Salah seorang akademisi Papua mengkritik para pedagang sayur
mayur yang orang Papua. Caranya berjualan sangat kaku, tidak mau tawar menawar,
dan lebih memilih barang tidak laku daripada menjual dengan harga murah. Faktor
Ini, katanya lebih lanjut, menyebabkan para penjual sayur mayur orang Papua itu
kalah bersaing dengan orang Jawa atau orang non papua lainnya yang berjualan jenis
sayur yang sama. Pemandangan seperti itu dapat ditemui di hampir semua
pasar-pasar di kabupaten maupun kecamatan. Harga sayur mayur sudah ditentukan
penjual. Tidak ada tawar menawar.
Orang Papua jualan sayur mayur (barang) tetapi dengan cara
berpikir sistem barter. Ciri ekonomi barter yang paling nampak adalah keinginan
untuk memiliki barang yang dipunyai orang lain dengan menukar barang yang
dipunyainya. Cara berpikir barter adalah pertukaran barang dan jasa secara
langsung dengan barang dan jasa yang dianggap setimpal. Ia (dalam konteks ini
si penjual) ingin punya 5,000 rupiah, ia bersedia menukar dengan barang
miliknya yakni setumpuk kentang. Bisa jadi di waktu yang berbeda ia ingin 3,000
rupiah, sebagai gantinya ia memberi setumpuk tomat miliknya. Uang dalam
pengertian ekonomi pasar sebagai media pertukaran menjadi tidak ada. Dari kasus
di atas nampak barang dipertukaran secara langsung antar dua pihak tanpa media
pertukaran.
Unsur menghormati satu dengan lainnya juga berlaku dalam
sistem barter. Kedua belah pihak setuju dengan penetapan barang yang ditukar.
Seribu rupiah dihargai dengan setumpuk kentang.
Lima ratus rupiah dengan setumpuk tomat. Kalau salah satu pihak tidak
setuju, berarti tidak ada pertukaran. Titik!
Barter adalah cara pertukaran tanpa medium uang. Ini
berlangsung ketika berlangsung ketika Evolusi masyarakat pada tahap berburu dan
meramu. Berburu pada laki-laki dan meramu pada perempuan adalah pekerjaan utama
mereka. Kelompok masyarakat ini tidak mengenal surplus produksi. Mereka hanya
membutuhkan makanan sampai kenyang untuk hari itu saja. Sisa makanan yang tidak
habis dibiarkan, atau dibuang. Surplus makanan (produksi) tidak ada nilainya.
Bahan makanan diperoleh dari alam tanpa perlu memelihara. Sagu misalnya, tidak
dipelihara, tetapi tumbuh liar disekeliling pemukimannya. Ekspansi untuk
mendapat barang yang tidak dihasilkan sendiri, dilakukan dengan cara tukar
dengan kelompok masyarakat yang menghasilkan barang yang diinginkan. Dalam
catatan sejarah Papua disebutkan bahwa kelompok masyarakat pantai menukar kulit
kerang dengan kapak batu dari kelompok masyarakat pegunungan.
Ekonomi pasar dalam konteks pertukaran barang dan jasa
memiliki sifat yang berbeda. Dalam ekonomi pasar surplus produksi
diperhitungkan. Harga ditentukan oleh pasar. Kebutuhan barang ditentukan oleh
pasar. Tidak ada pedagang yang
menetapkan harga kecuali mengacu pada harga pasar. Perbedaan tipis dari harga
pasar adalah biasa, dan ini lebih pada kemampuan individual memasarkan barang
atau jasanya. Di situ terjadi persaingan di antara penjual untuk merebut
pembeli. Istilah pembeli adalah raja hanya berlaku pada ekonomi pasar.
Kalau kritikan dari akademisi Papua itu bahwa pedagang papua
berdagang terlampau kaku, harga barangnya lebih mahal dibanding harga barang
penjual dari non-papua, tidak ada tawar menawar, makanya dalam berdagang orang
papua kalah bersaing dengan orang non-papua. Kalau menggunakan kacamata ekonomi
pasar, maka penjelasan itu masuk akal, karenanya saya setuju dengan kritikan
dari akademisi Papua itu.
Namun kalau melihat dari penjelasan emik (dari perspektif
penjual), maka istilahkalah bersaing dengan penjual lain menjadi tidak relevan.
Persaingan terjadi bukan di antara penjual, tetapi antara penjual dan pembeli
(istilah ini mungkin tidak tepat untuk menjelaskan pertukaran dalam sistem
ekonomi barter).
Menyimpulkan dari keadaan di atas, ada dugaan bahwa cara
berpikir penjual sayur mayur itu masih dengan cara barter. Cara pikir atau
mentalitas barter masih dalam mindset para pedagang itu, walaupun secara fisik
sudah dalam atmosfer sitem ekonomi pasar. Barangkali para pedagang Papia yang
bermental barter itu sering dikritik oleh para birokrat dan akademisi yang
sudah bermental ekonomi pasar hanya tertawa karena melihat kritikan itu tidak
mengenai sasaran. Apakah dualisme ekonomi di Papua ini seperti yang digambarkan
oleh ekonom Belanda tentang berjalannya dua sistem ekonomi di tempat dan waktu
yang sama; sistem tradisional (barter) dan sistem moderen (pasar). Mungkin
perlu studi yang lebih mendalam tentang hal ini.
No comments:
Post a Comment