Sunday, 8 November 2020

Barry

 Barry


Entah bagaimana proses evolusinya sampai namanya menjadi Barry (dibacanya Beri). Ini membuatku penasaran. Barry di kalangan grup kami melegenda, pergaulan luas, pengetahuan lebih luas, keterampilan bermusik tak dapat disangkal satu satunya yang mengalahkan gitaris akustik dan listrik di Kecamatan, dan ganteng. ibarat empat pemuda liverpool yang digila gilai remaja putri seluruh dunia. Ini yang membuat aku pengen tahu, siapa sebenarnya Barry. Omongnya, sekedar pengen tahu, dalam hati pengen tahu banget. Tentu saja penasaran apa latar belakang Barry sampai menjadi populer dan idola. Bagaimana dia belajar sampai punya ketrampilan seperti itu. Dalam hati seperti tokoh di film "Catatan si Boy", serba bisa dan idola.


Suatu kali saya diajak Barry ke rumah orangtuanya.


"asik, ke bandung kita ya."


"kita ke Garut.."


"...lho orangtua bukannya di Bandung?


"Ikut saja, yang penting kita jalan jalan keluar Jakarta."


"Siyaap!"


Keluar Jakarta dengan Kereta, sampai Bandung, naik kendaraan umum Bandung-Tasik. Turun dari kendaraan yang berhenti di ujung kampung, jalan kaki tak terlampau jauh, melewati pematang, sampai di deretan rumah yang makin lama makin memadat. Ini kampungnya, kata Barry. sedikit lagi sampai rumah.


Jadilah kami berdua jalan kaki, itu yang cat hijau rumah orangtuaku.


“assalamualaikum”


Barry langsung masuk ke dalam, mengajak saya, tapi sebelumnya buka sepatu dulu. Tak lama ada suara dari dalam


“lama bener nggak pulang Cu? “


"Iya pak, masih banyak kerjaan yang bikin nggak sempet pulang kampung. Gimana kabar kampung kita pak."


"Makin lama makin sepi, pada pergi ke kota. Kampung cuma orangtua semua. "


*Ini kenalin temen." Saya segera menyorongkan badan menyalami ayah Barry.


"¹Mak lagi siapin makanan tuh, bentar lagi beres, udah lama nggak makan ikan kan, sambel lalapan sayur lodeh tahu tempe, makannya di tiker ya, biar lega dan bebas.


Mamak Barry keluar, bawa makanan aneka macam. Menggelar tikar, sambil makan bersila, kami ngobrol, Mak juga nemenin ngobrol, ramailah kita saling cerita. Bapak ibu itu tidak satu kalipun manggil nama anaknya Barry, tapi lebih suka manggil cuk. Cuk gimana tinggal di Jakarta, betah kan. Dalam hatiku, Barry pasti betah, banyak orang suka dia, tiap hari wa masuk, telepon email, messengers, twitter. Segala akses media sosial masuk ke Barry, tiap hari, jam, menit. Saya yang kadang tidur di rumah kontrakan Barry nggak bisa tidur karena berisik bunyi HP nya.


"Makanannya enak Cuk? lagi ibunya bertanya. "Enak bu, tapi nggak ada makanan yang seenak masakan ibu."


Barry memang pandai mengambil hati lawan bicaranya, hampir di semua kesempatan yang saya perhatikan, tidak ada orang yang kecewa dengan Barry, malah sebaliknya. Semua betah. ini yang bikin kami berdua berkali kali terlambat, karena Barry harus pamitan ke orang orang yang menyapanya.


Tak terasa obrolan sudah sore menjelang malam saya pamitan, mau langsung ke Bandung, ada keperluan. Di pagar rumah saya tanya emang nama mu di kampung siapa? Kok dari dating sampe pulang bapak ibumu memanggil namamu cak cuk cak cuk. Barry hanya tertawa saja, nanti kamu juga tahu setelah liat kampung ini.


Benar, melewati pos tempat anak muda nongkrong, saya tahu, itu rumah yang ada pohon mangganya anaknya Namanya siapa?

Anak yang kuliah di bandung terus ke Jakarta ya?


“Iya”


“O itu Namanya Ucuk”


“Nama lengkapnya siapa?”


“Utjuk Sobari.”


“O terima kasih” Dalam hati .pasti kawan sekolahnya di SMP atau SMA yang kasih nama Barry, hanya menduga duga. Siapapun dia, apapun namanya, dia idola kok.


Tipu

Zubaidah akhirnya mau buka rekening di Bank itu. Tidak mudah mengajak Zubaidah yang terkenal sangat efisien itu, tambah embel embel galak dan tegas, katanya juga judes. Ia tak dengan mudah melakukan sesuatu yang dirasa tak ada manfaatnya. Tapi toh dia buka rekening. Kata ibunya, dia bersedia lantaran rayuan manajer bank itu. Rayuan bukan cuma rayuan, bukan hanya asal rayuan dangkal. Masih ingat kan, Zubaidah bukan orang yang suka dirayu, apalagi rayuan omong kosong sahibul hikayat. Ibarat pasangan muda mudi cinta monyet berjanji se hidup se mati disaksikan bulan dan bintang.


