Thursday, 24 September 2015

Berwisata ke Belitung Timur

Tiga hari tiga malam kunjungan ke Pulau Belitung tidak cukup untuk bisa menilai soal wisata dipulau Belitung timur dan juga Belitung Barat. Namun ada beberapa catatan perjalanan yang barangkali bermanfaat bagi pembaca. Bukan mengkritik kebijakan pembangunan pariwisata, tetapi lebih  memberi masukan setelah merasakan perjalanan wisata itu. Masukan itu  terutama pada hal-hal yang saya anggap kurang pas.
Nama pulau itu secara resmi disebut Belitung, tetapi orang lokal disana menyebutnya Belitong daripada Belitung. Saya tidak tahu kenapa demikian, barangkali karena unsur kebiasaan saja karena sejak dulu mereka lebih pas menyebut Belitong daripada Belitung.
Tak dapat disangkal bahwa Belitung menjadi popular semenjak novel Laskar Pelangi dibaca banyak daerah di Indonesia, bahkan novel itu sudah diterjamahkan dalam banyak bahasa di dunia. Situs-situs yang ada hubungannya dengan Laskar Pelangi menjadi daerah tujuan wisata. Misalnya Museum Kata yang dibuat oleh pengarang Laskar Pelangi, Andrea Hirata adalah salah satu tujuan wisata di Kota Gantung. Replika SD Muhammadyah yang menjadi salah satu setting utama novel menjadi bagian dari paket city tour Gantung-Manggar. Batu-batu besar yang tersusun artistik juga bagia dari tour wisata. Demikian pula kami mendapat kesempatan bertamu ke guru SD yang legendaris, yang dianggap guru yang memberi inspirasi cita-cita bagi anak didiknya.   
Pulau Laskar Pelangi itu dianggap belum cukup untuk menarik wisatawan datang ke Belitung. Nampaknya pemda memperbanyak tujuan-tujuan wisata lainnya. Terutama wisata pantai dan pulau-pulau. Ide ini tidak salah, dan patut dipahami karena pulau ini tidak ada gunung, atau daerah dengan ketinggian di atas 1000 meter dari permukaan laut. Tidak ada daerah sejuk. sepanjang pulau itu udara panas, apalagi saat ini musim kemarau berkepanjangan. Gunakan topi lebar adalah nasihat yang patut dituruti. Sejauh mata memandang rata dengan pohon-pohon yang kering dan tanah yang berpasir dan silau karena pancaran sinar matahari. 
Mempromosikan pantai berpasir putih adalah bagus, demikian pula dengan promosi pelayaran antarpulau, diving, snorkling untuk melihat taman laut yang cukup indah. Namun promosi wisata pantai, pulau pulau kecil sekitar Belitung Timur belum bisa dilaksanakan dalam waktu dekat.  Sebab Promosi ini harus diikuti dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi wisatawan. Misalnya yang kami temukan di pantai Burong Mandi atau di pulau pulau kecil sekitar satu jam dari daratan Belitung.  Pantai di situ indah tetapi tidak ada air bersih, kamar mandi, WC yang membuat wisatawan enggan berlama lama di sana. Membutuhkan waktu yang lama untuk membangun infrastruktur pendukung bagi keamanan dan kenyamanan wisatawan luar. Apalagi tidak sembarang  wisatawan bisa datang ke pantai atau pulau terpencil. Tidak ada kendaraan umum yang menjangkau wilayah itu. Listrik tidak ada. Wisata disitu hanya berlaku sepanjang hari saja, tidak ada wisata malam di daerah pantai.
Sesungguhnya tujuan wisata Belitung bisa dikembangkan dengan memanfaatkan yang sudah ada, tinggal kemasan-kemasan yang barangkali membutuhkan konsultan pariwisata, atau pemda setempat belajar ke propinsi-propinsi lain di Indonesia. Memanfaatkan yang sudah ada maksudnya adalah sebuah kebiasaan yang dilakukan orang-orang di Belitung yang mereka kerjakan sehari-hari baik ada wisatawan maupun tidak ada.
Saya percaya bahwa tempat wisata yang sudah menjadi bagian dari kegiatan keseharian tidak mudah bangkrut, tidak perlu biaya besar dalam pemeliharaan dan paling penting adalah atraksi menarik dan khas yang membuat wisatawan menikmati Belitung sebagai Belitung dan bukan wilayah lain di Indonesia. Ada beberapa tempat wisata yang penting dan patut dikunjungi dan barangkali perlu untuk dikembangkan bilamana Belitung menggunakan konsep wisata yang sesuai dengan potensi lokal. Uraian di bawah ini menampilkan cerita tentang beberapa tempat wisata yang saya kunjungi
Mie Belitong, Man Lie
Dengan Bis, dua puluh enam orang wisatawan termasuk saya menuju ke Manggar. Hari sudah siang, padahal tujuan masih jauh. Kami mampir di daerah Kecamatan Kelapa Kampit untuk makan siang. Menarik makan siang adalah bakmi khas Bilitong. Pemilik warung sudah menyiapkan sejumlah porsi untuk rombongan kami. Mie Belitong di warung Man Lie menyambut kedatangan rombongan yang sudah kelaparan. Katanya mie Belitong khas sebab di daerah lain tidak ada. Saya melihatnya mie ini mirip dengan tahu campur masakan jawa timur. Cita rasa yang ditonjolkan mie Belitong manis, kuah rada hitam pekat , disajikan dengan piring bukan mangkok. Satu piring berisi mie, taoge, tahu goreng yang dipotong kotak-kotak, ketimun. Beberapa kawan makan dengan lahap di samping enak rasa juga karena lapar, sebab semenjak berangkat dari jakarta belum kemasukan makanan.
Kelenteng Fu De Ce
