Undur diri
Dia sudah
muak, jemu, jijik tak tahan melihat keadaan istana. Walau tak diceritakan,
tetapi orang orang sekelilingnya sudah tahu. Dia memilih diam, menyendiri di
pekarangan belakang rumah daripada ikut lingkaran perselisihan antar kerabat
seketurunan kerajaan yang tak berujung. Seolah tak ada lagi kawan bicara di
lingkungan itu.
Dulu semasa
masih ada, ayahnya adalah tempat mengadu. Persoalan dari kecil sampai besar
dibicarakan bersama. Setelah ayahnya dikabarkan gugur dalam perang di Pasuruan
Jawa bagian timur, dia kehilangan kawan bicara. Ibunya, apalagi. Lebih suka
menyendiri dalam kamar. Tidak mau diganggu. Seolah sudah kiamat dunia ini
semenjak ayahnya tak pulang rumah.
Ayah adalah
sumber hidup keluarga. Almarhum ayahnya mengingatkan prinsip hidup adalah suara
hati. “dengarkan suara hati, karena itu yang paling jujur” bisik ayahnya setiap
kali dia ragu memutuskan.
“Jangan
menjadikan saran orang lain menjadi keputusanmu.”
"Ingat
ayah, ibu, guru guru itu adalah manusia biasa yang punya kelemahan, apapun
kelemahan itu. Kelemahan yang bisa jadi mendatangkan petaka.
Ibu itu orang
bijak tak pernah menolak keputusan anaknya. Dia memberi saran, diterima atau
tidak, selalu direspons dengan senyum dukungan.
Ibunya bukan
orang yang senang dengan jabatan, kalaupun senang, dia tak mungkin menjabat.
Dia perempuan, tidak berhak atas jabatan. Dia mengutuk aturan tata nilai itu.
Tak diucapkan tapi gereget geram gerahamnya tak mampu disembunyikan. Siapa yang
menciptakan aturan itu, tak ada yang menyadari. Sepertinya terjadi begitu saja.
Konon menurut
cerita kerajaaan leluhurnya pernah dipimpin oleh seorang perempuan yang sakti
mandraguna. Sayangnya hanya ssepenggalan kekuasaannya, lalu diambil alih oleh
leluhur yang laki laki. Makin ke sini makin terasa bahwa seorang perempuan
tidak patut memimpin kerajaan.
Perempuan
hanya menjadi pendamping dan harus rela membagi haknya kepada perempuan lain
yang menjadi isteri isteri raja atau pangeran. Paling kehormatannya adalah
menjadi permaisuri karena isteri pertama. Keadaan itu tak mampu ditolak. Itu
takdir itu menurut aturan norma nilai kerajaan.
Ibunya paling
mengutuk perebutan tahta. Bagi ibunya, kekuasaan itu titipan dari penguasa
Jagad Raya yang bertujuan agar rakyat memperoleh kesejahteraan sebanyak
banyaknya. Ibunya kagum dengan kakek yang tak kenal lelah untuk rakyat. Tapi
ibunya marah karena kakek punya isteri lain di samping nenek. Bukan satu tapi
banyak isteri kakeknya. Menjadikan perhatian kakek pada ibu jauh berkurang.
Ibunya tak berani protes sebab demikian adanya. Ibunya memilih diam seribu
bahasa. Bahkan perasaannya tidak diceritakan kepada anak lelakinya. Ganapati.
Perpaduan
mendengar suara hati seperti saran ayahnya dan meniru sikap memendam perasaan dari
ibunya menurun ke Ganapati.
Suara hatinya
melarang membenci saudara saudaranya seketurunan. Suara hatinya melarang
menyerang pamannya yang satu, membela pamannya yang lain. Pertentangan keluarga
sudah jadi momok bagi dirinya. Dia ingat kakeknya pun memilih keluar dari
istana, memilih tidak tinggal di istana walau itu menjadi haknya. Kakeknya
lebih suka hidup di padepokan yang jauh dari hiruk pikuk kekuasaan.
Sudah jadi
ketetapan hati, menyusul kakeknya yang hidup di lereng gunung Wilis. Tujuannya
sudah kuat, sudah yakin mendiang ayah dan ibu mendukung bertualang menambah
wawasan. “Pergilah Ganapati. Suatu saat kau kembali dengan pikiran dan hati
yang jernih, sejernih mata air pegunungan." Terngiang bisikan ibunya
sebelum berangkat.
Awal
Perjalanan
Pagi sekali,
sebelum matahari muncul, dia keluar, melalui pintu belakang. Pagi yang masih
gelap pekat, karena cuaca yang mendung disertai hujan rintik. Menyusuri jalan
setapak sempit. Makin jauh dari rumahnya, makin lebat hujan. Cuaca itu seolah
tak diperdulikan. Ia terus berjalan cepat menuju selatan.
“Ganapati!..hei
mau kemana” teriakan dari gubuk yang hanya diterangi lentera yang redup. Tiupan
angin yang cukup kencang membuat lentera seperti hidup segan mati tak mau.
Penerangan yang hanya cukup memberi gambaran di gubuk itu ada orang.
Ganapati
berhenti sebentar, menoleh arah gubuk, lalu menyapa dengan suara yang agak
keras
“pengap di
dalam,perlu dapat udara segar di luar”
“tapi hujan,
ayo mampir sini saja, ngobrol.”
“terima kasih,
saya mau jalan jalan. Pamit dulu!” buru buru ia berjalan sambil melambaikan
tangan, tanda pamitan.
Ganapati
terus menyusuri jalan setapak mengikuti arah selatan, kemudian sampai di
pematang sawah, dia membelok arah timur. Hujan sudah reda, matahari mulai
menunjukkan sinarnya di sela pepohonan di hutan kecil.
Melewati
pematang sawah, berjalan perlahan dengan memperhatikan padi yang baru mulai
ditanam. Melompat lompat kecil, menghindari pematang yang becek dan berlumpur,
menjejak kaki pada pematang yang sudah mengeras.
Ada permukaan
pematang yang masih lembek karena ditumpuki lumpur dari sawah yang di serok
dipindahkan ke pematang. Tidak menjadi masalah buat Ganapati. Ia terus berjalan
menjauh dari kotaraja, sampai pada suatu pedukuhan kecil, kumpulan rumah yang
dikelilingi sawah yang subur. Ia berenti sejenak di bawah pohon rindang. Cukup
baginya untuk sekedar memikirkan arah mana yang akan ditempuh. Lalu menengok ke
belakang, melihat kota raja yang sudah samar samar kelihatan. Jalan mulai mendaki
bukit kecil, agak berliku.
Ia terus
berjalan mendaki, menjauhi pusat dukuh yang baru saja dilewati. Melewati semak
dan hutan randu, yang pohonnya tumbuh berdekatan. Randu adalah pohon yg kayunya
yang getas mudah patah. Orang dukuh biasa menggunakan ranting untuk kayu bakar.
Di situ memang tempat mencari kayu bakar penduduk di sini.
Sampai di
ujung dukuh yang berbatasan dengan wilayah hutan tak bertuan, lebatnya semak
dan pohon besar tumbuh lebat. Sebentar dia menengok ke belakang, dia duduk,
sambil matanya menatap kota raja yang sudah tidak keliatan. Dia menatap tapi
pandangannya kosong, hanya mengeluh dalam hati
“apa yang aku
lakukan.”
“Sejak kakek,
bapak sekarang aku semakin hari semakin menjauh dari pusat kekuasaan.”
Dia mulai
masuk hutan, berjalan cepat, secara naluriah ia menerapkan ilmu kebalnya
langkah angin pun bekerja
Meringankan
tubuh, melompat sana sini, mumpung tak dilihat orang lain. Ia tak mau keliatan
orang yang berilmu kanuragan.
“mana ada
orang yang masuk hutan.” Katanya dalam hati.
Lompat
lompat, lari sana sini nikmat dan menyenangkan buatnya karena bisa meredakan
gejolak hati yang masih teringat perilaku kalangan istana. Lumayan berkeringat,
dia menjatuhkan diri, bersandar di pohon sonokeling yang keras, hitam pekat,
besar berkali lipat darinya. Angin pagi sepoi membawa hawa sejuk. Akar
Sonokeling besar menjadi bantalnya hembusan angin pagi yang langsung ke tubuh
membuat keringat berangsur angsur kering.
