Thursday, 3 September 2015

Tenganan Bali

Tenganan-Pegringsingan Melestarikan Tradisi agar tampil beda; atau sebaliknya
Tito Panggabean


Tontonan tradisional tetap menjadi ikon wisata Bali. Barangkali dalam konteks itu, orang Tenganan yang tinggal salah satu desa di Bali itu berupaya melestarikan tradisinya. Mereka tidak menampilkan tradisi Bali pada umumnya, tetapi Bali berdasarkan tradisi nenek moyang mereka yang menganggap bukan dari tradisi Majapahit. Konon hanya 2 desa di Bali yang mempunyai ciri tradisi yang mirip dengan Tenganan yakni, desa Trunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dan desa Sembiran di Kecamatan Tejakule, Kabupaten Buleleng. Dalam literatur dikatakan bahwa 3 Desa di Bali itu digolongkan sebagai Bali Aga ialah desa yang gaya hidup masyarakatnya, masih berpedoman pada peraturan dan adat istiadat peninggalan leluhur, dari jaman sebelum kerajaan Majapahit. Mereka tidak mengenal kasta, perkawinan antar anggota di desa, orang meninggal dikubur, tidak dibakar (ngaben) sebagaimana umumnya Hindu. Tiga desa itu mempertahankan ciri khas tradisinyadari pengaruh Hindu/Majapahit.



Tradisi Tenganan yang disebut Bali Aga itu membuat banyak wisatawan penasaran, apalagi kemasan promosi wisata yang menekankan keunikan yang spesifik Tenganan antara lain gadis berayunan berkemben kain geringsing yang mahal harganya. Ada beberapa tradisi yang dilestarikan oleh orang Tenganan dan sekaligus yang dianggap menjadi tontonan menarik bagi wisatawan. Tradisi itu dikenal dengan nama Ayunan dan Perang Pandan atau Mekare-kare. Kegiatannya hanya ada pada bulan kelima (menurut penanggalan di Desa Tenganan Pegringsingan), yang disebut Sasih Sambah, biasanya jatuh sekitar bulan Juni-Juli. Sasih Sambah ini merupakan salah satu bulan dimana berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar yang diadakan di desa Tenganan Pegringsingan tersebut.



Tradisi Tampil Beda
Hari ini di bulan Juni adalah acara puncak Sasih Sambah. Para gadis gadis-gadis setempat akan bermain ayunan. Gadis-gadis itu memakai kemben dan selendang geringsing, sebanyak 6-8 orang gadis kemudian duduk bangku ayunan, lalu dua laki-laki manjat di bandulan kemudian menggoyang ayunan berputar ke atas ke bawah. Konon tradisi ayunan ini bermakna sebagai bagian dari rangkaian upacara memohon keselamatan kepada Tuhan.  Ada yang mengatakan bahwa tradisi ayunan dilakukan mempererat tali persahabatan seusai perang pandan. Menurut Jero Mangku Widia, pemangku desa adat Tenganan pegringsinan Tradisi Ayunan untuk keselamatan hidup. Ia mengakui kurang paham soal asal usul tradisi, tetapi menurutnya selama ada Usaba Sambah, maka ritual ayunan itu tetap dilakukan.
Makna religius di balik ayunan para gadis itu nampaknya kurang penting bagi wisatawan. Mereka ingin melihat eksotisme dari para gadis berpakeian kemben, dengan selendang geringsing bermain ayunan.Penonton sabar menunggu, terutama fotografer dari berbagai belahan dunia, acara para gadis berkemben berayunan hanya ada di sini. Karenanya mereka mereka ingin mengabadikan momen itu dalam karya foto, filem/video.


Tampil beda; tradisi Perang Pandan
Mekare Kare alias perang pandan, atraksi puncak usaba sambah, upacara tahunan utama masyarakat desa adat tenganan Karang Asem. Perang pandan ini dilaksanakan oleh para truna dengan senjata seikat daun pandan berduri genggaman tangan kanan dan tameng diselipkan dilengan kiri sebagai alat pelindung diri terbuat dari anyanan ata (sejenis rotan). Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding. Dalam duel satu lawan satu petarung saling sering dan berusaha melukai lawan dengan senjata ikatan potongan daun pandan yang berduri tajam, luka dan darah menetes dari ppunggung yang luka akibat goresan pandan berduri. Mereka yang banyak tergores jelas kalah.
Acara perang pandan para teruna (pemuda) akhirnya dimulai, dilakukan di panggung setinggi satu meteran agar semua penonton, terutama di bagian belakag dapat melihat. Acara mulai dengan pidato, kemudian orangtua2 (atau para senior membagikan ramuan diwadahi daun pisang ke setiap lelaki di situ kemudian acara dimulai, ditampilkan dua laki-laki satu dari sisi selatan dan yang lain dari sisi utara, terus menerus berlaga kira2 5 menit, berurutan. Terus menerus berlaga sampai sore hari. Laga antarteruna diakhiri, setahu saya tidak ada pengumuman pemenang. Mungkin karena tidak tahu makna dari duel itu kecuali dianggap perwujudan nilai ksatria, kejujuran, dan keberanian. Selesai duel itu, punggung para teruna yang ikutan duel, penuh goresan dan titik rembesan darah. Tapi tidak satupun kelihatan mereka kesakitan, tetapi justru bangga. Barangkali teruna yang tidak ikutan duel menjadi malu, karena dianggap pengecut dalam tradisi Tenganan. Mungkin menarik untuk dipelajari.




Tari Rejang
Tari rejang dimainkan oleh para gadis dan anak-anak perempuan. Tarian ini dimainkan di puri, sebuah tempat yang dianggap sakral oleh kepercayaan orang Tenganan. Tidak satupun orang diizinkan masuk puri itu tanpa memakai sarung. Saya salah satu yang diusir keluar oleh petugas di situ karena tidak mengenakan sarung.
Para penari menggunakan kemben dan selendang merupakan tenun double ikat yang jarang di dunia ini menjadi rebutan walaupun harganya jutaan bahkan puluhan juta, seperti halnya merek2 disainer ternama dunia.
Konon tari Rejang adalah salah satu tarian sakral umat hindu di Bali, konon merupakan salah satu tarian yang paling belakangan diperbolehkan dijadikan tontonan wisatawan. 




Beberapa atraksi wisata yang ditampilkan oleh penduduk Tenganan kadang-kadang sulit untuk diabadikan melalui lensa foto/video. Misalnya ketika para gadis berkumpul di bangsal yang hanya diterangi lampu redup-redup. Tarian khusus para gadis setelah matahari terbenam yang dilakukan di bangsal bahkan tanpa lampu. Pendek kata tidak semua tarian mampu didokumentasi dengan baik. Namun, seperti kata, para petinggi desa Tenganan, tarian itu dipersembahkan buat para dewa dan bukan para wisatawan. Barangkali karena fakta ini membuat banyak orang luar penasaran dengan atraksi Tenganan. Mereka tampil berbeda dengan Bali pada umumnya, dan barangkali karena tampil beda maka membuat tradisinya tetap lestari. 





No comments:

Post a Comment