Depan warung Mie Bilitong, terdapat kelenteng Fu De Ce. Saya tidak memerinci detail dalam kelenteng, tetapi di luar kelenteng pekarangannya luas, warna kelenteng yang khas, merah menjadi enak dipandang. Arsitektur bangunannya khas Cina dengan gambar naga di sisi kiri kanan atapnya.
Walaupun Kelenteng tempat sembahyang bagi umat Budha dan Kong hu Cu, namun tempat ini bisa menjadi tujuan wisata yang bagus, terutama arsitektur kelenteng, sejarah orang-orang Tionghoa di daerah itu. Kemasan deskripsi yang berhubungan dengan Kelenteng; artisitektur, sejarah, asimilasi Tionghoa-Melayu, kuliner, bisnis yang berkembang di situ dan lagi sebagainya.
Desa Wisata Burong Mandi
Burong Mandi, sebuah pantai yang kami datangi setelah istirahat makan siang di warung Mie Bilitong. Tidak terlampau istimewa pantai ini. Bahkan terasa kurang fassilitas yang memadai, misalnya kamar mandi, wc, atau resto warung makan, dan lain sebagainya. Beberapa teman yang rencananya mau sholat, tidak jadi karena tidak ada air wudhu. Akhirnya kami berhenti sebentar di situ, sekedar foto2 lalu melanjutkan perjalanan ke Vihara Dewi Kwan Im.
Entah kenapa pantai ini dipaksakan untuk tujuan wisata. Bagi saya kalau sekedar pantai, maka wisatawan hanya datang foto-foto lalu pergi. Barangkali tak lebih 30 menit wisatawan itu ada di sana. Kalaupun main dan berenang di pantai, memerlukan air bersih untuk bilasan setelah berenang.  Fasilitas itu tidak ada.
Vihara Dewi Kwan Im
Letaknya di bukit, tidak jauh dari parkir bis kami, tapi jalannya menanjak dengan susunan tangga yang baik. Ini memudahkan bagi wisatawan mencapainya. Vihara , tempat berdoa, mengharapkan hidup sejahtera. Bau hio yang dibakar memenuhi ruangan doa, bahkan menyebar sampai keluar ruangan. Seorang penunggu, perempuan tengah baya, menjelaskan sejarah vihara itu, mengajari cara berdoa, memohon kepada dewi Kwan Im bagi keberuntungannya dalam hidup.
Ini juga tujuan wisata yang potensial.  Lokasinya yang berada di bukit jadi indah karena bisa melihat pemandangan dengan jarak yang lebih jauh. Sekali lagi, arsitektur dan sejarah vihara penting untuk dikemas menjadi deskripsi wisatawan. Para wisatawan umumnya pengen tahu apa, bagaimana dan kenapa tempat tujuan itu (vihara) dibangun, dan itu tidak disiapkan dengan baik, setidaknya menurut pengalaman perjalanan saya 3 hari ke Belitung
Kota 1001 Warung Kopi
Manggar adalah kota dengan 1000 warung kopi. Itu benar. Sepanjang jalan adalah warung kopi. Lelaki tua muda berada di sana sepanjang waktu. Warung hampir selalu ramai. Warung tidak saja menjual kopi tetapi juga teh dan kopi susu. Orang sini bilang kopi hitam adalah kopi O.
Dari sekian banyak warung kopi, ada beberapa yang dikenal dan selalu ramai, semenjak pagi sampai malam. Kata kawan, seorang perempuan yang melayani kami selama kami berada di warung itu adalah cicit dari pendiri warung kopi legendaris. 
Warung kopi adalah tempat pertemuan berbagai kalangan. Di sini, menurut pengunjung setia di sana, banyak informasi yang diperoleh dari kongkow dengan teman, kolega bisnis sampai dengan peristiwa seputaran kota, politik, gosip dan lain sebagai. Dengan mengunjungi warung kopi dan mendengarkan kisah-kisah orang-orang yang berada di sana, setidaknya kita dapat cerita tentang Manggar.
Warung kopi adalah salah satu tujuan wisata yang patut untuk dikembangkan.
Pasar Ikan
Pelelangan ikan, di pelabuhan, juga di Manggar. Sayang datang terlambat. Masih ada sisa-sisa transaksi. Pelelangan sudah mulai semenjak pagi bahkan sebelum matahari terbit sudah ramai di sekitar pelabuhan ini. Lelang ikan, tempat pelelangan, dermaga sandar kapal ikan, adalah pemandangan yang menarik bagi wisatawan.
Masuk pasar, juga menarik. Apalagi pasar ikan. Ikan dari berbagai jenis disajikan dalam wujud yang segar, baru datang dari tangkapan nelayan.  Beberapa ikan katanya adalah khas belitung. Saya sudah coba rasa ikan itu, memang enak, bahkan tanpa perlu bumbu sudah enak rasanya. Tapi ikan itu karena masih segar. Itu betul2 fresh from the ocean, dari laut langsung dibakar. Kami, saya dan beberapa teman, makan mencomoti ikan itu, merasakan dagingnya yang lembut dan terasa manis.
Hoping Island
Ke pulau, hoping island, adalah paket wisata yang dijual orang Belitung. Kami menuju ke sana. Dengan kapal dari pemda, cukup besar, muat lebih dari 30orang ditempuh dalam waktu satu jam. Sayangnya ombak sedang tinggi, sehingga banyak dari kami mabok laut kena goyangan ombak sepanjang perjalanan. Apalagi karena kapal tidak bisa sandar di dermaga yang cetek, sehngga harus lego jangkar cukup jauh dari bibir pantai. Untuk ke pantai harus pakai perahu keciil dan skoci. Jadilah 25 orang dari kami diangkut dengan kapal kecil secara bergantian.
Di pulau itu kami berenanng dan mencoba snorkling, sayangnya tidak ada satupun terumbu karang yang hidup. Konon katanya karang2 itu hancur ketika pembangunan dermaga. Beberapa dari kami berenanng agak ketengah, untungnya ada sebagian karang yang masih hidup, dan nampak indah karena di kelilingi oleh ikan aneka warna. Beruntung masih ada yang dilihat di pulau itu, mengingat perjalanananya memakan waktu lama dan membuat badan kita jadi loyo.