Rasanya
sejenak tertidur, padahal sinar matahari yang masuk di sela sela daun
menunjukkan matahari sudah di atas. Pantas perutnya sudah berontak minta diisi.
Perlahan ia bangun, memejamkan mata, menenangkan pikiran, lalu perlahan bangun.
Belum sempat
tegak, lalu kembali berjongkok. Matanya yang tajam mengawasi sekeliling. Dia
merasa ada sepasang mata sedang memperhatikan dirinya. Ia menahan napas, dan
mencari sumber itu. Menutup matanya, mengandalkan panca indra pendengaran dan
penciuman. Ia sudah bisa mengetahui sumbernya. Tepat di sebelah kirinya. Tapi
ragu, apakah itu manusia atau binatang atau mahluk lain. Desir desir helaan
napas, walau lembut dan nyaris samar dengan bunyi dedaunan yang terkena angin.
Ganapati tak
mau gegabah, ia masih tak bergerak menanti sumber di sana yang juga tak
bergerak. Ganapati hampir yakin itu bukan binatang atau mahluk. Itu manusia.
Tapi mana mungkin manusia bisa menyamarkan desah panas dan degub jantung
demikian halus, samar dengan suara desiran angin, kecuali dia sungguh berilmu
tinggi.
Siapa
gerangan dia, berada di tengah hutan lebat tak bertuan dengan ilmu tenaga dalam
yang langka. Ia tak berani menyerang. Ia belum dapat menakar kekuatan lawannya.
Apalagi khawatir kalau orang itu adalah baureksonya hutan ini yang sewaktu
waktu bisa mengerahkan anak buahnya.
Sepengetahuannya,
sewaktu kecil diajak ayah dan ibunya masuk hutan tak ada satu orang pun.
Kecuali, ah mungkinkan dia? Apakah dia masih hidup? Sewaktu masih kecil, orang
itu sudah berambut putih berjenggot putih. Apakah memang dia? Perlahan ia
berjalan dengan langkah langkah yang siap menyerang. Ia tak mau ambil risiko,
harus sudah siap bilamana ada serangan dari segala arah. Berjalan perlahan
mendekati sumber. Baru lima langkah sudah terdengar ssuara tertawa dari sumber
itu.
“sudah
kuduga"
Ganapati masih
belum melihat orang yang berbicara itu, suaranya seperti dikenalnya, berat,
mengandung hawa tenaga dalam yang bergelombang. Ia masih ragu melangkah.
Langkahnya terhenti, tapi dalam posisi kuda kuda yang siap menyerang.
Orang
Misterius
Tiba tiba ada
deru angin mendesing dari arah kiri, melingkar dan langsung ke arah dirinya.
Secepat kilat Ganapati sadar orang itu menyerang dengan pukulan yang mematikan.
Dia langsung berbalik arah menangkis serangan.
"Braaak"
Benturan
kekuatan terjadi. Karena Ganapati tidak siap dengan pukulan dengan lembaran
tenaga yang kuat, dia terpental, terguling, tapi kemudian berdiri sedikit
limbung, kemudian menegakkan kepala walau terasa seperti berputar tujuh
keliling dan sakitnya tak ubahnya kepala yang dipukul gada Nyi Gendeng Permoni
Matanya
berangsur normal, berdiri tegak, mulai menatap tajam ke depan, siap dengan
serangan garuda melayang. Ilmu yang dia miliki, walau belum merasa sempurna,
tapi dia merasa harus menggunakan ilmu itu menghadapi lawan misterius berilmu
tinggi.
Di depannya
berdiri orang tua dengan senyum yang ramah.
" Sabar
nak! Jangan gunakan ilmu itu melawan orangtua bangka seperti aku."
Orangtua itu
mengatur napasnya yang satu satu lalu bicara lagi dengan lebih lambat.
"Itu
ilmu yang dahsyat. Tidak sembarang orang punya ilmu itu dan cocok bersenyawa
dengan tubuh. Bersyukur anak mempunyai bekal ilmu itu."
"Tak
perlu kutanya, dari siapa anak belajar ."
Ganapati
mengerutkan kening, heran orang itu bisa menebak ilmu yang disiapkan sangat
dahsyat. Tak sadar ia mengendorkan kesiapannya. Lalu dengan sopan Ganapati
menghormat tanpa dia sadari.
"Maaf,
siapakah bapak tua. Sampai tau ilmu yang kumiliki?"
Pikiran
bertubi tubi tiba tiba mengumpul dalam benak Ganapati.
Bapaktua ini
pasti bukan penghuni hutan. Dia sengaja mau bertemu saya di hutan ini. Dia mau
ketemu tanpa diganggu.
Tanpa
mengindahkan pertanyaan Ganapati, Bapaktua mencari tempat buat duduk yang
nyaman.
"Duduklah.
Ini ada makanan. Enak..Akar rebus"
Lalu Ganapati
beranjak mendekati Bapaktua ikutan duduk. Mereka tak duduk berdekatan ,tapi tak
jauh untuk bicara tanpa teriak teriak. Posisinya tak berhadapan, memilih duduk
menyamping, sama sama bisa melihat burung pipit bergerombol di ujung semak,
berkicau sahut sahutan
"Apa
bapak atau ibumu tak pernah cerita soal aku?"
" Coba
ceritakan kenapa sampai berada di hutan perawan ini. Mungkin bisa lebih banyak
anak ceritakan sampai kesasar ke tempat ini?"
Sebenarnya
Banaspati malas menjelaskan. Dia menduga Bapaktua itu sudah tahu semua. Tapi
sopan santun etika saja dia bercerita mulai dari tidak betahnya tinggal di
lingkungan istana, sampai keinginannya ke padepokan kakeknya di lereng gunung
wilis.
"
Hahahahaha....tak ada beda antara kau dan aku. Tak betah di lingkungan
kerajaan. Bedanya kau ke timur, sementara aku, saat se usia kau, pergi ke arah
barat."
sambil
mengamati pipit yang terua menerus berisik, bapaktua itu meneruskan.
"perilaku
orang di istana sama saja, dari dulu sampai sekarang."
"walau sudah
lama tak menginjak kaki kotaraja, aku mencium bau napsu saling menguasai dari
semua pihak."
Lalu bapaktua
itu berdiri, mengkebas kebaskan belakang celananya yang kotor.
Habiskan saja
makan itu, aku permisi.
"Bapaktua
mau kemana? Aku belum kenal."
"Nanti
kau akan tau, siapa aku, yang harus kuberitahu kita berada di pihak yang
sama."
Tanpa
menunggu jawaban bapaktua melompat beberapa kali lalu meng hilang di semak
semak. Gerakan itu Mengagetkan pipit yang sedang bercengkrama bersahut sahutan.
Sekejap puluhan pipit itu berterbangan.
Ganapati yang
terkesima tak sempat mencegah. Ia hanya menatap gerakan kilat Bapaktua yang
dalam kejapan mata sudah menghilang. Ia duduk kembali, penasaran siapa bapaktua
itu. Tapi kelak suatu hari akan ditanyakan ke kakeknya.
Makin ke
Timur
Keluar dari
hutan, melihat hamparan sawah yang tak terurus. “beda sekali dengan keadaan
yang di barat.” Ganapati berjalan terus sambil sekali kali melihat kanan dan
kiri. Sepi sekali daerah sini. Malahan seperti tak bertuan. Banyak alat alat
tani yang tergeletak sembarangan. Bekas tumpukan bibit masih tergeletak di
pinggiran pematang. Seolah barang barang itu ditinggal buru buru. Melihat
kedepan ada padukuhan kecil, nanti bisa tanya orang orang di sana ada kejadian
apa sehingga daerah ini sepi seperti kuburan.
Menyapa,
sambil jalan di setiap rumah yang dilewati. Tak ada satu orangpun yang
menyahut. Berhenti sejenak, lalu masuk pekarangan dan melongok ke dalam rumah
yang pintunya kebetulan terbuka. Kembali menyapa untuk menyatakan dia hadir di
situ. Tetap tak ada sahutan.
Sampai di
ujung pedukuhan, tak ada satupun penduduk di situ. Padukuan ini ditinggal
penghuninya. Katanya dalam hati. Ada apa gerangan? Seperti bedol desa yang
dilakukan buru buru.
Ganapati
terus berjalan, tak sampai di hutan kecil di depannya, bermunculan dari semak
semak beberapa orang lelaki memegang senjata.
