SAUNG ANGKLUNG UDJO:
Berbisnis dengan modal social dan kultural
Tito Panggabean
Ayib pelajar SMA kelas II, menggoyang cepat angklung
toel dengan nada nada
lincah pindah dari satu nada ke nada lain mengikuti partitur yang sudah dihafal
dengan memainkan Symphony no.40 Wolfgang Amadeus Mozart. Itu adalah lagu penutup acara
pertunjukan seni musik angklung dari Saung Angklung Udjo (SAU) sore itu. Penonton berdiri
dengan memberi aplaus atas kemahiran Ayib memainkan musik klasik yang tergolong
rumit dengan alat angklung toelnya. Sebuah tanda yang penting, bila dilihat para penonton itu adalah wisatawan asing (bule), yang bagi mereka tepuk tangan sambil berdiri adalah bentuk
penghargaan yang tulus atas kehebatan pertunjukan yang ditontonnya.
Ia adalah satu dari sekian banyak murid
gemblengan SAU yang mempesona. Tidak menyangka kalau Ayib sudah melanglang
buana ke berbagai negeri di dunia karena kehebatannya bermain angklung. Bersama
beberapa temannya ia mulai belajar angklung sejak TK. Ketekunan dan ketelatenan
belajar dan sekaligus apresiasi pada para guru yang membimbing membuktikan
bahwa Saung Angklung Udjo (SAU) berhasil melestarikan salah satu seni budaya di
Indonesia dan sekaligus memperkenalkan kepada dunia bahwa Indonesia bukan hanya Bali. Promosi angklung ke mancanegara
membuka mata dunia bahwa atraksi menarik juga dapat disaksikan di bumi
Priangan.
Perjalanan SAU tidak setahun dua tahun. SAU
didirikan oleh Udjo Ngelagena tahun 1966 dengan visi misi keharmonisan musik
anak dan lingkungan. Para pendiri itu mulai pertunjukan seperti pengamen.
Bersepeda atau jalan kaki mendatangi hotel demi hotel, dari rumah ke rumah,
mempersembahkan peragaan permainan musik angklung dengan tarian. Adalah Daeng Soetigna, seorang guru musik
yang menciptakan dan mengubah nada angklung yang pentatonis menjadi diatonis, sehingga
memungkinkan angklung menjadi alat musik yang dapat memainkan lagu-lagu dengan
tangga nada yang dikenal lebih luas di dunia. Dua orang itu kemudian membawa SAU menjadi salah satu organisasi seni
pertunjukan yang sukses di Indonesia. Tetapi dua orang itu tidak pernah lupa
bahwa kesuksesan mereka juga karena dukungan warga sekitarnya. Rombongan seni
budaya angklung itu semula adalah orang-orang yang tinggal di kampung itu.
Mereka mengikuti, belajar dan menjadi bagian dari pertunjukan angklung tanpa
dibayar. Seolah ada komitmen bahwa dahulukan pertunjukan yang sukses dan menghibur orang
lain, bayaran atas pertunjukan dilakukan kemudian. Anak-anak Udjo juga bekerja
untuk terus melanggengkan cita-cita orangtua mereka. Anak-anak-anak Udjo membagi pekerjaan sesuai dengan
kemampuan. Ada yang menciptakan kreasi-kreasi baru angklung, ada juga yang mengelola SAU
menjadi sebuah bisnis keluarga yang sukses.
Sekarang, tempat pertunjukan sekaligus
berbagai kegiatan lainnya terasa semakin sempit di lahan seluas 2 hektar
itu. Ada tempat pertunjukan, toko
suvenir, akomodasi atau guesthouse, rumah
makan, kantin, bagian produksi, gudang penyimpanan barang yang siap kirim
maupun barang untuk pentas. Lahan parkir tidak muat lagi ketika musim libur
anak sekolah, dan SAU
dibanjiri kunjungan wisatawan. Bahkan antisipasi liburan sabtu minggu
pun tidak mampu ditampung oleh SAU. Dua tahun lalu SAU harus membeli lahan
bekas pabrik pensil untuk dijadikan tempat proses produksi dari bambu menjadi
angklung. SAU memberdayakan penduduk sekitar dan berbagai tempat di Jawa Barat
untuk membuat angklung karena desakan permintaan yang terus menerus dari
berbagai penjuru Indonesia maupun dunia.