Kelapa muda tidak perlu bayar, tinggal kemauan untuk mengambilnya dan mengupasnya. Seorang juru mudi perahu kecil membantu kami membuka batok kelapa, dan kami dapat merasakan nikmatnya air kepala sekaligus daging kelapa yang segar. Seorang nelayan menyajikan ikan bakar namanya Ketarap, ikan khas Belitung. Nikmat sekali. Seharusnya kami menginap di pulau itu tidak langsung pulang ke daratan. Tentu saja perlu pengadakan konsumsi yang cukup selama di pulaiu. Tapi itu bukan masalah kalau direncanakan dengan baik.
Kami harus kembali ke daratan untuk makan siang. Udang goreng mentega, ikan kuah kuning, sate ayam,  cumi tepung saus asam manis disajikan direstoran tepi danau yang bersambung dengan laut. Makanan enak langsung dilahap oleh kami yang kelaparan.
Makan malam dengan menu agak beda. Kali ini banyak diberikan sayur-mayur, yang jarang sekali ada di Belitung. Menu lainnya adalah mpek-mpek. Ini makanan lebih dikenal sebagai makanan asli palembang. Mpek2 Belitung katanya berbeda. Saya tidak bisa merasakan perbedaan itu karena saya tidak tau jenis2 mpek2 dengan rasa yang berbeda.
Kami menuju Tanjung Pandan, sehari sebelum kembali ke Jakarta. Dalam perjalanan ke sana, mampir ke beberapa museum dan berbelanja. Kunjungan ke museum tidak terlampau menarik karena tur guide nya kurang bisa menceritakan yang menarik dari museum itu. Ada beberapa maket2 penambangan timah, buaya yang tidak terurus, dan benda2 peninggalan kebudayaan lalu dipajang di museum itu.
Museum yang menarik adalah museum Kata. Museum ini menarik karena novel dan filemnya sudah amat dikenal oleh orang Jakarta. Laskar pelangi adalah judul buku karangan Andrea Hirata, seorang pemuda asal belitung Timur. Novel itu menceritakan kelompok anak sekolah dasar yang bersemangat sekolah karena punya cita-cita, dengan inspirasi dari ibu gurunya yang mengurai citacita dengan kata2 telah menyemangati anak2 itu untuk mengejar pendidikan yang setinggi tingginya.  Sepaket dengan itu ada replika SD Muhammadyah, sebuah SD yang hampir roboh tetapi tidak merobohkan semangat membangun cita-cita bagi para murid-muridnya. sebuah tujuan wisata yang menari orisinal dari Belitung Timur, Gantung.
Museum Ahok
Museum Ahok, atau judul yang tertulis di depan sebuah rumah kayu di kota Gantung adalah Kampung Ahok. Ahok, yang sekarang menjadi gubernur DKI Jakarta adalah anak asli Belitung Timur. Katanya rumah kayu itu adalah rumah keluarga Ahok, sedangkan rumah Ahok berada di seberangnya yang sekarang dijadikan museum. Museum Ahok, hanya berisi kumpulan koleksi ahok, dan tempat untuk berjualan cinderamata. Ada sanggar untuk kursus membatik bagi orang2 yang berminat.
Pantai Tanjung Tinggi
Pantai dengan batu-batu yang tersusun alamiah tapi artisitik, berada di tanjung tinggi, kira2 30menit dari tanjung pandan. Kami menuju ke sana menjelang sore, karena harus mampir beberapa tempat, antara lain pasar tempat berjualan tudung saji, topi capil, dll. Cuaca kurang mendukung, tidak ada sinar matahari, katanya tertutup asap dari kebakaran di daratan sumatra. Foto2 di sana lalu kembali ke hotel.
Penuturan seorang kawan yang ikut dalam rombongan, tempat ini yang terbaik sejak kedatangan tiga hari yang lalu. Ia menggambarkan daerah ini menakjubkan. Pantai dengan batu-batu yang tersusun indah. Ia berkali kali mengatakan bahwa akhirnya menemukan tempat yang indah dari Pulau Belitung. Lalu membandingkan dengan wisata pulau yang kami kunjungi hari sebelumnya. Di sini ada yang dilihat, di pulau tidak ada. Perjalanan ke pulau makan waktu 1 jam dengan perjuangan melawan ombak dan mabok laut, di sini tidak. Beberapa hal lain yang diperbandingkan. Akhirnya dikatakan bahwa lebih bagus pantai Belitong Barat daripada Timur. Barangkali ada benarnya, kalau mengacu pada tempat wisata pantai. Tetapi teman yang lain mengatakan bahwa saudaranya tiap malam pergi ke Belitong Timur hanya untuk minum Kopi. Di Belitong Barat tidak ada warung kopi seenak di Manggar. Hal patut dipikirkan Pemda adalah memperbaiki akses jalan dengan lebih baik. Barat ke Timur hanya 70kilometer, semestinya hanya 1jam saja. Tetapi kalau jalan rusak dan perjalanan malam hari akan lebih dari itu.
Bekas galian Timah jadi danau
Sebelum ke bandara, mampir liat danau Kaolin, yang warnanya nampak indah. Itu sebenarnya bekas galian timah, kemudian ditiinggalkan perusahaan karena timahnya sudah habis. Sayangnya waktu kunjungan dibatasi karena kami harus mengejar waktu ke bandara. Pesawat ke jakarta akan boarding jam 7.
Bekas galian tambang timah merupakan cerita tersendiri, bukan saja proses produksi, tetapi juga pergaulan berbagai bangsa yang bekerja di proyek penambangan. Ini tentunya menghasilkan tukar menukar pengetahuan, adat tradisi yang membuat daerah penambangan menjadi melting pot.