“berhenti.
Mau kemana?”
Ganapati
berhenti, sambil mengamati orang orang itu yang jumlahnya lima orang. Ganapati
menceritakan asal dan tujuannya.
“Sebenarnya
saya ingin bertanya, melewati padukuhan, tapi tak ada satupun orang yang
ditemui. Ada apa gerangan di sini” tanya Ganapati dengan sangat sopan.
Masih dengan
pandangan penuh curiga, lima orang itu mendekati Ganapati. Yang paling depan
sudah menurunkan senjatanya sementara tiga yang di belakang tetap siap siaga.
“Beberapa
hari lalu ada gerombolan Baureksa merampok kampong kami. Mereka keluar dari
hutan. Hutan yang ada di sebelah barat kampong ini.” Kata pemimpin dari lima
orang itu.
Ganapati
terus mendengarkan cerita pemimpin yang bertubuh tinggi besar, berkumis dan
jenggot yang lebat.
“kami
mengamati kampong, apakah rombongan itu sudah pergi. Mereka mengambil semua
padi padi kami yang baru panen. Untungnya tak ada korban jiwa, seluruh penduduk
sekarang mengungsi di kampong induk"
“Siapa
sebenarnya rombongan perampok itu?”
“tak ada yang
tahu, mereka katanya dari barat, orang orang dengan perangai liar” lanjut
pemimpinnya.
“daerah ini,
dan sekitar sini sebenarnya aman. Tapi akhir akhir ini sering ada pencurian
ternak dan palawija, terakhir gerombolan itu. Sepertinya Sepeninggal Raja,
wilayah Demak jadi tak aman. Pengawal istana tak pernah menjaga desa desa.
Mungkin di istana sibuk menyiapkan raja baru. Sehingga tak sempat mengurus desa
desa.”
“seperti apa
ciri-ciri gerombolan Baureksa itu?” tanya Ganapati penasaran.
“Ada dari
mereka pakai baju hitam, coklat, hijau tua, tapi semua pakai ikat kepala merah.
Seluruhnya berkuda, ada yang berkuda sendiri, ada yang berdua.
“Itu
rombongan Kalong Merah”, dulu mereka adalah pasukan Demak, Pemimpinnya Elang
Jati. Dulunya adalah pemimpin pasukan yang disegani, tegas dan pemberani.
Gerombolan yang mengganggu Demak diringkus oleh dia. Ilmunya tinggi dan berasal
dari daerah selatan, alas Magetan.
“Apakah ada
satu orang yang tua ikut dalam rombongan itu?”
“Iya ada, dan
dia satu satunya yang pake pakaian putih putih. Siapa dia? Apakah bapak kenal”
"Hmmm.
Dia salah satu guru dari Elang Jati. Namanya Ki Mahoni. Telapak tangannya
mengandung daya sedot yang kuat. Kalau telapak tangan itu membentang lawannya
bisa terseret mendekat.
“Untung saja
kalian tidak melawan. Dua orang itu mampu mengobrak abrik padukuhan ini.”
“Tapi kalau
mereka adalah bekas pasukan dari Demak, kenapa pergi dari KotaRaja, malah
memimpin gerombolan” tanya pimpinan itu.
“entahlah,
keadaan Demak sekarang sedang tak menentu. Mungkin saja itu gerombolan yang
kecewa dengan istana, lalu memilih mencari daerah baru, lalu kehabisan makanan,
dan merampok."
"barang
apa saja yang diambil dari padukuhan ini?"
“Belum tahu
pasti. Mau periksa tapi khawatir gerombolan itu akan kembali lagi.”
“Tadi sekilas
saya lihat hanya lumbung padi kalian yang diambil. Sepertinya mereka memang
kehabisan makanan”
“Sekarang apa
yang akan kalian lakukan?”
Kami harus
pastikan gerombolan itu tidak kembali lagi ke sini, kalaupun kembali, Demang
sudah perintahkan semua lelaki dewasa harus berjuang mengusir mereka.
Ganapati
mendengarkan sambil menimbang nimbang, apakah mau terus melanjutkan perjalanan
ke timur, atau membantu penduduk sini.
"Kalau
begitu mari kita periksa apakah masih lengkap semuanya kecuali yang kita tahu
lumbung padi sudah dirampok."
Walau masih
menjaga jarak, pimpinan keamanan kampung memperkenalkan diri
"Nama
saya Bhakti Sampurna" kata pemimpin itu.
"Setelah
ini, saya akan antar bapak ke Ki Demang di Padukuhan Induk. Beliau menunggu
laporan dari kami.
"Baik."
"Terus
terang, kami butuh lelaki yang kuat dan berani membela yang lemah. Tidak banyak
orang yang bersedia membantu sukarela. Di kampong kami hanya kami berlima,
walaupun banyak lelaki di sini.”
“takut,
cemas, khawatir akan nyawa melayang, itu bisa dimaklumi. Yang penting ada dari
kita yang masih berani. Kalau perjuangan kita berhasil mengusir gerombolan itu,
pasti banyak yang ikut.”
kalau begitu,
bapak akan saya antar ke Demang di Padukuhan Iinduk, sementara empat orang
berjaga jaga di sini.” Kata pimpinan
“ingat kalian
mengawasi saja, jangan coba melawan. Mereka lebih kuat dan pengalaman. Kalau
melihat lawan yang banyak dan kuat, jangan melawan, lari ke padukuhan
induk."
Ki Demang
sudah minta bantuan ke kadipaten" lanjut Sampurna
"Kadipaten
Jipang?"
Iya, Adipati
Jipang sedang menyiapkan pasukannya yang kuat untuk menumpas gerombolan yang
hendak mengganggu Demak.
Ganapati
termangu, memikirkan gerombolan mana yang dimaksud Adipati Jipang. Dia
mendengar banyak hal tentang adipati Jipang yang menuntut haknya atas tahta
Demak. Sementara keturunan Sultan Trenggana juga merasa berhak atas Demak.
Benar kata
ibu dan bapak, pertentangan merebut kekuasaan makin hari makin tajam. Biarlah
para pangeran, adipati, tumenggung dan penguasa penguasa istana. Semoga ada
kompromi di kalangan mereka dan memberi kesempatan pada yang pantas memimpin
Demak sepeninggal Raja.
Pikirannya
campur aduk, cemas khawatir akan pertentangan yang tajam yang berakibat
kerugian lahir bathin pada rakyat. Dia mencoba menghilangkan pikiran jelek itu.
“saya setuju,
besok pagi sekali bersama Sampurna, kita ke padukuhan induk"
"Mari
kita istirahat supaya esok tubuh segar."
Malam ini
bintang beribu ribu si langit, setelah kemarin sepanjang hari mendung dan
hujan. Ganapati dan Sampurna mengambil tempat di bawah pohon, mengeluarkan
sarung, langsung rebahan, ngobrol pengantar tidur dan pulas.
Menunda
Perjalanan
Bukannya
menyambut hangat di Bangsal Padukuhan, Ki Demang malah menyerang dengan
kekuatan penuh dan kecepatan tinggi. Serangan mematikan dari ilmu Cocor Bebek,
langsung pada sasaran mematuk berulang kali. Tak satupun kumpulan orang di situ
mengira serangan mendadak itu. Selagi orang orang berduyun duyun ingin mengenal
lebih dekat orang asing yang mau membantu padukuhan ini. Lagi pula, serangan ini
dilakukan oleh pimpinannya yang dianggap kurang ksatria.
Bhakti
Sampurna, yang berdiri tepat di samping Ganapati hanya terpana. Bahkan tak
sempat berteriak memperingati Ki Demang, bahwa di sebelahnya adalah tamu
Padukuhan yang menjadi sukarelawan. Hanya anak buah yang satu langkah di
belakangnya berteriak "Jangan Ki Demang.!"
Terlambat.
Empat jari tangan kanan Ki Demang sudah menjulur tepat di dada Ganapati. Bukan
cuma serangan tangan kosong, tapi serangan dengan lembaran tenaga dalam ciri
khas perguruan Bibit Walubi yang terkenal.
Ganapati
sempat terperanjat dengan serangan mendadak dan langsung. Tapi pengalaman
menghadapi berbagai ilmu menyerang membuatnya tidak pernah panik. Cepatnya
pukulan itu dilayani dengan sikap mundur selangkah lalu menyamping, lalu
menolak.
