Tenganan-Pegringsingan
Melestarikan Tradisi agar tampil beda; atau sebaliknya
Tito Panggabean
Tontonan tradisional tetap menjadi ikon wisata Bali. Barangkali
dalam konteks itu, orang Tenganan yang tinggal salah satu desa di Bali itu
berupaya melestarikan tradisinya. Mereka
tidak menampilkan tradisi Bali pada umumnya, tetapi Bali berdasarkan tradisi
nenek moyang mereka yang menganggap bukan dari tradisi Majapahit. Konon hanya 2
desa di Bali yang mempunyai ciri tradisi yang mirip dengan Tenganan yakni, desa
Trunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dan desa Sembiran di
Kecamatan Tejakule, Kabupaten Buleleng. Dalam literatur dikatakan bahwa 3 Desa
di Bali itu digolongkan sebagai Bali Aga ialah desa yang gaya hidup
masyarakatnya, masih berpedoman pada peraturan dan adat istiadat peninggalan
leluhur, dari jaman sebelum kerajaan Majapahit. Mereka tidak mengenal kasta,
perkawinan antar anggota di desa, orang meninggal dikubur, tidak dibakar
(ngaben) sebagaimana umumnya Hindu. Tiga desa itu mempertahankan ciri khas tradisinyadari
pengaruh Hindu/Majapahit.
Tradisi Tenganan yang disebut Bali Aga itu
membuat banyak wisatawan penasaran, apalagi kemasan promosi wisata yang
menekankan keunikan yang spesifik Tenganan antara lain gadis berayunan
berkemben kain geringsing yang mahal harganya. Ada beberapa tradisi yang
dilestarikan oleh orang Tenganan dan sekaligus yang dianggap menjadi tontonan
menarik bagi wisatawan. Tradisi itu dikenal dengan nama Ayunan dan Perang
Pandan atau Mekare-kare. Kegiatannya hanya ada pada bulan kelima (menurut
penanggalan di Desa Tenganan Pegringsingan), yang disebut Sasih Sambah,
biasanya jatuh sekitar bulan Juni-Juli. Sasih Sambah ini merupakan salah satu
bulan dimana berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar yang diadakan di desa
Tenganan Pegringsingan tersebut.
Tradisi Tampil Beda
Hari ini di bulan Juni adalah acara puncak Sasih Sambah.
Para gadis gadis-gadis setempat akan bermain ayunan. Gadis-gadis itu memakai
kemben dan selendang geringsing, sebanyak 6-8 orang gadis kemudian duduk bangku
ayunan, lalu dua laki-laki manjat di bandulan kemudian menggoyang ayunan
berputar ke atas ke bawah. Konon tradisi ayunan ini bermakna sebagai bagian dari rangkaian upacara memohon keselamatan kepada
Tuhan. Ada yang mengatakan bahwa tradisi
ayunan dilakukan mempererat tali persahabatan seusai perang pandan. Menurut Jero
Mangku Widia, pemangku desa adat Tenganan pegringsinan Tradisi Ayunan untuk
keselamatan hidup. Ia mengakui kurang paham soal asal usul tradisi, tetapi
menurutnya selama ada Usaba Sambah, maka ritual ayunan itu tetap dilakukan.
Makna religius di balik ayunan para
gadis itu nampaknya kurang penting bagi wisatawan. Mereka ingin melihat
eksotisme dari para gadis berpakeian kemben, dengan selendang geringsing
bermain ayunan.Penonton sabar menunggu, terutama fotografer dari berbagai
belahan dunia, acara para gadis berkemben berayunan hanya ada di sini.
Karenanya mereka mereka ingin mengabadikan momen itu dalam karya foto,
filem/video.
Tampil beda; tradisi Perang Pandan
Mekare Kare alias perang pandan,
atraksi puncak usaba sambah, upacara tahunan utama masyarakat desa adat
tenganan Karang Asem. Perang pandan ini dilaksanakan oleh
para truna dengan senjata seikat daun pandan berduri genggaman tangan kanan dan
tameng diselipkan dilengan kiri sebagai alat pelindung diri terbuat dari
anyanan ata (sejenis rotan). Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas
Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding. Dalam
duel satu lawan satu petarung saling sering dan berusaha melukai lawan dengan
senjata ikatan potongan daun pandan yang berduri tajam, luka dan darah menetes
dari ppunggung yang luka akibat goresan pandan berduri. Mereka yang banyak
tergores jelas kalah.
Acara perang pandan para teruna (pemuda) akhirnya dimulai,
dilakukan di panggung setinggi satu meteran agar semua penonton, terutama di
bagian belakag dapat melihat. Acara mulai dengan pidato, kemudian orangtua2
(atau para senior membagikan ramuan diwadahi daun pisang ke setiap lelaki di
situ kemudian acara dimulai, ditampilkan dua laki-laki satu dari sisi selatan
dan yang lain dari sisi utara, terus menerus berlaga kira2 5 menit, berurutan.
Terus menerus berlaga sampai sore hari. Laga antarteruna diakhiri, setahu saya
tidak ada pengumuman pemenang. Mungkin karena tidak tahu makna dari duel itu
kecuali dianggap perwujudan nilai ksatria, kejujuran, dan keberanian. Selesai
duel itu, punggung para teruna yang ikutan duel, penuh goresan dan titik
rembesan darah. Tapi tidak satupun kelihatan mereka kesakitan, tetapi justru
bangga. Barangkali teruna yang tidak ikutan duel menjadi malu, karena dianggap
pengecut dalam tradisi Tenganan. Mungkin menarik untuk dipelajari.
Tari Rejang
Tari rejang dimainkan oleh para
gadis dan anak-anak perempuan. Tarian ini dimainkan di puri, sebuah tempat yang
dianggap sakral oleh kepercayaan orang Tenganan. Tidak satupun orang diizinkan
masuk puri itu tanpa memakai sarung. Saya salah satu yang diusir keluar oleh
petugas di situ karena tidak mengenakan sarung.
Para penari menggunakan kemben dan
selendang merupakan tenun double ikat yang jarang di dunia ini menjadi rebutan
walaupun harganya jutaan bahkan puluhan juta, seperti halnya merek2 disainer
ternama dunia.
Konon tari Rejang adalah salah satu
tarian sakral umat hindu di Bali, konon merupakan salah satu tarian yang paling
belakangan diperbolehkan dijadikan tontonan wisatawan.
Beberapa atraksi wisata yang ditampilkan oleh penduduk Tenganan kadang-kadang sulit untuk diabadikan melalui lensa foto/video. Misalnya ketika para gadis berkumpul di bangsal yang hanya diterangi lampu redup-redup. Tarian khusus para gadis setelah matahari terbenam yang dilakukan di bangsal bahkan tanpa lampu. Pendek kata tidak semua tarian mampu didokumentasi dengan baik. Namun, seperti kata, para petinggi desa Tenganan, tarian itu dipersembahkan buat para dewa dan bukan para wisatawan. Barangkali karena fakta ini membuat banyak orang luar penasaran dengan atraksi Tenganan. Mereka tampil berbeda dengan Bali pada umumnya, dan barangkali karena tampil beda maka membuat tradisinya tetap lestari.
No comments:
Post a Comment