Saturday, 5 September 2015

Blusukan: Metode Kualitatif

Pengantar

Ini bukan cerita tentang Jokowi, yang sekarang menjadi presiden kita. Ini cerita tentang metode memahami keluhan rakyat tentang, kebutuhan, keinginan, prestasi dalam soal ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lagi sebagainya. Sesungguhnya blusukan adalah metode menggali informasi, umumnya secara kualitatif tentang keadaan sehari-hari dari sebuah komunitas, di suatu daerah tertentu. Bagi mereka yang mengenyam pendidikan di fakultas ilmu sosia budaya, metode menggali informasi ini sudah tidak asing lagi. Ketika mahasiswa, laboratorium mereka adalah masyarakat dengan. 
Blusukan adalah istilah yang dipopulerkan oleh Jokowi, Presiden kita. Istilah ini berkembang sangat cepat seiring dengan gaya Jokowi yang tidak puas hanya bersandar pada laporan bawahannya. Dari pengakuannya, ia tidak betah duduk lama-lama di kantornya, ia memilih sebagian besar waktunya berada di luar kantor, di tengah-tengah masyarakatnya. Barangkali itu adalah kelebihannya, atau nalurinya yang selalu ingin dekat dengan rakyat dan mendengarkan cerita rakyatnya dan berusaha memahaminya.
Blusukan adalah istilah dalam bahasa Jawa. Seperti dikutip dari beberapa sumber, kata blusuk, mblusuk berarti mlebu ing atau bahasa Indonesianya  adalah “masuk ke” kata blusuk-an artinya “masuk ke” atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang ke suatu tempat untuk mendapatkan sesuatu. Kemudian blusukan dimaknai sebagai kegiatan para pejabat atau pemimpin mendatangi masyarakat kecil, untuk menggali berbagai informasi atau permasalahan dan mencari alternatif solusinya.  Blusukan sering dilakukan secara berulang-ulang untuk memahami dengan sungguh-sungguh keadaan warga, kelompok atau masyarakat.
 Sewaktu menjadi Gubernur DKI Jakarta, Jokowi membuat pembagian tugas dengan wakilnya, Ahok. Gubernur melakukan peninjauan ke lapangan, sementara wakilnya membenahi birokrasi. Konon gaya kepemimpinan blusukan ini sudah diterapkannya semenjak dia menjadi Walikota Solo. Ia blusukan ke bantaran sungai, pasar, terminal bis, perkampungan kumuh, waduk, untuk menemui warganya atau rakyatnya.
Yang menarik dari blusukan gaya Jokowi adalah kewajaran perilakunya. Ia tidak menunjukkan pencitraan dirinya, tampil sejajar dengan rakyatnya, menggali dan mendengarkan informasi dari orang-orang yang diajak ngobrol.Sikapnya yang mau mendengar, menempatkan diri menjadi pihak yang sejajar dengan lawan bicaranya, mendatangi orang-orang yang akan diajak bicara bukan dibangun hanya ketika ia jadi pejabat, tetapi sikap ini sudah menyatu dengan pribadinya. Saya yakin, Jokowi sudah melakukan gaya blusukan sepanjang hidupnya.