Serangang Ki
Demang dengan mudah dapat digagalkan. Serangan pertama tak menyurutkan niat
menaklukan Ganapati. Tahu serangannya gagal, Ki Demang membalik badan dengan
cepat, lalu kaki yang kokoh melayang ke arah kepala Ganapati. Serangan inipun
dapat ditangkis dengan mudah.
Serangan
terus menerus, tapi selalu dapat ditangkis. Warga Padukuhan yang menonton
merasa ada yang tak adil. Kenapa Ki Demang terus menyerang tanpa memberi
kesempatan Ganapati bicara. Mereka punya kesan bahwa Ganapati hanya menangkis
dan bertahan dari serangan. Tak sekalipun dia menyerang Ki Demang.
Dengan pola
yang sama, Ganapati sedikit menyamping bila diserang berturut turut. Beberapa
kali dengan telapak kiri, dia mendorong lengan atas Ki Demang, lolos dia dari
serangan itu, bukannya membalas serangan, malahan mundur, seolah memberi
kesempatan Ki Demang, menyiapkan diri untuk serangan berikutnya.
Sampurna dan
anakbuahnya, Sugiri bengong melihat cara Ganapati menepis serangan. Dan juga
kagum karena tak mau menyerang. Sepertinya Ganapati merasa Ki Demang salah
tanggap dengan kehadirannya di wilayahnya.
Sementara Ki
Demang penasaran melesetnya pukulan itu. Dia. Berbalik, dibarengi pukulan
tangan kiri. Ganapati menyambutnya dengan sedikit menarik lengan Ki Demang
sambil menolak ke samping. Barangkali Ki Demang hendak menguji dirinya. Mungkin
dia mau bermain main sejenak sampai lima sampai sepuluh jurus.
Sesungguhnya,
pukulan Ki Demang yang selalu sering ditangkis, makin lama makin lemah, serangannya
bersamaan dengan memukul serangan menjadi lembek dan lambat. Sebenarnya dengan
mudah Ganapati dapat menangkap serangan tangan dan kaki Ki Demang, tapi bukan
itu yang dilakukan.
Belum lagi
jurus ke sepuluh, Ki Demang berhenti menyerang. Dia berdiri dengan posisi,
tegak, kaki renggang, menatap Ganapati dari jarak tiga meter. Mulai dari kepala
sampai kali lalu balik ke mata. Lalu Ki Demang mengangguk angguk kecil
kepalanya. Seakan tak percaya kekuatan lawan yang dihadapinya.
Baru hari ini
aku ditaklukan oleh orang yang jauh lebih muda dari dirinya katanya dalam hati.
Hening di halaman bangsal itu. Tak ada satupun orang berbicara, bahkan tak
berani berbisik bertanya apa yang bakalan terjadi. Lebih baik menyimpan saja
pertanyaan itu.
Namun hening
itu tak berkepanjangan. Suara Ki Demang yang berat berwibawa memecah lengangnya
suasana di halaman bangsal Padukuhan.
"Ternyata
Padukuhan ini beruntung, mendapat tenaga bantuan yang luar biasa. Orangnya
berIlmu tinggi dan silapnya yang rendah hati."
Ki Demang
menghela napas sejenak,kemudian meneruskan kata katanya.
"Seharusnya
dalam serangan pertama, anak ini sudah mampu menjatuhkan saya. Bahkan membuat
lengan saya copot dari tubuh renta ini."
"Tapi
itu tak dilakukan. Anak ini malahan melayani serangan saya. Jurus demi jurus,
serangan beruntun tanpa balas menyerang.
"Bhakti
Sampurna, apakah kau perhatikan kekuatan anak ini sewaktu menangkis
serangan?"
Bhakti
Sampurna yang ditanya Ki Demang tergagap gagap menjawab. "Iya saya perhatikan
cara cara menghindar dan menangkis serangan."
"Apa
pendapatmu?"
Maaf Ki
Demang, menurut saya, adi Ganapati, belum sungguh sungguh bertempur. Mungkin
dia sungkan melawan Ki Demang"
"Hahhahahahahaha..iya
benar, saya merasakan hal itu. Kalau dia mau, belum sempat bergerak menyerang,
aku sudah terkapar."
Sekarang mari
bersama kita merayakan kedatangan adi Ganapati.
Ganapati yang
sedari tadi diam bengong tak tau apa yang mesti dilakukan, tak sadar mengikuti
langkah Sampurna menuju bangsal.
Bangsal
Padukuhan dalam sekejap ramai, seluruh warga tua muda besar kecil laki
perempuan mau liat seperti apa itu Ganapati. Berjejal berdesakan di tangga
balai desa.
Ki Demang tak
perlu mengenalkan yang mana Ganapati, semua sudah tahu, karena dia satu satunya
orang aasing yang ada di balai itu.
Ibu Demang
sibuk menyiapkan makanan yang special.
"Harus
makanan yang tidak biasa. Sebab kita kedatangan tamu yang luar biasa, Demikian
pesan ki demang"
Seolah semua
lupa bahwa Padukuhan ini beberapa waktu lalu dirampok oleh gerombolan. Pesta
perayaan itu seperti mampu melupakan sejenak peristiwa yang menyakitkan itu,
lagi pula ini adalah pesta untuk pahlawan yang mereka harapkan mampu menghalau
perampok dan musuh padukuhan. Walau belum terbukti, tapi cerita petugas
keamanan padukuhan meyakinkan mereka. Bahkan Ki Demang percaya kekuatan
Ganapati.
Hari itu
semua bergembira, semua ingin bicara dengan Ganapati, semua pengen tahu siapa
sessungguhnya ganapati. Seperti juga Ki Demang yang ingin lebih mengenal siapa
orang yang misterius ini.
Cerita di
Kamar
Baru saja
meluruskan badan, siap berbaring. Sudah menjelang tengah malam, bunyi derit
pintu kamarnya dibuka. Ki Demang masuk.
"Mari Ki
Demang, baru mau baring meluruskan badan."
Maaf anak, mengganggu,
tapi mumpung berdua di kamar...tidak akan ada yang mengganggu percakapan
kita."
"Saya
minta maaf tadi atas peristiwa tadi pagi. Saya ingin perlihatkan ke semua warga
bahwa anak adalah orang yang cocok menjaga padukuhan ini." Kata Ki Demang
dengan suara perlahan dan berat. Seolah makna kata yang terucap itu tidak
disalahtafsirkan.
"Saya
ingin agar pemuda di sini punya sikap berani dan mau berlatih beladiri menjaga
wilayah ini."
"Saya
sudah bicara dengan Bhakti Sampurna, mereka mau dilatih kanuragan oleh
anak."
"Ada
satu hal yang ingin saya tanyakan. Apakah anak bertemu dengan siorang berambut
putih berkumis dan berjenggot putih seluruhnya?”
"Orang
tua itu beberapa kali lewat padukuhan ini, lalu masuk hutan dan beberapa hari
kemudian lewat lagi. Perilakunya aneh, tidak bicara, senyum senyum, menyapa
seadanya. Beli makan bungkus daun, bawa, entah makan di mana"
“ Iya betul
Ki Demang. Saya tidak perlu berpura pura, bahwa saat itu saya hampir bertarung
dengan beliau. Saya yakin dia berilmu luar biasa tingginya. Walau sambil
tertawa terkekeh kekeh orangtua itu masih mampu melepaskan kekuatan dahsyat
yang membuat saya terpelanting."
"Saya
yakin belum setengah dari ilmunya dipakai untuk menyerang saya."
Adakah anak
bertarung demikian hebat dengan bapaktua itu?
"Tidak
bisa disebut bertarung Ki Demang. Dia menyerang dengan lembaran ilmu tenaga
dalam yang tinggi. Dengan sekali pukul saya terpelanting, kepala terasa pusing
tujuh keliling." Lalu diceritakan oleh Ganapati peristiwa berjumpa dengan
orangtua eksentrik itu.
"Waktu
itu saya curiga, kenapa orang itu menyerang tanpa alasan. Saya tak mengenal
dia. Saya tak punya persoalan dengan dia. Sepengetahuan saya, saya tak pernah
berurusan dengan orangtua itu. Bagaimana mungkin orang yang tak mengenal saya,
menyerang dengan ilmu tinggi. Dalam hati, hanya orang yang mau membinasakan
saya menyerang dengan ilmu tinggi.