Seperti visi misi pendirinya, SAU tidak pernah
meninggalkan warga sekitar yang sejak awal berdiri bersama saling bahu-membahu
membesarkan SAU. Para pemain angklung, penari, pembuat alat musik bambu, pemain
musik lainnya yang mengisi acara pertunjukan, sebagian besar berasal
dari warga sekitar. Seolah SAU tidak pernah kehabisan sumber daya manusia, karena
warga sekitar turun temurun seperti keluarga. Tidak dapat dikesampingkan bahwa pertalian
persahabatandan
kekerabatan dengan
warga di situ adalah modal sosial. Hubungan yang tidak semata-mata berbasis kepentingan ekonomi, tetapi berlandaskan integritas sosial
yakni saling percaya, terus ditanamkan. Kasus-kasus kecurangan pernah terjadi, namun bisa
diselesaikan dengan cara yang lebih bersifat kekeluargaan.
Modal sosial adalah kata tepat untuk melihat
bisnis SAU yang ujung tombaknya adalah seni pertunjukan. Dalam seni pertunjukan
SAU, dibutuhkan para pemain
angklung, penari dan pembawa acara. Selain itu juga dibutuhkan peralatan musik
yang berkualitas baik. Perpaduan itu memungkinkan kombinasi seni suara, musik
tari yang handal yang dapat menarik perhatian penonton.
emain angklung direkrut dari anak-anak melalui
pelatihan tiap 3 kali seminggu. Anak sejak usia dini sudah diperkenalkan pada bunyi-bunyian angklung atau alat musik lainnya. Ada jenjang latihan dimulai dari kelas pemula sampai dengan kelas
senior. Sumber pemain angklung ini tak pernah pupus, setiap tahun lebih dari
800 anak yang mendaftar menjadi pemain angklung. Tetapi hanya dua ratus lima
puluh saja yang mampu diserap. Proses seleksi yang ketat sekaligus suasana
pembelajaran metode anak-anak dijalankan. Ketekunan, disiplin dan kreativitas
diciptakan agar anak-anak tidak bosan berlatih.
Latihan tidak boleh mengganggu sekolah.
Anak-anak yang baru masuk pelatihan umumnya di jenjang sekolah dasar dari kelas 1 sampai 6. Tidak
dibedakan mereka yang kelas 1 atau pun kelas 6, kalau dianggap masih pemula,
maka pelatihan disamakan. Sejauh ini tidak ada kesulitan mendidik tingkat dasar
pada murid kelas 1 dengan kelas 6 di tingkat dasar. Mereka yang sudah masuk di
tingkat kedua bisa tampil, dengan seleksi.
Mereka yang sudah di tingkat kedua, dapat
tampil sebagai pemain pembantuyang ditampilkan secara
bergantian. Karena pertunjukan dilakukan
setiap hari maka setiap anak pasti mendapat giliran ikut pertunjukan.
Angklung tidak
dibuat dengan
bahan dan cara sembarangan. Bahan bakunya adalah bambu
pilihan. Ada jenis bambu hitam, bambu apus dan bambu..... Ketiga jenis bambu itu tidak langsung diolah jadi
angklung, tetapi harus direndam kemudian diangin-anginkan selama satu tahun.
Bambu juga tidak boleh dijemur langsung kena matahari. Panas matahari akan
merusak karena bambu
menjadi getas. Setelah kira-kira setahun, barulah bambu siap jadi bahan baku angklung.
SAU bekerjasama dengan mitra-mitra pengrajin bambu,
baik yang berada di bawah koperasi pengrajin maupun secara individual atau
keluarga. Bahan baku disuplai oleh SAU, lalu setelah diolah menjadi
angklung, hasilnya disuplai kembali oleh pengrajin ke SAU. Hubungan timbal balik pun terjadi dengan
mengacu pada asas saling menguntungkan. Kecurangaan kadang terjadi, misalnya pengrajin
tidak mensuplai seusia dengan permintaan dan penyediaan bahan baku yang sudah
diberikan. Satu batang bambu misalnya, diperkirakan menghaslkan 4 angklung, namun hasilnya kurang dari itu.