Mendengar suara rakyat

Mendengar suara rakyat sudah dijalankan sebelum ada istilah blusukan. Para pemimpin negeri ini mendengar suara rakyatnya dengan istilah Turun Bawah, atau TurBa. Istiah ini dikenal sejak zaman Orde Baru di mana para pejabat melakukan kunjungan langsung ke rakyat yang menjadi sasaran pembangunan.
Istilah Klompen Capir yang digagas di zaman Pak Harto juga merupakan upaya untuk mendengar keluhan dan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok tani. Tanya-jawab antara Presiden dan rakyat dalam acara Klompen Capir itu ditayangkan di TVRI, satu-satunya stasiun televisi di Indonesia saat itu. Pak Harto mendengar keluhan dan persoalan petani, sebaliknya ia memberi penjelasan tentang program pertanian. 
SBY juga melakukan kegiatan mendengar suara rakyat dengan cara Turun Bawah, seperti dinyatakan oleh juru bicara Presiden, Daniel Sparingga. Tujuan Turba adalah mengefektifkan monitoring dan evaluasi implementasi kebijakan dan program. Prabowo dan Hatta Rajasa juga menggunakan istilah Turba daripada istilah blusukan, yang dilakukan mereka ketika berdialog dengan para pedagang di pasar.  Dulu juga ada istilah WASKAT yaitu pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dan satuan kerja yang dipimpinnya. Ini pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan terhadap anak buahnya, melakukan pembandingan rencana dengan kenyataan yang telah dilakukannya.

Blusukan samadengan metode kualitatif

Sesungguhnya blusukan dalam bahasa akademis adalah metode menggali informasi secara langsung dari individu atau kelompok yang menjadi sasarannya. Metode ini dalam ilmu sosial-budaya dikenal sebagai metode indepth interview dan participant observation dan Focus Group Discussion. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran tentang banyak hal yang terjadi di masyarakat secara kualitatif, seperti pengaturan ruang publik dan lingkungan, kesehatan dan pendidikan keluarga,  ekonomi keluarga yang dilihat dari sudut pandang warga. Dengan kata lain hasil dari blusukan itu berupa informasi dari wawancara, pengamatan dan dialog. Karena blusukan dilakukan oleh seorang dengan menggunakan panca inderanya, maka hasilnya pun diperkaya dengan gambaran akan suasana yang dilihat dan dirasakannya. Ia dapat mencium bau di situ, merasakan panas, dingin, lembab, merasakan makan dan minum yang tersedia di situ. Secara keseluruhan penggali informasi itu setidaknya dapat memahami gaya hidup warga.
Apa yang dipraktekan oleh Jokowi dengan cara blusukan itu adalah berusaha memahami gaya hidup rakyatnya dari satu tempat ke tempat lain. Ia mendengarkan cerita dari rakyatnya, melakukan dialog sekaligus melihat kemungkinan tentang mengatur pasar, terminal dan tempat umum lainnya. Ia menampung masukan dan mencari solusi bersama rakyat tentang bagaimana menjaga ketertiban dan tanggungjawab bersama atas lingkungan pemukiman, kalaupun tidak mendapat solusi saat itu, ia akan membawa hasil dialog dan wawancara itu untuk menjadi bahan masukan. Ia juga berkomunikasi dengan gaya rakyat, sering makan bersama,  blusukannya tidak mau dilakukan secara terburu-buru. Ia melakukannya dengan sepenuh hati, dan dengan niat semampunya membantu masyarakat. Interaksi juga dilakukan secara natural, dan tidak menakutkan bagi masyarakat yang dikunjungi, sehingga masukan-masukan yang diperolehnya tersaring secara jujur dan membangun. Prinsip-prinsip ini relatif sama dengan prinsip dalam metode penggalian informasi secara kualitatif.
Gaya kepemimpinan ini ternyata disukai oleh rakyat. Setiap kali Jokowi busukan, rakyat bergeromboll ingin bersalaman, berfoto bersama jokowi. Walaupun menurut jokowi blusukan adaah bagian dari mekanisme manajemen kontrol, memahami permasalahan rakyat,  tetapi dia tidak dapat membendung bahwa gaya itu dimaknai rakyatnya sebagai gaya pemimpin yang pro rakyat. Disadari atau tidak, naluri blusukan membawa gaya kepemimpinan Jokowi dianggap tampil beda dibanding para pejabat pada umumnya yang dinilai hanya pandai berwacana tetapi tidak memberi contoh perilaku yang dapat dijadikan acuan atau panutan.
Semenjak Jokowi dinyatakan sebagai Presiden, maka metode blusukan dimodifikasi dengan menambah menjadi e-blusukan. Ini sebagai cara mengantisipasi bahwa Jokowi tidak mungkin mendatangi tempat-tempat di seluruh Indonesia. Karenanya e blusukan akan dapat membantu Jokowi tetap dapat mendengar suara rakyat tanpa harus datang satu persatu ke setiap wilayah Indonesia. Kalaupun Ia ingin mendapat suasana gaya hidup rakyatnya, ia dapat mengambil sampel yang dianggap penting untuk dikunjunginya. Ia tidak akan kehilangan akal untuk terus menerus dekat dengan rakyatnya dan senantiasa belajar dari mereka.