Guruku, bapak
dan ibu tak pernah mengajari menggunakan ilmu tenaga dalam yang tinggi pada
serangan pertama. Tak pernah terpikir oleh mereka, demikian pula aku. Tak
mungkin aku menyerang orang dengan kekuatan penuh pada serangan pertama."
Serangan
pertama adalah serangan yang bertujuan mengkira kira lawannya. Intinya
diperlukan untuk menjajaki apakah lawan kita punya ilmu yang tinggi. Setiap
orang yang belajar kanuragan, dapat mengenali lawannya dalam serangan pertama.
Serangan pertama amat dilarang bila dilakukan dengan kekuatan tinggi. Sebabnya,
orang yang diserang belum tentu punya ilmu tinggi, dan lebih celaka lagi ketika
orang yang diserang lalu terluka, ternyata salah sasaran, atau kata lain
menciderai orang tak bersalah
Orang yang
melakukan serangan pertama dengan ilmu tinggi, hampir pasti mau mencelakakan
lawannya. Atau orang itu tahu benar, siapa yang diserang. Dia yakin dengan
serangan ilmu tinggi itu lawannya tak mungkin celaka.
Itu yang
terjadi pada serangan pertama yang dilakukan orang berambut putih ke saya. Saya
yakin dia sudah menakar kekuatan saya. Kalau sudah menakar. Mestinya, dan saya
yakin, dia pasti siapa saya."
"Sayang
saya tak tahu siapa beliau. Bahkan tak berani menduga siapa sesungguhnya
identitas orang yang menyerang saya."
"Apakah
Ki Demang kenal dengan orang berambut putih itu? Sepertinya Ki Demang tahu
banyak orangtua berambut serba putih”
“hahahaha....iya
saya sedikit tahu orangtua itu. Ciri ciri orangtua itu mengingatkan saya akan
cerita almarhum guru saya Ki Bronjong Wedi tentang para pangeran Majapahit yang
tercerai berai sejak pindahnya pusat kerajaan dari timur ke barat."
"Seingat
saya, tidak semua para pangeran setuju dengan berdirinya Demak, perbedaan
pikiran pandangan keyakinan menjadikan Majapahit terpecah pecah. Walau kocar
kacir, tapi para petinggi di dalam dan luar Demak sama sama berilmu tinggi,
mewarisi ilmu ilmu langka dari Majapahit dan Singosari. Perguruannya menurunkan
ilmu yang sudah jarang dikenal di masa sekarang. Ilmu beladiri, tenaga dalam,
tanding, perang, bahkan ilmu sastra senandung, tembang, lukis, mematung, pande
besi. Keris keris kerajaan Demak, asal muasalnya dari Singosari. Besar
kemungkinan orangtua itu adalah salah satu bangsawan, atau mungkin pangeran
yang lebih suka berpetualang bebas di alam daripada di Istana.
“Kalau dari
cerita anak, saya yakin ada hubungan antara orangtua itu dengan anak?. Apalagi
mendengar cerita bahwa anak mengenal gerak gerik dan jurus jurus ilmunya nya.
Bukan cuma mengenal tapi juga bisa melakukannya. Itu kan artinya anak dan
orangtua itu belajar ilmu dari satu sumber.
"Sewaktu
duduk ngobrol di hutan, bapaktua itu tak cerita siapa dia?"
"Bapaktua
itu malahan tanya apakah orangtua saya pernah cerita tentang orang berambut
putih. Lalu malah tanya keadaan Demak. Lalu pamitan."
"Datang
mendadak, pamit mendadak, tidak ada tata sopan santun, tak menjaga perasaan
orang lain, tidak ada basa basi."
"Hahahahaha
orang aneh. Tak dapat disangkal pasti anak punya hubungan dengan orangtua
itu."
"Nama
Ganapati, bukan nama orang biasa. Nama itu nama mengandung unsur Hindu dan
Majapahit yang kuat. Anak mewarisi ilmu yang sama dengan orangtua itu, Semakin
yakin bahwa anak, mewarisi darah Majapahit.
"Siapakah
ayahmu, Ganapati?"
"Menurut
cerita ibu, ayahku itu berprinsip kuat kokoh tapi juga lembut hati. Dia banyak
diam dalam pertikaian di kalangan para bangsawan kerajaan Demak. Dia bersahabat
dengan Sunan Prawata, Karebet, Aryo Penangsang dan keturunan pangeran
Kanduruwan.
Sesungguhnya
para keturunan Demak adalah keturunan dari Majapahit. Semua bersaudara. Kadang
iri hati sering jadi sumber pertikaian. Karena Sultan sering berkunjung ke satu
Adipati, lalu Adipati yang lain tersinggung. Kadang karena Sultan lebih
mendengar nasihat satu tokoh agama, tokoh agama yang lain menjauh. Bukan cuma
di tataran sultan, juga terjadi di tataran adipati, pangeran, tumenggung terus
sampai di tingkatan yang paling rendah.
Ini yang
dialami oleh ayah. Semula ia menduga pertikaian hanya di kalangan para petinggi
istana saja, makanya dia memilih tugas di luar istana. Pikir ayah daripada
mendengarkan keluhan sekitarnya, lebih baik melepaskan diri dari kungkungan
lingkungan istana.
"Menurut
Ibu, ayah itu memilih memimpin pasukan menyerang daerah bekas kerajaan
Majapahit dan Singosari. Di medan laga, bukan musuh yang tak dikenali,
melainkan ayah berhadapan dengan saudara sendiri. Saudara yang berseberangan
dengan Demak. Kabarnya ketika pertempuran dahsyat terjadi, ayah hilang,
terakhir masih kelihatan di daerah pasuruan. Setelah itu tidak ada kabar lagi.
Ki Demang
mengangguk angguk dengar cerita Ganapati.
"Sepertinya
cerita tidak akan selesai di sisa malam ini." Kata Ki Demang dengan suara
dalam, membayangkan suasana di istana dan wilayah kekuasaan Demak."
Tiba tiba
pintu berderit membuka. "Maaf Ki Demang, saya memberanikan diri masuk
kamar ini, karena saya dengar Adi Ganapati masih belum tidur."
"Ada
apa, Sampurna?"
"Saya
disuruh menyampaikan pesan ada seorang pemuda yang mau berjumpa dengan adi
Ganapati." Kata Sampurna dengan suara perlahan
"Siapa?"
Tanya Ki Demang heran.
"Pemuda
itu mengaku bernama Ranu" Lanjut Sampurna.
"Ranu?"
Ki Demang dan Ganapati menyebut bersamaan waktu, seperti heran dengan nama itu.
"Ranu,
siapa?" Tanya Ganapati.
"Dia
hanya menyebut Ranu saja. Mau bertemu dengan adi Ganapati di ujung utara,
berbatasan dengan bukit hutan perdu esok tengah hari."
"Terima
kasih Sampurna, biarlah anak Ganapati istirahat setelah semalaman cerita dengan
saya." Kata Ki Demang menutup pembicaraan dengan Sampurna
"Tidurlah
nak, simpan ceritanya untuk lain kesempatan. Biarlah kita bersama menemui Ranu
esok siang." Kata Ki Demang sambil keluar kamar.
Dua ilmu
Hutan perdu
di ujung Padukuhan tidak lebat, cukup jelas untuk melihat seseorang yang berada
di sana. Dari kejauhan Ganapati sudah melihat orang yang bernama Ranu, menunggu
di bawah pohon Randu yang sudah tua.
Makin
mendekat makin nampak wajahnya anak muda itu, berwajah bersih, matanya jernih,
rambut awut awutan, dengan ikat kepala yang tak tersusun rapih. Keliatan dia
tak mandi beberapa hari, tapi tak menghilangkan kesan bahwa dia orang yang
percaya diri. Usianya lebih muda dari Ganapati. Wajahnya aneh, dagunya runcing,
tidak seperti kebanyakan wajah laki-laki.
Ganapati tak
mengenalnya. Setelah berhadapan jarak lima meter, dia memandang dengan wajah
ramah.
"Ada apa
gerangan ingin bertemu denganku?"
"Kakang
Ganapati, apakah tidak mengenal aku?" Suaranya kecil, agak melengking dan
kurang enak didengar
"Mohon
maaf, aku sama sekali lupa dengan siapa berhadapan" Ganapati sambil
mendekat dan memandang dengan lebih seksama.