Sebenarnya Zubaidah datang ke Bank itu untuk transfer uang ke suatu tempat di luar negeri. Dengan Bank Draft yang sudah sangat kuno sekali dalam sistem perbankan di kota besar seperti Jakarta. Tetapi apa mau dikata, rekan bisnisnya di kota di negara berkembang di belahan dunia sana. Tidak ada alternatif lain kecuali menggunakan cara bank di negara berkembang itu. Kalau saja sistem transfer seperti umumnya dilakukan antarkota di Indonesia, maka akan lebih mudah, tapi perlu mencari bank khusus, sebab bank apa saja kompatibel. Begitulah ceritanya.

Perhitungan transaksi dilakukan, rupiah diterjemahkan ke dolar, sesuai jumlah yang diminta partnernya di negara antah berantah sana, hitung hitungan dengan teller, kemudian diambil alih oleh manajer langsung. Entah karena tellernya masih training, sesuai dengan peneng yang ada di dadanya yang tertulis training, atau managernya yang lowong, pekerjaan sudah tidak ada. Pendek cerita si manager mendekat dan ikut dalam pembicaraan, lalu ambil alih. Teller menyingkir setelah ada atasannya.
Transaksi bank draft selesai, pengiriman sudah selesai tanda bukti sudah dipegang Zubaidah. Dia siap siap untuk keluar, di akhir pembicaraan itu, manager menawarkan tabungan berjangka di bank nya dengan bunga tinggi. Itulah awal mula Zubaidah tergiur menabung berjangka di situ. Bunganya tinggi, sepuluh persen. Sementara bunga di bank lain, jauh di bawahnya. Buru buru buat rekening sebelum manajer berubah pikiran, begitu kira kira kata zubaidah dalam hati.

Beberapa persyaratan, fotocopy ktp, isi formulir semua sudah lengkap, lalu dapat buku bank. Desakan manager Bank dengan kata kata yang menjanjikan membuat Zubaidah tanpa berpikir panjang langsung setor uang di tabungan berjangka itu. Nggak tanggung tanggung, langsung seluruh tabungannya dipindahbukukan ke bank ini. Bahkan dengan penuh keyakinan bank nya yang baru memberi harapan baru.

Zubaidah menghayal dengan kalkulasi subyektif, akhir tahun dia akan dapat uang berlipat, uang itu untuk modal usaha game station yang sudah dirintis susah payah. Akhirnya usaha yang susah payah itu berbuah hasil. Jaringannya sudah internasional, partnernya diperkirakan akan membludak, kualitasnya pasti bukan kaleng kaleng.

Semenjak pindah ke bank itu, semangat dan keyakinannya makin tebal. Percaya diri akan bisnisnya yang membawa hawa cerah. Tidak ada sedikitpun pikiran pesimis, bayangan bisnis selalu cerah. Apalagi trend bisnis game makin menjanjikan.Malahan sudah mengadakan deal deal bisnis untuk ekspansi. Zubaidah yang percaya diri.

Enam bulan berlalu, tiba waktu untuk mengambil tabungan, mau dipindahkan ke tabungan biasa di Banknya yang lama. Kata teller tidak bisa dengan jumlah itu, sebab tabungan tak cukup. Teller perlihatkan saldo di tabungannya, Zubaidah terperanjat, kaget! Ya tentu saja kaget, kepala seperti berputar putar, gelap, untung ada satpam di situ yang gerak cepat memapah zubaidah yang terhuyung huyung.

Uang tabungan yang disetor 20 miliar, ternyata tinggal ratusan ribu. “Kalau saya pasti sudah geblak.” begitu kata petugas parkir sewaktu samar samar mendengar berita pemilik mobil BMW Kuning Metalik kehilangan uang. “Tega bener malingnya, uang segitu besarnya disisakan sedikit sekali.” lanjut tukang parkir.

Lapis pengaman bank mesti ditata ulang. Entah seperti apa penataan pengamanan bank yang paling aman. Tapi yang jelas kasus ibu anak yang tertipu rayuan manager bukan Cuma system teknologi yang ditata tapi pembatasan interaksi Pihak bank dan nasabah. Sistem pengamanan bank canggih, pencuri bank lebih canggih lagi. Ini membuat saya percaya bahwa maling selalu lebih melihat daripada polisi. Polisi pastinya belajar dari kelihaian maling, semoga saja bisa belajar lebih baik sehingga pepatah polisi selalu kalah di mata maling tidak betul, Asal jangan polisi dan maling orang nya sama.

Pelakunya sudah ditangkap, masalahnya tinggal apakah bank akan memberi ganti rugi kepada nasabah yang dirugikan itu. Kasus ini masih bergulir, beberapa orang sudah dijadikan tersangka, tapi kalau sudah ganti rugi masih harus melewati sidang pengadilan. Di situ akan ditentukan siapa yang menang dan kalah, ganti rugi dan ganti ganti yang lainnya.

“Padahal ibu itu pintar, kelihatan dari mukanya. Kok bisa tertipu ya.” Tukang parkir itu penasaran. 