Salah satu cara penyelesaian adalah dengan mengurangi bahan baku dan kuota
pengrajin. Hubungan mereka yang sudah terjalin lama membuat cara ini lebih
efektif. Adakalanya pengrajin tidak memenuhi target minggu ini, tetapi pada minggu-minggu
berikutnya dapat melebihi target.
SAU juga melakukan pembinaan bagi para petani
budi daya bambu di tempat-tempat lain di Jawa Barat. Ini sebagai antisipasi terhadap semakin langkanya bambu. Ada lahan hutan
bambu yang diberikan oleh Kementrian Kehutanan kepada SAU untuk
dikelola. Ini juga merupakan
cara menjamin ketersediaan bahan baku
angklung.
Toko souvenir adalah bisnis yang juga diandalkan selain
pertunjukan. Barang-barang yang dijual masih bernuansa bambu, walaupun ada juga
yang dari bahan baku lain. Salah seorang dari managemen mengatakan bahwa
barang yang dijual bisa saja bukan bahan bambu tapi masih bernuansa Sunda dan
lingkungan setempat, serta tradisional. Toko cindaramata juga menampung barang-barang yang
bukan berasal dari produksi warga sekitar. Bahkan ada yang diproduksi dari
Malang, Jawa Timur seperti kalung dari batu-batuan.
Toko suvenir bisa menghasilkan omset 40 juta rupiah, apalagi
pada musim wisata atau liburan anak sekolah. Tapi di saat sepi toko suvenir
hanya menghasilkan 4 juta rupiah saja dalam 1 hari. Omset ini belum termasuk omset dari hasil pameran di
berbagai daerah mengiringi pertunjukan. Juga penjualan di stand-stand yang ada
di mall di kota besar seperti di
Cilandak town Square di Jakarta Selatan, atau di Grand Indonesia, juga di
Jakarta.
SAU juga mengelola guesthouse dan homestay,
kantin dan rumah makan yang ada di area SAU. Pengelolaan ini sebenarnya tidak
sengaja, ketika kebetulan ada tamu-tamu
asing yang belajar kebudayaan Sunda selama 3 bulan. Ini adalah program dari Kementrian Luar Negeri yang
mengundang orang asing untuk belajar kebudayaan Sunda. Salah satunya adalah dengan menempatkan
mereka di SAU. Karena kebutuhan itu maka dibangunlah akomodasi bagi tamu-tamuitu untuk
memudahkan mereka belajar setiap hari, tidak saja untuk memainkan alat musik
angklung tetapi juga belajar bahasa, berpakaian, tatacara, sopan santun dengan
gaya Sunda.
Selain itu juga ada training for trainers yang diselenggarakan selama 10 hari atau 2
minggu yang mengharuskan pesertanya dekat dengan sumbernya. BBM atau Belajar
Bareng Maestro yang makan waktu selama 10hari dilaksanakan secara intensif
melalui metode live in para peserta nya agar dekat maestro yang tidak saja para ahli musik
angklung tetapi juga ahli tari seperti Didik Nini Towok.
Akhirnya, menurut tutur corporate secretary SAU, SDM di SAU masih harus ditingkatkan lagi.
Katanya lagi, suasana keakraban kekeluargaan, tidak boleh menjadikan
profesionalitas menjadi nomor dua. Masih diperoleh SDM yang kreatif dan bisa
mengembangkan bisnis keluarga, meningkatkan kesejahteraan warga sekitar dan
sekaligus mempertahankan daan mengembangkan seni budaya Sunda yang khas.
SAU, yang diperjuangkan oleh pendirinya, Udjo
Ngelagena sudah bisa dikatakan
menunjukkan perkembangannya. SAU telah berkembang menjadi sebuah sistem pertunjukan yang relatif berdikari dari
hulu hingga hilirnya.
Setidaknya SAU mempunyai modal, seperti yang
dikatakan oleh pierre bourdieu, yang penting dalam upaya pengembangannya yakni modal ekonomi (uang dan barang);
modal sosial (hubungan-hubungan sosial); modal budaya (keterampilan,
pengetahuan). Tiga modal itu berhubungan dengan seni
pertunjukan angklung . Tiga modal itu bersinergi menjadi sebuah kekuatan seni
pertunjukan Angklung yang sejak awal
sudah diwanti-wanti oleh pendirinya
Udjo Ngelagena
dan Daeng Soetigna.