"Kita
memang tidak bertemu sebelumnya. Tapi bapak kita yang bertemu. Bertemu di medan
laga."
"Apakah
nama adik benar Ranu. Ranu siapa."
"Hanya
Ranu. Saya mencari kakang untuk menuntut balas, kematian bapak."
"Saya
tidak tau soal itu, kalau di medan laga, tidak ada yang bisa meramal nasib.
Kalo tidak membunuh ya dibunuh."
"Saya
tak peduli. Siap siap, saya akan menyerang."
Dengan
kecepatan tinggi Ranu menyerang. Melompat dibarengi kaki dan tangan menjulur,
jari tangan membuka mau mencengkeram seperti kuku macan. Ajian macan liwung
pada gebrakan pertama. Ranu seolah tak mau kehilangan buruannya. Teriakannya
yang melengking memekak telinga.
Ganapati,
terkesima dengan gerakan Ranu yang liar, dia melompat mundur menghindar
serangan itu. Dia menyiapkan pertahanan, dalam hati, tak mau menyerang Ranu.
Serangan
pertama gagal, Ranu membalik langsung melayang melesat bagai anak panah dengan
tangan menggenggam, ke arah kepala Ganapati. Ganapati menunduk, sambil mengibas
lengannya memecah perhatian Ranu.
Pertarungan
terus berlangsung, Ranu tak surut menyerang, sementara Ganapati tak sedikitpun
berusaha menyerang. Ada perasaan yang menghalangi dia untuk menyerang. Entah
perasaan apa, tapi hambatan itu makin lama makin menguat.
Ranu pasti
salah orang. Melihat penampilannya yang kecil langsing, serangannya yang liar
seolah dibuat buat. ganapati yakin orang itu pasti bukan dari golongan liar dan
angker. Karenanya diapun tak mau sungguhan bertarung.
Melihat
lawannya sepertinya enggan menyerang bahkan melawan setengah hati, Ranu menjadi
marah, kekuatan tenaganya menjadi berlipat, gerakannya sedikit melambat, hawa
panas makin terasa di sekelilingnya. Telapak tangannya seolah menjadi bara api.
Lalu dengan percaya diri menyerang dengan telapak tangan terbuka. Tak mau ambil
risiko, Ganapati tak lagi melompat mundur, tapi berusaha menangkis serangan
telapak tangan itu dengan menggesernya ke samping agar tak mengenai dada. Tapi
betapa kagetnya Ganapati karena tangannya seperti menyentuh bara api.
Ajian Tapak
Obong kata Ganapati dalam hati. Ia tidak boleh main main, nampaknya Ranu
berusaha membinasakan dirinya. Secara tak sadar dia membentengi dirinya Tameng
Waja. Ilmu itu bukan cuma benteng diri tetapi juga menghasilkan hawa panas di
sekeliling lapisan Tameng Waja. Dua hawa panas yang keluar dari dua ilmu
membuat rumput pijakan dua orang itu jadi mengering.
Deru angin
berputar melingkari dua orang yang saling bertempur. Kadang mereka bergerak
cepat, melayang layang, menukik dengan ketangkasan yang sulit dilihat mata
telanjang. Bagi orang yang tak mengenal ilmu kanuragan, dua orang itu seolah
bayangan yang berputar putar. Kadang suatu kesempatan salah satu keluar dari
lingkarang, lalu segera masuk kembali. Demikian terus menerus, seperti menguji
ketangkasan, kecepatan gerak dan juga kedalaman tenaga bathin.
Tiba tiba
Ranu mundur melompat beberapa kali, lalu berhenti, sedikit merunduk, menguatkan
kuda kuda, siap menyerang. "Tidak ada cara lain, terpaksa harus
kukeluarkan ilmu pamungkas ini. Kata Ranu pada dirinya sendiri. Entah ini benar
atau tidak, semoga orangtuaku mengampuni segala kesalahanku."
Ganapati
terperanjat dengan sikap Ranu, "rupanya Ranu sudah pada batas akhir"
seolah mau mengakhiri pertempuran sebelum hari gelap. Lalu Ganapati melebarkan
kaki, sedikit melipat, merunduk, telapak tangan berubah jadi kepalan. Demikian
pula, Ganapati harus mengeluarkan jurus andalannya Garuda melayang.
Ganapati tak
lagi berusaha menghindar atau melompat mundur. Kali ini dia mau membenturkan
ilmunya dengan ilmu lawannya.
Tanpa
peringatan Ranu melompat tinggi dengan teriakan nyaring langsung ke arah dada
Ganapati. ganapati yang sudah siap, langsung membenturkan dua kekuatan itu.
Bunyi gelegar beradunnya dua kekuatan itu mengakibatkan kedudukan kaki Ganapati
bergeser beberapa langkah. Lain halnya dengan Ranu, benturan itu membuatnya
terpelanting terjungka beberapa kali sebelum akhrinta terbaring. Dia berusaha
keras untuk bangkit berdiri, walau sempoyongan. Akhirnya mampu berdiri.
"Hahahahahaha"
suara tertawa menggelegar di hutan randu yang semakin gelap. Ganapati dan Ranu
langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara itu. Tampak, walau samar
samar bapaktua berambut,kumis berjenggot putih berdiri menyender pohon randu,
dengan tetap melipat tangan di dada, ia berseru.
"Pertunjukan
yang maha dahsyat. Dua ilmu yang sudah jarang ditemui saat ini beradu"
"Ilmu
yang ketika zaman mudaku masuk golongan ilmu putih. Kenapa dua ilmu itu saling
beradu.?"
"Bapaktua!"
"Kakek"
Serentak dua
orang yang berlaga itu menyebut orang yang bersandar di pohon randu.
"Mayang
Ayu!. Jauh sekali perjalananmu hanya untuk memuaskan nafsu membalas kematian
ayahmu. Apakah kau yakin ayahnya lawanmu itu yang membunuh?
Ganapati
terperanjat, ketika nama lawannya disebut oleh bapaktua. Dia sudah menduga
lawannya perempuan, tetapi tetap saja kaget.
"Kalian
berdua, kemarilah, mari duduk disini, saya membawa makanan beli dari
padukuhan." Bapaktua itu menyerukan dengan bahasa yang lebih lembut.
"Kakek
kenapa ada di sini. Kenapa menghentikan pertempuran yang sudah hampir di ujung
penyelesaian."
"Marilah
kalian berdua mendekat, supaya aku bisa menyapa kalian tanpa harus
teriak."
"Duduklah
di sini Ganapati. Mungkin kau belum mengenal cucuku ini. Biarlah kalian saling
mengenal. Anggap saja pertempuran barusan adalah latihan agar badan menjadi
segar."
Mendekatlah
Mayang. Biarlah kalian saling mengenal wajah satu dengan lainnya.
Ganapati
tanpa sadar menatap kuat pada wajah Mayang Ayu. Semula untuk memastikan bahwa
yang dihadapinya itu sungguh perempuan. Makin menatap makin membuat hati
Ganapati berdebardebar, apalagi liat mata lawannya yang bening bersih.
Dua ilmu
Hutan perdu
di ujung Padukuhan tidak lebat, cukup jelas untuk melihat seseorang yang berada
di sana. Dari kejauhan Ganapati sudah melihat orang yang bernama Ranu, menunggu
di bawah pohon Randu yang sudah tua.
Makin
mendekat makin nampak wajahnya anak muda itu, berwajah bersih, matanya jernih,
rambut awut awutan, dengan ikat kepala yang tak tersusun rapih. Keliatan dia
tak mandi beberapa hari, tapi tak menghilangkan kesan bahwa dia orang yang
percaya diri. Usianya lebih muda dari Ganapati. Wajahnya aneh, dagunya runcing,
tidak seperti kebanyakan wajah laki-laki.
Ganapati tak
mengenalnya. Setelah berhadapan jarak lima meter, dia memandang dengan wajah
ramah.
"Ada apa
gerangan ingin bertemu denganku?"
"Kakang
Ganapati, apakah tidak mengenal aku?" Suaranya kecil, agak melengking dan
kurang enak didengar
"Mohon
maaf, aku sama sekali lupa dengan siapa berhadapan" Ganapati sambil
mendekat dan memandang dengan lebih seksama.
"Kita
memang tidak bertemu sebelumnya. Tapi bapak kita yang bertemu. Bertemu di medan
laga."
"Apakah
nama adik benar Ranu. Ranu siapa."