“Kok bisa!!”



Thursday, 5 November 2020

Dari tujuh mundur ke sepuluh

 Dari tujuh mundur ke sepuluh.


Sejak semalam aku merencanakan berangkat pukul tujuh pagi. Menurutku, itu waktu yang tepat. Tidak terlampau panas terik matahari yang menyorot tajam menyengat kulit.  Menurut pikiranku, pukul tujuh adalah waktu transisi, dari embun yang mencair menuju panas. Ah itu terlalu berteori berfilsafat. Pukul tujuh menurut hitung hitungan alokasi kerja adalah segala pekerjaan rumah yang penting di pagi hari seperti memasak nasi, masak air panas, menghangatkan makanan semalam, membuat kopi, matikan lampu teras, depan dan belakang, keluarkan jemuran pakaian handuk dan sepeda motor. Sudah selesai. Pekerjaan rutin pagi hari selesai yang dilanjutkan pekerjaan outdoor. 


Hari ini rencana itu gagal, keberangkatan harus ditunda, sebab hujan sejak pukul lima pagi sampai rencana berangkat di pukul tujuh, tak kunjung berhenti. Bukannya berhenti malah bertambah besar, semula gerimis kecil, menjadi lebat, butiran airnya sebesar jagung. Saya hanya berharap semoga derasnya hujan tak berlangsung seharian. Plan B, hujan berhenti, langsung berangkat.


Tunggu punya tunggu, baru pukul sepuluh hujan berhenti. Jam segitu bikin pikiran jadi ragu berangkat atau tidak. Sebab kalau pun berangkat, apakah barang yang dibutuhkan masih ada? Ah kenapa mesti berpikir seperti itu. Pokoknya berangkat saja,yakin saja barang itu ada. Jangan berandai andai yang negatif. Sikap dan perilaku seperti itu bikin gerakan jalan di tempat. Kalau dalam ilmu pembangunan, tidak positive thinking. Harus berpikir melangkah ke depan. Kalau tidak ada barangnya ulangi datangi lagi esok hari.


Dengan sepeda motor bebek tahun 2006 berangkat menuju pasar. hujan rintik tipis masih terasa sepanjang perjalan. Tetapi hujan seperti ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Tidak akan membuat baju kaos lusuh yang dipakai sejak semalam basah karena hujan rintik.

Sampai, di tempat parkir sepeda motor, cari tempat yang tak rumit supaya keluar dari tempat itu lebih mudah.Masuk dalam pasar, tidak lewat pintu utama, aku Lebih suka lewat pintu samping, yang dekat dengan wc. Pintu yang jarang dilalui orang yang belanja, 


“Tiga, seperti biasa, dua potong filet, yang satu potong biasa potongan 14. Saya tinggal pak, saya akan ke tempat lainnya”


“Siyaaap.”


Tak jauh dari situ kios langganan Telur ayam negeri. 


“satu kilo bang. Berapa harga hari ini?” Saya tiap kali beli telur ayam selalu bertanya, sebab harga satu kilogram telur ayam tidak stabil. Dalam dua minggu terakhir naik turun, antara dua puluh sampai dua puluh lima ribu.  


“24 ribu.” 


“Minta satu kilogram yang bang. Saya ke tempat lain dulu”


Berjalan beberapa langkah dari situ, beda bangunan, walau tak jauh dari situ kios ikan hidup dan mati. Lalu pesan pada ibu yang penampilannya tomboy, pakai celemek karet, sepatu boot karet anti air, berjalan mondar mandir melayani pelanggan yang tak mau kena cipratan air kolam ikan lele, belut dan gurame. Mata tajam siap menunggu orderan.


“dua ikan gurame, setengah kiloan.”


“agak lebih sedikit, 1,1 kilogram. Sambil memperlihatkan angka timbangan ke arah, saya.


“Potong gimana Pak”


“ Fillet ya.”


Sambil nunggu ngobrol dengan ibu yang ada di samping, yang sedang beli lele.


“Ibu mau masak apa beli lele?”


Dikukus, lalu dikerok dagingnya, bikin bikin abon, bumbunya bawang merah kunyit, sayang tak lagi mendengar bumbu bumbu yang disebut ibu itu, di situ makin ramai saja orang yang belanja ikan, yang paling terdengar adalah ulek sampai lembut campur dengan bahan ikan. 


Perlu sepuluh menit menunggu ikan dibersihkan. Lalu selesai. Mulai menapaki telas, ke pedagang telur, lalu bayar ambil telurnya, lalu ke pedagang ayam, ambil ayam lalu bayar. Selesai. Tentengan telur, ayam, ikan. Tas isi karbol sereh yang dibeli di minimarket sebelum masuk pasar, sudah dicantolkan di stang sepeda motor. Untung saja barang masih ada, kalau hari sabtu dan minggu, jangan harap barang masih ada. Nikmatnya belanja bukan di akhir pekan. Kata pedagang umumnya, sampai jam sebelas masih relative lengkap. Lebih dari itu, sudah ganti buku, alias pedagangnya pada pulang. Aman. On the way home.