Ikon bagi pejabat menjadi sukses

Sekarang blusukan menjadi tren yang populer, para pejabat dari mulai yang rendahan sampai setingkat walikota, gubernur, menteri berlomba menjadi pejabat blusukan. Blusukan menjadi tindakan yang sakral atau langkah awal untuk menjadikan pejabat yang disukai rakyat.
Gaya blusukan terbukti efektif meningkatkan komunikasi pejabat pemerintah dengan warga.Di satu sisi merupakan metode bagi pejabat untuk merasakan langsung kebutuhan dan permasalah di tengah masyarakat. Di sisi lain, para pejabat itu akan mendapat keuntungan dalam mengolah kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya.

Blusukan yang dipahami sebagai metode pengumpulan data jelas bukan ciptaan jokowi. Benar pernyataan lawan politiknya bahwa metode wawancara, pengamatan, dialog, sudah sejak lama dikenal dan dilakukan orang lain. Jokowi sendiri mengaku bahwa blusukan adalah strateginya dalam angka manajemen kontrol. Ia berdalih bahwa blusukan adalah cara memverifikasi laporan. Jangan langsung percaya kepada laporan tertulis yang dibuat bawahan, tetapi diuji dulu laporan itu”. Namun metode memahami persoalan dari kacamata masyarakat hanya mungkin dilakukan dengan bertatap muka, berdialog bukan di istana tetapi di mana masyarakat itu berada. Metode blusukan karenanya harus dilakukan juga oleh pimpinan yang berada di bawahnnya. Ia berkehendak agar para pimpinan harus mendengar masalah, kebutuhan langsung dari rakyat. Pemimpin harus paham suasana, gaya hidup dan tradisi masyarakatnya. 

Pedagang bermental barter di Pasar-pasar Papua

Salah seorang akademisi Papua mengkritik para pedagang sayur mayur yang orang Papua. Caranya berjualan sangat kaku, tidak mau tawar menawar, dan lebih memilih barang tidak laku daripada menjual dengan harga murah. Faktor Ini, katanya lebih lanjut, menyebabkan para penjual sayur mayur orang Papua itu kalah bersaing dengan orang Jawa atau orang non papua lainnya yang berjualan jenis sayur yang sama. Pemandangan seperti itu dapat ditemui di hampir semua pasar-pasar di kabupaten maupun kecamatan. Harga sayur mayur sudah ditentukan penjual. Tidak ada tawar menawar.
Orang Papua jualan sayur mayur (barang) tetapi dengan cara berpikir sistem barter. Ciri ekonomi barter yang paling nampak adalah keinginan untuk memiliki barang yang dipunyai orang lain dengan menukar barang yang dipunyainya. Cara berpikir barter adalah pertukaran barang dan jasa secara langsung dengan barang dan jasa yang dianggap setimpal. Ia (dalam konteks ini si penjual) ingin punya 5,000 rupiah, ia bersedia menukar dengan barang miliknya yakni setumpuk kentang. Bisa jadi di waktu yang berbeda ia ingin 3,000 rupiah, sebagai gantinya ia memberi setumpuk tomat miliknya. Uang dalam pengertian ekonomi pasar sebagai media pertukaran menjadi tidak ada. Dari kasus di atas nampak barang dipertukaran secara langsung antar dua pihak tanpa media pertukaran.
Unsur menghormati satu dengan lainnya juga berlaku dalam sistem barter. Kedua belah pihak setuju dengan penetapan barang yang ditukar. Seribu rupiah dihargai dengan setumpuk kentang.  Lima ratus rupiah dengan setumpuk tomat. Kalau salah satu pihak tidak setuju, berarti tidak ada pertukaran. Titik!
Barter adalah cara pertukaran tanpa medium uang. Ini berlangsung ketika berlangsung ketika Evolusi masyarakat pada tahap berburu dan meramu. Berburu pada laki-laki dan meramu pada perempuan adalah pekerjaan utama mereka. Kelompok masyarakat ini tidak mengenal surplus produksi. Mereka hanya membutuhkan makanan sampai kenyang untuk hari itu saja. Sisa makanan yang tidak habis dibiarkan, atau dibuang. Surplus makanan (produksi) tidak ada nilainya. Bahan makanan diperoleh dari alam tanpa perlu memelihara. Sagu misalnya, tidak dipelihara, tetapi tumbuh liar disekeliling pemukimannya. Ekspansi untuk mendapat barang yang tidak dihasilkan sendiri, dilakukan dengan cara tukar dengan kelompok masyarakat yang menghasilkan barang yang diinginkan. Dalam catatan sejarah Papua disebutkan bahwa kelompok masyarakat pantai menukar kulit kerang dengan kapak batu dari kelompok masyarakat pegunungan.
Ekonomi pasar dalam konteks pertukaran barang dan jasa memiliki sifat yang berbeda. Dalam ekonomi pasar surplus produksi diperhitungkan. Harga ditentukan oleh pasar. Kebutuhan barang ditentukan oleh pasar.  Tidak ada pedagang yang menetapkan harga kecuali mengacu pada harga pasar. Perbedaan tipis dari harga pasar adalah biasa, dan ini lebih pada kemampuan individual memasarkan barang atau jasanya. Di situ terjadi persaingan di antara penjual untuk merebut pembeli. Istilah pembeli adalah raja hanya berlaku pada ekonomi pasar.
Kalau kritikan dari akademisi Papua itu bahwa pedagang papua berdagang terlampau kaku, harga barangnya lebih mahal dibanding harga barang penjual dari non-papua, tidak ada tawar menawar, makanya dalam berdagang orang papua kalah bersaing dengan orang non-papua. Kalau menggunakan kacamata ekonomi pasar, maka penjelasan itu masuk akal, karenanya saya setuju dengan kritikan dari akademisi Papua itu.
Namun kalau melihat dari penjelasan emik (dari perspektif penjual), maka istilahkalah bersaing dengan penjual lain menjadi tidak relevan. Persaingan terjadi bukan di antara penjual, tetapi antara penjual dan pembeli (istilah ini mungkin tidak tepat untuk menjelaskan pertukaran dalam sistem ekonomi barter).