"Hanya
Ranu. Saya mencari kakang untuk menuntut balas, kematian bapak."
"Saya
tidak tau soal itu, kalau di medan laga, tidak ada yang bisa meramal nasib.
Kalo tidak membunuh ya dibunuh."
"Saya
tak peduli. Siap siap, saya akan menyerang."
Dengan
kecepatan tinggi Ranu menyerang. Melompat dibarengi kaki dan tangan menjulur,
jari tangan membuka mau mencengkeram seperti kuku macan. Ajian macan liwung
pada gebrakan pertama. Ranu seolah tak mau kehilangan buruannya. Teriakannya
yang melengking memekak telinga.
Ganapati,
terkesima dengan gerakan Ranu yang liar, dia melompat mundur menghindar
serangan itu. Dia menyiapkan pertahanan, dalam hati, tak mau menyerang Ranu.
Serangan
pertama gagal, Ranu membalik langsung melayang melesat bagai anak panah dengan
tangan menggenggam, ke arah kepala Ganapati. Ganapati menunduk, sambil mengibas
lengannya memecah perhatian Ranu.
Pertarungan
terus berlangsung, Ranu tak surut menyerang, sementara Ganapati tak sedikitpun
berusaha menyerang. Ada perasaan yang menghalangi dia untuk menyerang. Entah
perasaan apa, tapi hambatan itu makin lama makin menguat.
Ranu pasti
salah orang. Melihat penampilannya yang kecil langsing, serangannya yang liar
seolah dibuat buat. ganapati yakin orang itu pasti bukan dari golongan liar dan
angker. Karenanya diapun tak mau sungguhan bertarung.
Melihat
lawannya sepertinya enggan menyerang bahkan melawan setengah hati, Ranu menjadi
marah, kekuatan tenaganya menjadi berlipat, gerakannya sedikit melambat, hawa
panas makin terasa di sekelilingnya. Telapak tangannya seolah menjadi bara api.
Lalu dengan percaya diri menyerang dengan telapak tangan terbuka. Tak mau ambil
risiko, Ganapati tak lagi melompat mundur, tapi berusaha menangkis serangan
telapak tangan itu dengan menggesernya ke samping agar tak mengenai dada. Tapi
betapa kagetnya Ganapati karena tangannya seperti menyentuh bara api.
Ajian Tapak
Obong kata Ganapati dalam hati. Ia tidak boleh main main, nampaknya Ranu
berusaha membinasakan dirinya. Secara tak sadar dia membentengi dirinya Tameng
Waja. Ilmu itu bukan cuma benteng diri tetapi juga menghasilkan hawa panas di
sekeliling lapisan Tameng Waja. Dua hawa panas yang keluar dari dua ilmu
membuat rumput pijakan dua orang itu jadi mengering.
Deru angin
berputar melingkari dua orang yang saling bertempur. Kadang mereka bergerak
cepat, melayang layang, menukik dengan ketangkasan yang sulit dilihat mata
telanjang. Bagi orang yang tak mengenal ilmu kanuragan, dua orang itu seolah
bayangan yang berputar putar. Kadang suatu kesempatan salah satu keluar dari
lingkarang, lalu segera masuk kembali. Demikian terus menerus, seperti menguji
ketangkasan, kecepatan gerak dan juga kedalaman tenaga bathin.
Tiba tiba
Ranu mundur melompat beberapa kali, lalu berhenti, sedikit merunduk, menguatkan
kuda kuda, siap menyerang. "Tidak ada cara lain, terpaksa harus
kukeluarkan ilmu pamungkas ini. Kata Ranu pada dirinya sendiri. Entah ini benar
atau tidak, semoga orangtuaku mengampuni segala kesalahanku."
Ganapati
terperanjat dengan sikap Ranu, "rupanya Ranu sudah pada batas akhir"
seolah mau mengakhiri pertempuran sebelum hari gelap. Lalu Ganapati melebarkan
kaki, sedikit melipat, merunduk, telapak tangan berubah jadi kepalan. Demikian
pula, Ganapati harus mengeluarkan jurus andalannya Garuda melayang.
Ganapati tak
lagi berusaha menghindar atau melompat mundur. Kali ini dia mau membenturkan
ilmunya dengan ilmu lawannya.
Tanpa
peringatan Ranu melompat tinggi dengan teriakan nyaring langsung ke arah dada
Ganapati. ganapati yang sudah siap, langsung membenturkan dua kekuatan itu.
Bunyi gelegar beradunnya dua kekuatan itu mengakibatkan kedudukan kaki Ganapati
bergeser beberapa langkah. Lain halnya dengan Ranu, benturan itu membuatnya
terpelanting terjungka beberapa kali sebelum akhrinta terbaring. Dia berusaha
keras untuk bangkit berdiri, walau sempoyongan. Akhirnya mampu berdiri.
"Hahahahahaha"
suara tertawa menggelegar di hutan randu yang semakin gelap. Ganapati dan Ranu
langsung berhenti dan menengok ke arah sumber suara itu. Tampak, walau samar
samar bapaktua berambut,kumis berjenggot putih berdiri menyender pohon randu,
dengan tetap melipat tangan di dada, ia berseru.
"Pertunjukan
yang maha dahsyat. Dua ilmu yang sudah jarang ditemui saat ini beradu"
"Ilmu
yang ketika zaman mudaku masuk golongan ilmu putih. Kenapa dua ilmu itu saling
beradu.?"
"Bapaktua!"
"Kakek"
Serentak dua
orang yang berlaga itu menyebut orang yang bersandar di pohon randu.
"Mayang
Ayu!. Jauh sekali perjalananmu hanya untuk memuaskan nafsu membalas kematian
ayahmu. Apakah kau yakin ayahnya lawanmu itu yang membunuh?
Ganapati
terperanjat, ketika nama lawannya disebut oleh bapaktua. Dia sudah menduga
lawannya perempuan, tetapi tetap saja kaget.
"Kalian
berdua, kemarilah, mari duduk disini, saya membawa makanan beli dari padukuhan."
Bapaktua itu menyerukan dengan bahasa yang lebih lembut.
"Kakek
kenapa ada di sini. Kenapa menghentikan pertempuran yang sudah hampir di ujung
penyelesaian."
"Marilah
kalian berdua mendekat, supaya aku bisa menyapa kalian tanpa harus
teriak."
"Duduklah
di sini Ganapati. Mungkin kau belum mengenal cucuku ini. Biarlah kalian saling
mengenal. Anggap saja pertempuran barusan adalah latihan agar badan menjadi
segar."
Mendekatlah
Mayang. Biarlah kalian saling mengenal wajah satu dengan lainnya.
Ganapati
tanpa sadar menatap kuat pada wajah Mayang Ayu. Semula untuk memastikan bahwa
yang dihadapinya itu sungguh perempuan. Makin menatap makin membuat hati
Ganapati berdebardebar, apalagi liat mata lawannya yang bening bersih.
Mengenal Asal
Usul
"Basuh
mukamu lebih dahulu Mayang. Di perigi di belakang sana. Sejuk airnya, sekalian
basuh badanmu dari keringat dan debu"
Masih tersisa
wajah marah dari Mayang Ayu, jurus yang sudah dipersiapkan merobohkan Ganapati
terpaksa dibatalkan karena kehadiran Kakeknya. Dia hanya menurut perintah
kakeknya, berjalan ke arah belakang pohon Randu menuruni lembah kecil mencari
mataair yang ditunjukkan kakeknya.
Ganapati
hanya mengawasi langkah langkah kecil Ranu yang kemudian diketahui bernama
Mayang Ayu. Sejak diketahui dengan jelas bahwa dia adalah perempuan, Ganapati
makin memperhatikan cara jalan Mayang Ayu. Dalam hatinya ia mengumpat kenapa
tak dari awal diketahui lawannya adalah perempuan. Dari wajahnya yang aneh
untuk ukuran laki laki, teriakannya, jurus yang dimainkan, kegesitannya
memainkan tangan dan kaki, sudah memperlihatkan dia sebenarnya perempuan. Entah
apa yang membuatnya tak bisa berpikir, seolah semua lawannya adalah laki laki.
Bahkan rambutnya yang panjang, walau awut awutan tidak mencirikan laki laki.
Tak sadar
Ganapati mengamati Mayang Ayu terus menerus, sampai lenyap dibalik gundukan
bukit kecil.
