Thursday, 30 August 2018

Dari Tempe Tahu ke Ayam Daging Ikan



Warteg bukan lagi warung kumuh dan melulu konsumen golongan bawah. Diakui oleh pemilik Warteg, warung jenis ini tumbuh dari golongan bawah. Tahun 60an Warteg konsumsi tukang becak Jakarta migrant daerah sepanjang Pantura. Indramayu, Brebes, Tegal. Warteg memang diciptakan oleh tauke becak agar tukang becak bisa makan sesuai penghasilan. Cerita beberapa pensiunan warteg (wartegnya sekarang dikelola oleh anak dan cucu), Warteg dibuat di pangkalan becak, kadang di pekarangan rumah Tauke, juru masak mengandalkan pembantu rumahtangga Tauke. Lauk pauk tidak penting, asalkan kuantitas nasi banyak.

Semakin hari warteg berkembang, tidak lagi memenuhi demand tukang becak, tapi juga tenaga kasar, tukang bangunan, PKL, dan sejenisnya di  Jakarta. Lokasinya semula di pekarangan rumah, lalu bergeser ke pinggir jalan.  Konsumennya juga makin beragam.  Warteg juga pake gaya “jemput bola” mendatangi arena pabrik, bangunan, pasar, ekspansi daerah baru. Prinsip mereka selama banyak orang rantau bekerja di Jakarta, pasti butuh warteg.

Akhirnya, wajah warteg seperti sekarang ini. Prinsip ekonomi, demand-supply berlaku bagi tumbuh kembangnya warteg dan kota (Jakarta). Mindset pemilik warteg di kota (Jakarta) adu kreatif, menu makanan dibuat seperti restoran, variasi masakan ayam, daging, ikan, kikil, kerang, udang, tanpa meninggalkan makanan tradisionalnya tahu tempe. 

Makanan enak sehat nikmat, selera rumahan dengan harga murah. Cocok bagi pekerja di kota yang mayoritas kegiatannya berada di luar rumah.  Dari hasil penelitian tentang kebutuhan makan warga kota saat kini kebutuhan makan dipenuhi di luar rumah. Kebanyakan mereka beralasan karena  tak ada yang menyiapkan makanan (24,1 persen), lebih banyak aktivitas di luar tempat tinggal (20,6 persen), atau karena tinggal sendiri (19,8 persen), menurut catatan survey Tirto. Lainnya beralasan karena tak punya kemampuan memasak, rasa makanan di luar yang lebih enak, pilihan menu lebih variatif, mencari suasana tempat makan, atau karena lebih praktis. Pendek cerita, animo masyarakat kota seperti ini yang ditangkap pebisnis warteg dan jenis kuliner lainnya.

Bukan hanya menu variasi kuantitas dan kualitas makanan, disain Interior, fasilitas warteg makin lengkap, bersih higienis. Di situ ada wastafel, toilet, TV (cable). Bisnis Warteg makin ketat, media online, turut serta promosi warteg favorite. Serius. Warteg punya dana promosi, dana kerjasama, ikut ambil bagian dalam event penting di kota.  Warteg tidak seperti gambaran dulu kala; produknya, manajemennya, konsumennya, semua mengalami perkembangan. 

No comments:

Post a Comment