Menyimpulkan dari keadaan di atas, ada dugaan bahwa cara berpikir penjual sayur mayur itu masih dengan cara barter. Cara pikir atau mentalitas barter masih dalam mindset para pedagang itu, walaupun secara fisik sudah dalam atmosfer sitem ekonomi pasar. Barangkali para pedagang Papia yang bermental barter itu sering dikritik oleh para birokrat dan akademisi yang sudah bermental ekonomi pasar hanya tertawa karena melihat kritikan itu tidak mengenai sasaran. Apakah dualisme ekonomi di Papua ini seperti yang digambarkan oleh ekonom Belanda tentang berjalannya dua sistem ekonomi di tempat dan waktu yang sama; sistem tradisional (barter) dan sistem moderen (pasar). Mungkin perlu studi yang lebih mendalam tentang hal ini. 

Thursday, 3 September 2015

Tenganan Bali

Tenganan-Pegringsingan Melestarikan Tradisi agar tampil beda; atau sebaliknya
Tito Panggabean


Tontonan tradisional tetap menjadi ikon wisata Bali. Barangkali dalam konteks itu, orang Tenganan yang tinggal salah satu desa di Bali itu berupaya melestarikan tradisinya. Mereka tidak menampilkan tradisi Bali pada umumnya, tetapi Bali berdasarkan tradisi nenek moyang mereka yang menganggap bukan dari tradisi Majapahit. Konon hanya 2 desa di Bali yang mempunyai ciri tradisi yang mirip dengan Tenganan yakni, desa Trunyan di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, dan desa Sembiran di Kecamatan Tejakule, Kabupaten Buleleng. Dalam literatur dikatakan bahwa 3 Desa di Bali itu digolongkan sebagai Bali Aga ialah desa yang gaya hidup masyarakatnya, masih berpedoman pada peraturan dan adat istiadat peninggalan leluhur, dari jaman sebelum kerajaan Majapahit. Mereka tidak mengenal kasta, perkawinan antar anggota di desa, orang meninggal dikubur, tidak dibakar (ngaben) sebagaimana umumnya Hindu. Tiga desa itu mempertahankan ciri khas tradisinyadari pengaruh Hindu/Majapahit.



Tradisi Tenganan yang disebut Bali Aga itu membuat banyak wisatawan penasaran, apalagi kemasan promosi wisata yang menekankan keunikan yang spesifik Tenganan antara lain gadis berayunan berkemben kain geringsing yang mahal harganya. Ada beberapa tradisi yang dilestarikan oleh orang Tenganan dan sekaligus yang dianggap menjadi tontonan menarik bagi wisatawan. Tradisi itu dikenal dengan nama Ayunan dan Perang Pandan atau Mekare-kare. Kegiatannya hanya ada pada bulan kelima (menurut penanggalan di Desa Tenganan Pegringsingan), yang disebut Sasih Sambah, biasanya jatuh sekitar bulan Juni-Juli. Sasih Sambah ini merupakan salah satu bulan dimana berlangsungnya upacara-upacara adat terbesar yang diadakan di desa Tenganan Pegringsingan tersebut.