"Duduklah
mendekat di sini Ganapati" suara bapaktua itu menyadarkan Ganapati.
"Oh maaf
Bapaktua. Baik Bapaktua" Ganapatipun melangkah mendekat, lalu duduk
bersila di rerumputan di samping Bapaktua.
Jutaan
bintang dan bulan purnama menerangi padang perdu demikian terangnya, hampir
nampak semua benda benda alam sejauh mata memandang.
"Jadi
setelah pertemuan kita di hutan tempo hari, anak terus berada di sini."
"Betul
bapaktua, saya berada di sini membantu menjaga padukuhan ini." Lalu
Ganapati menceritakan peristiwa peristiwa yang terjadi di sini. Bapaktua hanya
mengangguk angguk kepala sambil sekali sekali menengok ke belakang, sepertinya
menunggu Mayang Ayu.
Tak lama,
muncul dari balik bukit Mayang Ayu. Rambutnya tak lagi berantakan, tapi
digulung ke atas, ikat kepalanya dilepas dipakai untuk mengikat gelungan
rambut. Semakin mendekat semakin nampak wajah yang bersih. Pantulan cahaya
bulan dan bintang menambah langkah langkah kecil Mayang Ayu seperti bidadari
turun dari kayangan.
Geraknya
dalam berjalan di padang perdu, di bawah sinar bulan dan jutaaan bintang
membuat Ganapati terpana. Tak sadar kalau Bapaktua itu bertanya tentang Ki
Demang. Karena tak mendapat jawaban, Bapaktua mengulang lagi pertanyaannya.
"Di mana
Ki Demang sekarang ini?" Bertanya dengan sedikit keras sambil menatap
Ganapati.
Dengan
tergagap gagap Ganapati menjelaskan "Seharusnya dia ikut ke sini, tapi
saya melarang, sebab ini bukan urusan Padukuhan melainkan pribadi.
"Mari
duduk dekat sini Mayang Ayu."
"Kamu
sudah mengenal Ganapati, bahkan sudah beradu ilmu dengannya." Sambil
duduk, Mayangayu melihat sebentar ke Ganapati lalu menunduk.
"Kalian
berdua duduklah, duduk dengan bebas dari rasa tegang. Jangan duduk berhadapan
seolah seperti orang yang bermusuhan."
Kembali
Ganapati dan Mayangayu saling menatap tapi kemudian Mayangayu membuang muka
memindahkan pandangannya seolah melihat bulan dan bintang di langit.
Cukup waktu
bagi Ganapati untuk menilai betapa cantiknya Mayangayu. Sungguh wajah perempuan
seperti putri khayangan yang sering diceritakan ibunya. "Siapa gerangan
Mayangayu ini" tanya Ganapati dalam hati. Ia berkali kali mengutuk dirinya
begitu bodohnya dia sampai tak mengenal orang yang menyerangnya adalah
perempuan.
Kalian berdua
memang tidak saling mengenal, tetapi ayah kalian semasa muda bersahabat.
Sebagai pengawal istana, mereka sering mendapat tugas bersama, ke daerah barat,
timur memadamkan pemberontakan terhadap Demak. Tidak semua pemberontak itu bisa
dipadamkan tanpa kekuatan pasukan. Dua bersahabat itu punya andil besar,
wilayah Demak sampai Blambangan bisa dikuasai tanpa kekerasan. Bagi mereka
berdua, Demak tak perlu menguasai kerajaan kerajaan kecil itu, asalkan mereka
mengakui Demak.
Gajah Wisesa
dan Jaka Umbara dua bersahabat dan dua orang yang berguru pada sumber ilmu yang
sama. Segala ilmu Majapahit sudah menyatu dalam tubuh mereka berdua. Semenjak
remaja mereka sering berlatih bersama di bawah pengawasanku. Ada keunggulan
masing masing. Gajah Wisesa diibaratkan gajah yang berbadan besar kokoh dan
segala kekuatan apapun tidak akan mampu menggeser kedudukan kakinya yang kokoh
menjejag bumi. sementara Jaka Umbara, lebih unggul dalam kecepatan. Lawan
sering bingung dengan kecepatan itu seolah Jaka Umbara berada di mana mana,
pukulan lawan sering mengenai tempat kosong sebab Jaka Umbara sudah tidak
berada di situ.
Kalian pasti
sudah tau siapa ayah kalian masing masing.Mereka berdua mewarisi ilmu
Majapahit. Ilmu yang diperoleh dari perguruan kami.
"Kami!?"
Tanpa sadar Ganapati dan Mayang Ayu bertanya.
Iya. Aku dan
kakek Ganapati berasal dari satu perguruan. Perguruan yang sama dengan para
keturunan Brawijaya. Seperti yang sering aku ceritakan tidak semua keturunan
Brawijaya suka tinggal di istana. Tidak semua pangeran pangeran Majapahit
mengakui kerajaan Demak. Pertikaian yang meruntuhkan Majapahit. Bukan karena
kekuatan dari luar, tetapi dari dalam.
Kepada Gajah
Wisesa dan Jaka Umbara,
Kami
mewarikan ilmu Sapu Angin, Tapak Obong, Guncang Waringin, Rawarontek, Lembu
sekilan, Tameng waja, gelap ngampar. Bukan cuma ilmu kanuragan, yang bagi
kalangan kami dianggap ilmu rendahan dan kasar. Perguruan kami juga mengajarkan
cara cara bernegara, memerintah. Kami juga belajar filsafat membaca serat serat
apa arti hidup, kitab perjalanan hidup seseorang dipelajari, dari mulai awal
lahir, akil balik sampai menemukan jati diri. Kami diajarkan oleh guru tentang
sastra budaya leluhur, tembang antara lain dandanggula dan asmaradana, serta
banyak tembang yang lainnya.
Itu bukan
berarti kami suka hidup dalam lingkaran kekuasaan di istana, tapi dengan
belajar itu kami mampu memahami arti hidup. Kami lebih mengerti soal perebutan
kekuasaan yang bermula dari iri dengki cemburu, sakit hati, kami juga belajar
tapi juga hakikat moral, sastra, dan juga olah kanuragan.
Sekali sekali
Ganapati menengok ke arah Mayangayu yang tekun mendengarkan cerita kakeknya,
ketika Mayangayu melihat ke arahnya, dia memalingkan wajah ke Bapaktua seolah
mendengarkan ceritanya.
Selagi tekun
mendengar cerita bapaktua itu, dari kejauhan ramai orang berduyun dari arah
padukuhan menggunakan obor menerangi jalan.
"Nampaknya
Ki Demang dan warga padukuhan mencari keberadaanmu." Kata bapaktua
Iya Ki Demang
pasti mencari saya. Dia merasa tanggung jawab selama saya berada di wilayahnya.
Ganapati,
mumpung ki Demang masih jauh ,biarlah aku izin pergi bersama Mayangayu, nanti
saatnya kita ketemu lagi.
"Apakah
tidak sebaiknya menunggu Ki Demang dan istirahat di Padukuhan"
"Lain
waktu saja, sampaikan salam buat Ki demang"
"Ayo
Mayangayu, biarlah kita pisah sejenak, nanti kita ketemu lagi dengan
ganapati."
Mayangayu
menatap Ganapati. Lalu mengucap "saya permisi kakang, sampai ketemu
lagi."
Iya sampai
ketemu lagi Mayangayu." Balas Ganapati tergagap gagap. Rasanya kenapa
pertemuan singkat sekali, kenapa Ki Demang mesti menyusul ke tempat ini. Tanpa sadar
dia menatap dua orang itu yang dalam sekejap sudah melesat cepat di belakang
pohon randu dan hilang di balik perbukitan.
"Ganapati.....ganapati,
engkau tidak apa apa!!. Ki Demang teriak.
Ganapati
menunggu sejenak sampai Ki Demang dekat, lalu menjawab bahwa "tidak ada
sesuatu yang kurang Ki Demang"
"Tadi
sudah bertemu dengan Ranu"
"Tapi
lama sekali, kenapa tak diajak ke padukuhan"
"Dia
lebih suka bertemu di sini Ki Demang."
Setiap kali
bicara Ranu, Ganapati yang teringat Mayangayu yang berjalan langkah perlahan
muncul dari bukit diterangi sinar bulan dan sejuta bintang. Demikian pula,
sejuta rasa hati Ganapati mengingat ingat Mayangayu.