi juga hakikat moral, sastra, dan juga olah kanuragan.



Sekali sekali Ganapati menengok ke arah Mayangayu yang tekun mendengarkan cerita kakeknya, ketika Mayangayu melihat ke arahnya, dia memalingkan wajah ke Bapaktua seolah mendengarkan ceritanya.



Selagi tekun mendengar cerita bapaktua itu, dari kejauhan ramai orang berduyun dari arah padukuhan menggunakan obor menerangi jalan.



"Nampaknya Ki Demang dan warga padukuhan mencari keberadaanmu." Kata bapaktua



Iya Ki Demang pasti mencari saya. Dia merasa tanggung jawab selama saya berada di wilayahnya.



Ganapati, mumpung ki Demang masih jauh ,biarlah aku izin pergi bersama Mayangayu, nanti saatnya kita ketemu lagi.



"Apakah tidak sebaiknya menunggu Ki Demang dan istirahat di Padukuhan"



"Lain waktu saja, sampaikan salam buat Ki demang"



"Ayo Mayangayu, biarlah kita pisah sejenak, nanti kita ketemu lagi dengan ganapati."



Mayangayu menatap Ganapati. Lalu mengucap "saya permisi kakang, sampai ketemu lagi."



Iya sampai ketemu lagi Mayangayu." Balas Ganapati tergagap gagap. Rasanya kenapa pertemuan singkat sekali, kenapa Ki Demang mesti menyusul ke tempat ini. Tanpa sadar dia menatap dua orang itu yang dalam sekejap sudah melesat cepat di belakang pohon randu dan hilang di balik perbukitan.



"Ganapati.....ganapati, engkau tidak apa apa!!. Ki Demang teriak.



Ganapati menunggu sejenak sampai Ki Demang dekat, lalu menjawab bahwa "tidak ada sesuatu yang kurang Ki Demang"



"Tadi sudah bertemu dengan Ranu"



"Tapi lama sekali, kenapa tak diajak ke padukuhan"



"Dia lebih suka bertemu di sini Ki Demang."



Setiap kali bicara Ranu, Ganapati yang teringat Mayangayu yang berjalan langkah perlahan muncul dari bukit diterangi sinar bulan dan sejuta bintang. Demikian pula, sejuta rasa hati Ganapati mengingat ingat Mayangayu.