Tradisi Tampil Beda
Hari ini di bulan Juni adalah acara puncak Sasih Sambah. Para gadis gadis-gadis setempat akan bermain ayunan. Gadis-gadis itu memakai kemben dan selendang geringsing, sebanyak 6-8 orang gadis kemudian duduk bangku ayunan, lalu dua laki-laki manjat di bandulan kemudian menggoyang ayunan berputar ke atas ke bawah. Konon tradisi ayunan ini bermakna sebagai bagian dari rangkaian upacara memohon keselamatan kepada Tuhan.  Ada yang mengatakan bahwa tradisi ayunan dilakukan mempererat tali persahabatan seusai perang pandan. Menurut Jero Mangku Widia, pemangku desa adat Tenganan pegringsinan Tradisi Ayunan untuk keselamatan hidup. Ia mengakui kurang paham soal asal usul tradisi, tetapi menurutnya selama ada Usaba Sambah, maka ritual ayunan itu tetap dilakukan.
Makna religius di balik ayunan para gadis itu nampaknya kurang penting bagi wisatawan. Mereka ingin melihat eksotisme dari para gadis berpakeian kemben, dengan selendang geringsing bermain ayunan.Penonton sabar menunggu, terutama fotografer dari berbagai belahan dunia, acara para gadis berkemben berayunan hanya ada di sini. Karenanya mereka mereka ingin mengabadikan momen itu dalam karya foto, filem/video.


Tampil beda; tradisi Perang Pandan
Mekare Kare alias perang pandan, atraksi puncak usaba sambah, upacara tahunan utama masyarakat desa adat tenganan Karang Asem. Perang pandan ini dilaksanakan oleh para truna dengan senjata seikat daun pandan berduri genggaman tangan kanan dan tameng diselipkan dilengan kiri sebagai alat pelindung diri terbuat dari anyanan ata (sejenis rotan). Upacara Mekare-kare ini diiringi dengan music khas Tenganan Pegringsingan yaitu Selonding. Dalam duel satu lawan satu petarung saling sering dan berusaha melukai lawan dengan senjata ikatan potongan daun pandan yang berduri tajam, luka dan darah menetes dari ppunggung yang luka akibat goresan pandan berduri. Mereka yang banyak tergores jelas kalah.
Acara perang pandan para teruna (pemuda) akhirnya dimulai, dilakukan di panggung setinggi satu meteran agar semua penonton, terutama di bagian belakag dapat melihat. Acara mulai dengan pidato, kemudian orangtua2 (atau para senior membagikan ramuan diwadahi daun pisang ke setiap lelaki di situ kemudian acara dimulai, ditampilkan dua laki-laki satu dari sisi selatan dan yang lain dari sisi utara, terus menerus berlaga kira2 5 menit, berurutan. Terus menerus berlaga sampai sore hari. Laga antarteruna diakhiri, setahu saya tidak ada pengumuman pemenang. Mungkin karena tidak tahu makna dari duel itu kecuali dianggap perwujudan nilai ksatria, kejujuran, dan keberanian. Selesai duel itu, punggung para teruna yang ikutan duel, penuh goresan dan titik rembesan darah. Tapi tidak satupun kelihatan mereka kesakitan, tetapi justru bangga. Barangkali teruna yang tidak ikutan duel menjadi malu, karena dianggap pengecut dalam tradisi Tenganan. Mungkin menarik untuk dipelajari.




Tari Rejang
Tari rejang dimainkan oleh para gadis dan anak-anak perempuan. Tarian ini dimainkan di puri, sebuah tempat yang dianggap sakral oleh kepercayaan orang Tenganan. Tidak satupun orang diizinkan masuk puri itu tanpa memakai sarung. Saya salah satu yang diusir keluar oleh petugas di situ karena tidak mengenakan sarung.
Para penari menggunakan kemben dan selendang merupakan tenun double ikat yang jarang di dunia ini menjadi rebutan walaupun harganya jutaan bahkan puluhan juta, seperti halnya merek2 disainer ternama dunia.
Konon tari Rejang adalah salah satu tarian sakral umat hindu di Bali, konon merupakan salah satu tarian yang paling belakangan diperbolehkan dijadikan tontonan wisatawan. 




Beberapa atraksi wisata yang ditampilkan oleh penduduk Tenganan kadang-kadang sulit untuk diabadikan melalui lensa foto/video. Misalnya ketika para gadis berkumpul di bangsal yang hanya diterangi lampu redup-redup. Tarian khusus para gadis setelah matahari terbenam yang dilakukan di bangsal bahkan tanpa lampu. Pendek kata tidak semua tarian mampu didokumentasi dengan baik. Namun, seperti kata, para petinggi desa Tenganan, tarian itu dipersembahkan buat para dewa dan bukan para wisatawan. Barangkali karena fakta ini membuat banyak orang luar penasaran dengan atraksi Tenganan. Mereka tampil berbeda dengan Bali pada umumnya, dan barangkali karena tampil beda maka membuat tradisinya tetap lestari.